"Halah... Cewek zaman sekarang itu matre. Cowok kere, siap-siap saja jadi jomblo abadi. Cewek sekarang sudah pintar. Mereka menilai seorang pria bukan saja dari ketampanan. Tidak pula akhlak keshalehan. Paling penting adalah jumlah kekayaan dan jabatan. Cewek matre itu berdalih dengan alasan kesejahteraan masa depan. Karena, kehidupan keluarga tidaklah cukup hanya didasari dengan cinta", gerutuku kepada Mbah Saberang.
"Pantes kamu jomblo terus", Mbah Saberang menimpaliku. Aku pun dengan cepat menjawab, "Ini kenyataan, Mbah... Nyatanya memang seperti itu". "Lha... Aku berbicara kalau kamu jomblo terus itu juga kenyataan ta?", tanya Mbah Saberang memojokkan ku. Aku tidak perlu menjawab pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan kepadaku. Karena, Mbah Saberang sudah tahu seluk beluk hidupku.
"Ya... Gimana ya, Mbah?. Aku ini mewakili suara hati para cowok yang terpaksa menjomblo sebab tidak bisa bersaing secara materi dan kedudukan. Para cowok itu terdiskriminasi, karena mereka kere. Padahal, jikalau soal cinta dan kesetiaan yang jadi tolak ukur, pastilah mereka mampu bersaing. Bahkan, bisa lebih besar cinta dan kesetiaannya", aku berapi-api meluapkan kerisauan, yang mungkin ada dihati setiap jomblo dijagad raya ini.
"Itukan, menurutmu... ", kata Mbah Saberang. "Kalau menurut, Mbah... gimana?", tanyaku ingin tahu. "Menurut, Mbah... Cewek matre itu tidaklah mendiskriminasi kaum cowok. Seharusnya, cowok yang seperti kamu itu sadar diri dan tak perlu menyalahkan mereka", kata si Mbah dengan senyum kecil menyindirku.
"Lho?, koq aku yang harus sadar diri. Mereka itu jelas-jelas salah. Karena, mengukur sesuatu hanya dengan materi dan kedudukan", ucapku penuh amarah. Namun, Mbah Saberang tertawa terpingkal mendengar ucapanku. Aku pun bertambah emosi, segera ku tanya Mbah Saberang dengan nada kesal, "Maksudnya apa?, Mbah... Si Mbah malah menertawakanku".
"Ah... Darah muda itu mudah sekali tersulut emosi. Sudah, duduk dulu", pinta Mbah Saberang kepadaku. Aku tadi memang beranjak berdiri dari tempat dudukku, sebab emosi mendengar perkataan Mbah Saberang. Aku tahu mengapa Mbah Saberang memintaku untuk duduk agar emosiku mereda. Maka, aku pun duduk kembali disebelah Mbah Saberang.
Mbah Saberang pun melanjutkan dan menjelaskan setelah aku benar-benar duduk. "Kenapa aku bilang kamu harus sadar diri dan tidak perlu menyalahkan cewek matre. Sebab, kamu pun hanya berteman dengan orang yang bisa membelikan kopi. Kalau, temanmu ada yang tidak bisa kamu poroti alias lagi bokek, kamu tidak mau menemani. Dirimu saja mengukur pertemanan dengan materi, apalagi cewek?. Jadi, wajar-wajar saja cewek itu matre. Mereka berpikir bukan sebatas pertemanan untuk ngumpul dan asyik-asyikan, akan tetapi teman hidup mengarungi suka duka".
Aku mendengarkan Mbah Saberang yang sepertinya ingin menasehatiku. Ku ambil segelas air putih dan ku teguk perlahan. Berharap dengan minum segelas air putih meredakan dadaku yang mulai panas mendengar perkataan Mbah Saberang. Mbah Saberang tetap melanjutkan pembicaraannya, walau dia tahu aku sedang menahan emosi, "Nah... Disitu kamu pun melakukan diskriminasi terhadap cewek-cewek yang dibilang matre itu. Padahal, itu harusnya menjadi cambuk bagi para cowok agar mereka tidak bermalas-malasan. Supaya mereka tahu betapa mahalnya kehormatan wanita. Dibalik matre itu bukan hanya sekedar tentang materi dan kedudukan saja. Namun, jika kamu mau berbaik sangka, para cowok diuji kemampuan kepemimpinannya sebelum benar-benar menjadi pemimpin keluarga. Karena, dikala dirimu sudah berkeluarga persoalannya akan lebih pelik lagi. Bukan hanya soal materi ataupun kedudukanmu dalam pekerjaan".
Matre, bagiku tetap matre. Aku tidak setuju dengan apa yang dijelaskan oleh Mbah Saberang. Maka, aku menyanggah, "Tidaklah seperti yang Mbah jelaskan. Aku tidak menerima itu. Bila, dua insan telah sama-sama mencintai dan berkomitmen untuk berkeluarga. Ya... Sudah semestinya keduanya menerima dan berjuang bersama membangun keluarga. Tidak menuntut satu pihak saja. Bukan hanya lelaki saja yang dituntut". Biasanya aku diam saja, tapi aku sudah tidak bisa menahan emosi, maka kukatakan saja.
"Ha... Ha... Ha... ", Mbah Saberang tertawa. Aku bingung, apa yang salah dengan perkataanku. "Pantas... Pantas... Pantas saja", Mbah Saberang berkata penuh tawa. Tangannya memegangi perut, tertawa terbahak-bahak. "Mbah... ", teriakku sembari mengebrak meja. Bukannya, berhenti tertawa, justru makin terpingkal. "Lucu... Kamu itu lucu", Respond Mbah Saberang melihat tingkahku.
Aku bertanya lagi pada Mbah Saberang, "Apa maksudnya?, Pantes?, Lucu?, ada yang salah? ". Mbah Saberang lantas menjelaskan, "Perkataan tidak salah. Cara pandangmu saja yang salah. Maksudnya pantas saja, karena cara pandangmu itu membuat dirimu selalu ditolak cewek dan kamu jadi jomblo", Mbah Saberang kembali tertawa sejenak, "Cara pandangmu sungguh-sungguh lucu. Kamu itu cowok. Pemimpin keluarga. Tugasmu mencari nafkah. Bukan malah menuntut dan merayu-rayu pasangan ikut mencari nafkah. Kamulah yang membangun dan mengatur semuanya. Cewek yang jadi istrimu nanti harus kamu manja penuh cinta. Bukan, kamu ajak sengsara. Mana ada cewek yang mau sengsara hidupnya. Kamu saja juga tidak mau sengsara hidupmu. Kalau pun ada, hanya seribu satu", jelas Mbah Saberang kepadaku disertai gelak tawa.
Kini... Entah?. Aku tak ingin membantah. "Sudahlah, putuskanlah hubunganmu dengan kata jomblo. Pilihlah jadi single. Karena, jomblo dan single jelas beda. Jomblo itu selalu berharap punya pacar, tapi selalu ditolak. Kalau, single itu pilihan. Bukannya tidak laku, namun memilih untuk meningkatkan kualitas diri terlebih dahulu. Seorang single tidak akan pernah sedikit pun risau siapa jodohnya nanti. Single adalah topo ngrame, tidak tergiur hingar bingar, apalagi tergoda untuk pacaran. Mereka tidak mungkin mengkritik cewek matre, karena seorang single sangatlah fokus pada jalannya. Saranku, padamu... untuk saat ini, jadilah single", ucap Mbah Saberang sembari menepuk-nepuk punggungku.
Tetapi, aku ini anak muda yang ingin seperti anak muda lainnya. Yang bisa berpacaran. Anak muda yang bisa menulis kisah cintanya. Bersenandung merdu mendendangkan lagu cinta. Nyatanya, aku tetap sendiri. Harapan, tinggal harapan. Aku tak tahu, apakah aku ini jomblo atau single. Yang aku tahu, saat ini aku memang sendiri. Bahkan, Mbah Saberang pun pulang meninggalkan diriku di warung pojok tepi kali.
Bungo, 01 Oktober 2016
0 Comments
Post a Comment