![]() |
Sumb photo : unsplash.com |
Jam pulang sekolah tiba, aku seperti biasa duduk di halte menunggu angkot datang. Aku masih bercakap-cakap dan bercanda dengan teman-temanku, tanpa aku sadari tiba-tiba ada yang memukul punggungku dari belakang.
"Eh... kamu.. cupu, mentalmu boleh juga tenyata ya...", ucap seorang laki-laki yang juga berseragam sekolah.
" Ada apa?, kenapa kamu tiba-tiba mukul aku? ", aku menoleh ke belakang dengan kebingungan melihat tiga orang laki-laki berwajah sangar yang sudah berdiri dan seolah ingin mengajak aku berkelahi.
" Jangan pura-pura enggak tahu..!", nada bicaranya meninggi.
"Sudah hajar saja bos, biar tahu rasa dia"
"Iya bos langsung kasih paham aja", kedua orang teman yang ada disamping laki-laki ganteng dan berbadan tinggi terus memprovokasi.
" Tunggu... ", belum aku selesai bicara dengan cepat pukulan kencang mendarat diperutku.
" Hah... kebanyakan bacot", kata laki-laki berbadan tinggi itu sambil terus memberi tendangan pukulan dan tendangan, kedua temannya pun turut serta memukulku.
"Tiiiiitttttt.... tiiiiitttttt... ", bunyi klakson mobil salah satu guru yang kebetulan lewat dan lantas cepat-cepat turun dari mobilnya melerai keributan yang terjadi.
" Awas ya kalau kamu macam-macam dan berani dekati Lili lagi, aku bikin kamu tinggal nama saja", kata lelaki berbadan tinggi itu, sebelum mereka lari terbirit dikejar Pak Guru yang memisahkan kami.
Untung saja masih ada yang berani melerai, kalau tidak mungkin aku sudah jadi perkedel sama mereka. Teman-teman yang di halte diam saja tak ada yang berani, sebab dilihat dari seragam sekolah yang tiga orang laki-laki itu pakai dari sekolah dekat sini yang terkenal dengan tawurannya.
Baca Juga :
* Takluk?
Aku benar-benar tidak tahu siapa orang memukuliku tadi. Seingatku tidak pernah aku berbuat macam-macam, bicara menyakiti hati seseorang pun tidak, apalagi bermusuhan sama orang. Dia bilang tidak boleh mendekati Kak Lili?, rasanya aku tidak berbuat ada masalah apa-apa dengan Kak Lili. Hari ini aku pulang ke kos dengan badan sakit-sakit dan wajah lebam-lebam. Aku duduk dikursi lantas menyalakan radio kesayanganku. Walaupun, badan sakit-sakit yang penting hati tetap terhibur mendengar suara Kak Lili.
Beraktifitas seperti biasanya, masak, cuci baju dan beres-beres kos adalah rutinitas yang tidak boleh dilewatkan. Sedang asyik menikmati kopi didepan teras dari dalam terdengar bunyi telepon, aku segera lari masuk dan mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum... ", ucap suara wanita dari ujung telepon yang sepertinya aku mengenalinya.
"Walaikumsalam.. ", jawabku
" Ken... ini aku, Lili.. ", sambungnya
" Oh.. Kak Lili, iya kak, lagi ada perlu apa kak", aku menjawab setengah gugup.
"Nanti bisa temani aku nanti jam 19:00 enggak? ", tanya Kak Lili.
" Em... bisa enggak ya kak", aku ragu karena ancaman tadi siang yang membuatku babak belur, jika mendekati lagi Kak Lili.
"Ayolah... temani aku sebentar saja, nanti aku jemput kamu di kos ya", Kak Lili mendesakku.
" Tapi... ",
" Tutt...tuttt...tuttt...", bunyi suara telepon dimatikan.
Belum juga aku selesai bicara, telepon sudah ditutup dengan cepat. Aku bingung dan dilema apakah menolak ajakan Kak Lili, khawatir Kak Lili kecewa padaku atau ikut saja jalan yang beresiko aku akan dipukuli lagi. Entah?, aku bingung.
Aku mau keluar pun malu dengan muka babak belur seperti ini. Sudahlah semoga Kak Lili enggak jadi jemput aku. Sekarang mending aku tutup rapat-rapat pintu kos ku. Aku pun mondar-mandir cari alasan yang tepat agar tidak menyinggung Kak Lili.
"Dor... dor... dor... ", pintu digedor
" Ken... Ken... ", teriak Kak Lili
Aku pun masih memikirkan alasan yang tepat, akhirnya aku memilih untuk diam saja, agar dikira aku sudah pergi duluan. Tapi, Kak Lili terus mengedor-gedor pintu semakin lama semakin keras. Aku pun mau enggak mau akhirnya menjawab teriakannya, ini karena murni tidak enak dengan tetangga kos saja.
"Iya kak... ", ucapku
"Ayo kita jalan... Lho baru bangun tidur ya? ", tanya Kak Lili dari luar.
" Aku lagi enggak enak badan Kak", ucapku lirih.
" Oke enggak apa-apa, kamu enggak jalan. Tapi, buka dulu pintunya aku mau tahu sakit apa kamu", kata Kak Lili menanggapi.
"Jangan Kak, penyakitku menular, sebaiknya Kakak diluar saja"
"Enggak, pokoknya buka dulu atau mau aku dobrak pintunya?", setengah teriak Kak Lili berkata.
Duh... kena mental juga aku pun terpaksa bukain pintu. Kak Lili syok saat melihat wajahku yang babak belur. Aku pun malu dan berjalan masuk duduk lesehan ditikar, Kak Lili mengikuti dari belakang.
"Kamu kenapa?, kenapa kamu?, ada apa? ", Kak Lili panik setelah melihat kondisiku yang babak belur.
" Biasa kak, tadi aku jatuh pas turun dari angkot", aku mencoba menutupi kejadian tadi siang.
"Ah... masak jatuh dari angkot?, awas aja kalau kamu bohong", Kak Lili mengancamku, kemudian duduk dihadapanku.
" Iya kak.. ", jawabku lirih.
" Dah... ngomong saja, siapa yang membuatmu seperti ini?, biar aku habisin tuh orang", dengan muka geram Kak Lili seolah ingin mencabik-cabik pelakunya.
"Memang jatuh aja Kak.. pas turun dari angkot", aku masih berusaha menutupi.
" Aku tahu ini bukan luka akibat jatuh Ken.. ", Kak Lili masih ngotot dan terus mencecar aku.
" Eh... aku mandi dulu kak, kita jadikan keluar?", ku coba mengalihkan pembahasan dan segera aku berdiri mengambil handuk ke kamar.
"Kenziiiii.... aku belum selesai ngomong...!! ", teriak Kak Lili. Aku tak peduli dan segera lari masuk ke dalam kamar mandi.
0 Comments
Post a Comment