"Dari semenjak saya memutuskan kuliah, banyak orang yang mencaci dan menghardik. Mereka sama sekali tidak mendukung keputusanku. Saya malah dijuluki anak yang tidak tahu diri. Tidak punya rasa iba pada orang tua yang rezekinya serba pas-pasan. Sekolah tinggi-tinggi mau jadi apa?, toh banyak juga sarjana yang nganggur dan ijazahnya tak laku. Ujung-ujungnya jadi tukang becak, buruh pemecah batu, mencangkul disawah, sekolah tinggi tak membuatmu sukses, lebih baik kamu cari kerja. Hitung-hitung bantu orang tua. Begitu nasehat mereka kepadaku", cerita Bejo mengungkapkan kegundahan.

"Terus kamu jawab apa, Jo", Badrun penasaran.

"Mana mungkin saya bisa jawab. Wong, yang banyak makan asam garam kan mereka. Saya yang anak kemarin sore hanya bisa diam dan bungkam", muka Bejo kecut membayangkan.

"Jadi, akhirnya kamu menyerah?, tidak melanjutkan cita-citamu itu?", Bedul mencecar Bejo yang mukanya masih kecut.

Bejo agak sedikit tersenyum mendengar pertanyaan itu, "Ya... tidak ta, saya tidak menyerah, masak begitu saja menyerah?. Saya justru semakin nekat untuk kuliah. Berbagi cercaan tersebut justru mengobarkan semangatku. Saya tertantang untuk membuktikan bahwa apa yang mereka bilang itu salah besar".

"Sekarang berarti kamu sudah bisa membuktikannya ta?", Badrun menyela pembicaraan. Bejo tertawa terbahak-bahak.

"Gimana ta?,  ditanya koq malah tertawa kamu itu, Jo.. ", Bedul terlihat serius. Tawa Bejo yang tadinya terbahak meledak-ledak tiba-tiba terhenti.

"Iya nih... Kamu sekarang kan sudah selesai menggapai cita-citamu. Sudah jadi sarjana. Tentu, sudah bisa memberikan bukti dan membungkam komentar nyinyir mereka itu", Badrun menambahi.

"Nah... disitulah letak permasalahannya", sambil menggaruk-garuk kepala Bejo berkelakar.

"Lha koq malah jadi masalah?", Bedul menyela penuh heran.

"Jadi sarjana itu bukan berarti sudah sukses. Justru saat kita diwisuda tersebutlah awal dari sebuah tuntutan sukses itu sendiri. Tugas kita untuk sukses menjadi bertambah berat. Kita sibuk ingin membuktikan bahwa pada orang-orang yang dahulu mencemooh untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya jadi kuli. Ya... kita terlampau sibuk ingin membuktikan itu. Dan disitulah awal kita terjerumus ke jalan yang salah, hal tersebutlah yang membuat kita tersesat. Sebuah awal yang sebenarnya menyakitkan. Secara tidak sadar kita telah menjadi gombal amoh" Bejo tiba-tiba tertunduk lesu.

Badrun yang melihat Bejo tertunduk lesu segera berkata "Wah... kamu tidak boleh menyerah. Harus tetap berjuang, yakinlah kita bisa sukses".

"Woalah.. tidak paham kamu ya, Run...  apa yang telah disampaikan Bejo tadi. Bejo kata-kata sukses itulah yang disedihkannya, kata sukses itu sebenarnya menipu, membuatnya terjerumus dan menjadikannya tersesat, sehingga kita sendiri menjadi seseorang yang tak punya nilai alias gombal amoh", Bedul menyahut dengan cepat.

Cerita Bejo lainnya :


"Dul... Dul... kamu ini sok cerdas, sok paling ngerti", Badrun tertawa.

"Memang begitu yang dimaksud Bejo. Lha iya begitu ta, Jo?", Bedul bertanya agar Badrun yang sedang salah paham mendapatkan kejelasan. Bejo menganggukkan kepala. Kini Bedul giliran tertawa terpingkal-pingkal.

"Benar apa yang dikatakan Bedul. Sukses adalah kata semu yang menipu, membuat kita tersesat dan menjadikan kita tersesat. Mata kita buta, telinga tuli, mulut membisu dan hati tertutupi. Sedang yang tinggal adalah ambisi diri. Sukses bukanlah sesuatu hal yang wajib diraih oleh orang yang berpendidikan tinggi atau bahkan yang tidak berpendidikan pun. Kita sebagai manusia sudah tertipu kata sukses yang penuh matrialistik dan segala embel-embel duniawi lainnya. Kata sukses menyempit maknanya menjadi menipu, mengaburkan dan mendangkalkan pandangan penilaian manusia. Mereka yang tak punya tumpukan materi dunia dianggap sebagai orang yang gagal, dilihat sebagai gombal amoh yang hanya patut digunakan kain lap,  bahkan keset", selorah mengungkapkan isi hatinya Bejo.

"Sudah jangan panjang-panjang, langsung ke intinya saja. Biar aku dan Bedul tidak bingung", kata Badrun yang mulia meriang mendengar penjelasan Bejo.

Bejo tersenyum kecil dan segera menanggapi, "Semua kan tidak langsung ujug-ujug ke intinya. Harus ada landasan berpikirnya dulu, justru ke intinya langsung membuat pikiranmu semakin puyeng".

Badrun cengar-cegir dan diam mencermati setiap kata perkata yang terlontar dari pembicaraan teman-temannya itu. "Saya pribadi baru sadar bahwa sukses itu ternyata tidak terlalu penting, meskipun banyak orang menganggap penting. Saya menyadari hal tersebut setelah mendapatkan kata bijak dari Albert Einstein yang bertutur try not to become a man of succes, but rather try become a man of value"  ucap Bejo menyesali kesesatan yang dijalani selama ini.

"Wah..  Ngece sampeyan, Jo... Sudah tahu lawan bicaramu ini tidak pernah sekolah, mbok ya jangan kem-inggris gitu", Badrun meng-interupsi.

"Begini, maksudnya... Cobalah untuk tidak menjadi seseorang yang sukses, tetapi jadilah seseorang yang bernilai. Kalau, Mbah Saberang pernah menasehati sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Tak peduli kita sesukses apa?, melimpah tumpukan harta, segalanya punya. Namun, jika diri kita belum bisa memberi manfaat kepada sesama, ya percuma..!!!. Sesungguhnya itulah yang dinamakan gombal amoh. Pun mereka yang tak punya apa-apa sama sekali, mereka tidaklah patut disebut gombal amoh. Ah... tapi ukuran mata dunia sudah terbalik, mereka yang sukses menimbun harta dibilang orang yang bernilai, sehingga layak dihormati. Sedang yang tak punya apa-apa tetapi bisa memberikan manfaat kepada sesama dianggap sebagai gombal amoh" Bejo menghela nafas panjang sembari menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas.

Bedul dan Badrun masih setia menunggu penjelasan selanjutnya dari Bejo. Selesai minum air putih, Bejo melanjutkan "Maka, sekarang ini banyak orang sekolah tinggi-tinggi hanya untuk bisa sukses, ya... tentu sukses dalam artian menumpuk dan menimbun harta benda. Orang-orang berlomba-lomba mengumpulkan harta benda, bukan lagi berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Padahal, hidup kita ini kan sementara, jadi semestinya berbuat baik kepada semua manusia, tanpa peduli suku, ras maupun agama. Kalau kita baik kepada orang seagama saja, pada sesuku saja dan yang se-ras saja berarti kita belum memberikan manfaat kepada manusia, baru sekedar berbuat baik pada kelompok. Bila, hidup kita hanya sukses mengumpulkan harta saja, tanpa manfaat, ya... kita belum menjadi sebaik-baiknya manusia, tak punya nilai dan sekedar menjadi gombal amoh saja".

Bedul manggut-manggut, tapi Badrun lekas bertanya kepada Bejo, "Jadi, kalau kamu itu, Jo... termasuk orang yang sukses atau orang yang bernilai?".

Sedikit tersenyum, Bejo segera menjawab, "Belum termasuk keduanya. Saya ini termasuk dan layak disebut sebagai gombal amoh kuadrat yang sudah menjadi kain lap dan keset perusahaan swasta". Karena, Bedul matanya sudah sipit menahan kantuk, Badrun segera mengajak menyudahi perbincangan malam ini.

Bungo, 07 Mei 2017