Sumber photo dari salah satu posting akun facebook Huda Mberan Aelah.


Kita sendiri seringkali mendapatkan cerita dari nenek, kakek, uyut bahkan dari bapak dan ibu kita sendiri. Mereka pernah melalui zaman yang sangat sulit. Dimana sehari-hari mereka makan gaplek, tiwul, ganyong atau umbi-umbian yang lainnya. Makan nasi jagung atau nasi dari beras adalah fantasi mimpi belaka. Itupun makan mereka harus dijatah. Tidak boleh ambil makan seenak udele dewe. Perut mereka tak pernah kenyang, makan hanya sebagai pengganjal perut dan sekedar untuk menegakkan tulang rusuk saja.

Soal pangan ini pada waktu itu menjadi masalah yang sangat serius bangsa. Maka, saat peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang sekarang menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tanggal 27 April 1952 dalam pidato presiden pertama Bung Karno menyampaikan bahwa soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa. Ya... soal mati dan hidupnya bangsa. Bagaimana mungkin anak-anak bangsa bisa fokus belajar disekolah?, jika perutnya keroncongan. Bagaimana mungkin rakyat bisa saling bahu membahu, gotong royong, saling menjaga dan membangun bangsa?, bila perut mereka kelaparan. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa maju mengejar ketertinggalan?, kalau membawa badannya saja sempoyongan, karena perut kosong sehingga tak punya daya dan tenaga.

Diera orde baru pun presiden ke-2 Soeharto sadar betul bahwa soal pangan adalah soal yang sangat serius. Melihat kenyataan banyak rakyat hanya makan umbi-umbian, maka beliau pun bertekad agar bangsa ini bisa swasembada beras. Sektor pertanian menjadi prioritas sektor pertanian menjadi prioritas dalam kebijakan-kebijakannya dalam membangun bangsa ini. Harapan beliau nyatanya berhasil. Dari rakyat yang awalnya hanya bisa makan umbi-umbian, akhirnya bisa ikut menikmati gurihnya nasi dari beras. Pun dimata bapak saya beliau dikenang indah, karena tanaman padi yang semula berumur enam bulan bisa baru dipanen, lewat program pembenihan padi IR (Indonesian Rice) menjadikan masa panen lebih singkat yaitu hanya tiga bulan bisa panen. Itulah salah satu sebab mengapa produksi panen petani meningkat. Selain itu, keberpihakannya kepada para petani inilah yang menjadi rindu sendiri bagi mereka. Sehingga, tak heran kalau muncul gambar beliau dengan tulisan enak jamanku ta?.

Bukan bermaksud mengkultuskan Pak Harto. Terserah bagi yang tidak suka, tidak mengapa. Karena, sejelek-jeleknya manusia masih ada baiknya. Yang perlu dilihat ada hal baiknya, mengenai keburukannya simpan saja dihati. Jika, yang diurai adalah keburukan tidak akan habisnya dan bisa menambah kebencian. Dengan melihat kebaikannya, kita bisa belajar, menggali informasi dan bisa menarik sebuah solusi. Namun, sayangnya setelah tumbangnya era orde baru, program yang sudah baik dan tinggal dilanjutkan ikut diterhapus. Seakan orang-orang yang membawa bendera reformasi merasa ogah. Justru, mereka menghapuskan program yang sudah baik itu tanpa memunculkan alternatif solusi yang baru. Selain programnya, mereka juga membersihkan orang-orang orde baru.

Padahal, dahulu diera orde baru para petani menjadi semangat pergi ke sawah-sawah. Karena, pemerintah hadir mendukung mereka bercocok tanam. Ketersediaan pupuk begitu melimpah. Petani tidak harus was-was kehabisan pupuk. Integrasi antara pabrik pupuk dengan petani sangat mudah dijangkau. Pemerintah mendirikan Koperasi Unit Desa (KUD) disetiap kecamatan-kecamatan. Dengan ada KUD ini sangat membantu para petani memperoleh pupuk. Tidak itu saja, para petani juga bisa memperoleh benih-benih tanaman yang unggul hasil rekayasa genetika oleh para ahli pertanian di KUD tersebut, bahkan bisa juga menjual hasil panennya, tanpa harus takut dimainkan harganya oleh tengkulak. Peralatan pertanian pun disediakan. Tidak itu saja, petugas koperasi juga punya tanggung jawab memberi penyuluhan kepada para petani. Sinergi antara pemerintah, para ahli pertanian dan masyarakat terjalin erat, sehingga program swasembada beras berhasil, bukan program ambisius ataupun program yang mustahil untuk diwujudkan. KUD benar-benar tumbuh sebagai wadah perekonomian bagi para petani di desa-desa.

Era reformasi yang menjanjikan harapan nyatanya menjadi momok tersendiri bagi para petani. Kini mereka harus jungkir balik sendiri. Pupuk dan benih sulit dicari, kalaupun mereka temui harganya menjulang tinggi. Setelah, panen pun mereka bingung mau menjual kemana. Maka, akhirnya mereka dipermainkan oleh para tengkulak, sehingga antara modal tanam dan keuntungan dari hasil panen tidak sesuai. Melihat kenyataan itu, para petani dan anak-anak mereka tidak lagi bangga menjadi petani. Mereka lebih bangga menjadi pegawai-pegawai, buruh-buruh pabrik, bahkan mereka harus merantau keluar negeri, karena pertanian tidak lagi menjadi primadona sumber penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, wajar saja bangsa ini tidak bisa swasembada  beras dan tidak berdaya mencukupi pagan dalam negeri sendiri.

Jikalau saja, pemerintah diera reformasi masih melanjutkan orde baru dibidang pertanian, maka swasembada beras tidaklah mustahil. Mungkin, bangsa ini tidak hanya mencukupi kebutuhan negeri sendiri. Akan tetapi, mampu mengekspornya sampai ke luar negeri. Apalagi, pemerintah mau mengadopsi atau mau meniru sistem pertanian di Jepang yang dibalut juga dengan tekhnologi. Maka, para petani dapat mencukupi kebutuhan mereka dan tentunya mereka akan bangga menjadi seorang petani. Kalau, Jepang saja tidak gengsi mengurusi para petaninya, mengapa bangsa kita yang tanahnya lebih luas dan subur justru tidak mengurusi para petani?.

Jepang memang sangat dikenal kemajuan teknologinya, tapi tidak pernah meninggalkan para petaninya. Kemajuan teknologi di Jepang juga dimanfaatkan untuk kemajuan dibidang pertanian. Oleh sebab itu, pertanian di Jepang sangatlah maju. Hal-hal yang membuat pertanian maju di Jepang itu kurang lebih sama seperti kebijakan pemerintah di era orde baru. Selain itu, para petani di Jepang tidak harus bingung hasil panennya dijual kemana. Pemerintah Jepang dalam hal ini siap untuk membeli hasil pertanian mereka. Dan jika pihak swasta ada yang ingin membeli hasil pertanian mereka harus diatas harga yang ditetapkan pemerintah Jepang. Ini dilakukan agar guna menjaga stabilitas harga hasil pertanian, supaya para petani tidak dipermainkan oleh tengkulak.

Sayang, beribu sayang... Program pertanian diera reformasi benar-benar tersingkir dalam hal prioritas pemerintah. Para petani dianggap seolah tidak ada, seakan hanya menambah beban anggran pemerintah. Petani merasa diabaikan, tidak diharapkan serta dinilai tidak memberi kontribusi apa-apa pada negara. Justru,  era reformasi terus diwarnai bumbu korupsi, aroma intoleransi, para elit sibuk berebut kursi, kenaikan gaji dan segala kegaduhan-kegaduhan yang tidak menyentuh sedikit pun yang membahas permasalahan pertanian. Maka, jangan salahkan para petani yang bilang "Hanya Pak Harto yang sayang kami".

Era reformasi membawa dampak besar kemunduran dibidang pertanian. Para petani harus jatuh bangun sendiri. Kebijakan pemerintah di era reformasi sebenarnya tidak tepat. Dimana pemerintah mencari sumber penghasilan pendapatan negara mengandalkan para investor yang menggali lubang tambang, pariwisata dan lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur dengan mengabaikan para petani. Jika, saja sektor pertanian digarap dengan serius, maka akan menyumbang pendapatan yang tidak sedikit serta membantu percepatan pembangunan infrastruktur, bahkan bisa memberikan kontribusi yang lebih luas lagi.

Bagaimana mungkin pertanian tidak memberi kontribusi besar bagi bangsa?. Karena, berbicara soal petani berarti berbicara soal pangan. Berbicara soal pangan, berarti berbicara soal masa depan sebuah bangsa.

Pertanian adalah faktor penggerak paling dasar dan utama dibidang perekonomian. Ini menyangkut daya beli masyarakat. Sebab, umumnya masyarakat bangsa ini merupakan para petani. Jika, hasil pertanian mereka dibeli dengan rendah, maka rendahlah daya beli masyarakat. Produk apa pun yang dilempar kepasaran pun menjadi sepi pembeli. Selanjutnya, akan berpengaruh kepada perlambatan Ekonomi bangsa. Yang ujungnya banyak perusahaan bangkrut, pabrik yang tutup, karena barang produksi mereka tidak terserap oleh pasar. Lebih parahnya lagi banyak orang yang harus kehilangan pekerjaannya.

Berbicara soal pangan, berarti berbicara soal pendidikan. Para orang tua akan menyekolahkan anak-anaknya, bila persoalan pangan mereka bisa tercukupi. Kalau tidak?, yang ada para orang tua akan membiarkan mereka tidak bersekolah. Sebagian orang tua lagi mungkin malah menyuruh anak-anak mereka turut bekerja mencari sesuap nasi. Maka, percuma saja berbicara soal ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi, jika yang diajak bicara saja harus mengais tong sampah untuk mencari makan. Mereka, tidak akan tertarik sama sekali, mereka akan lebih tertarik berbicara soal pangan. Oleh sebab itu, sebelum berbicara ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, politik, agama dan seabrek topik yang lainnya, selesaikan dulu soal pangan mereka. Setelah soal pangan selesai dan mereka tidak bingung lagi mencari makan, akan lebih mudah mengajak mereka berbicara apa saja dan tentang apa saja.

Berbicara soal pangan adalah berbicara soal kesehatan. Orang yang kelaparan cenderung lebih sensitif terkena penyakit. Anak-anak pun dilanda kekurangan gizi. Kesehatan mereka rentan, tubuh mereka lemah tak berdaya dan mungkin bisa menyebabkan kematian juga. Jika, berbicara soal kesehatan, maka pastikan dulu soal pangannya. Apakah mereka cukup makan?, atau kekurangan makan?.

Berbicara soal pangan, berarti berbicara tentang ibadah agama. Karena, makan dulu sebelum sholat itu lebih utama, ketimbang sholat dulu, baru makan. Ini disyariatkan agar dalam beribadah seseorang bisa fokus, khusuk dalam beribadah menghadap Tuhannya. Maka, jangan harap ceramah agama didengar, ajak beribadah disambut dan dakwah-dakwah bisa menyentuh hati mereka. Jikalau, soal pangan mereka belum tercukupi dan perut mereka dililit kelaparan.

Berbicara soal pangan adalah berbicara soal masa depan. Berbicara soal pangan, berarti berbicara tentang apa saja dan mengenai apa saja. Pangan adalah kebutuhan paling dasar bagi semua orang. Maka, sudah seyogyanya pemerintah diera reformasi ini menjadikan sektor pertanian sebagai program prioritas,  unggulan dan andalan. Berikan para petani bukan hanya sekeder bantuan-bantuan, tapi beri mereka kemudahan mengakses kebutuhan yang diperlukan dalam pertanian. Selain itu, tirulah Jepang dimana pemerintahnya siap membeli hasil komoditas pertanian dan intervensi swasta atau para tengkulak jika ingin membeli langsung hasil pertanian ke petani harus lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah. Untuk memastikan itu semua berjalan, kembalikan KUD disetiap desa-desa. Kalau pun, pemerintah era reformasi gengsi atau berdosa melanjutkan program orde baru, ubah saja nama Koperasi Unit Desa (KUD)  menjadi Koperasi Pertanian atau nama apa saja, yang paling penting fungsinya sama seperti KUD.

Bila, saja pemerintah sudah serius mengurusi pertanian dan memastikan harga hasil pertaniannya tidak dimainkan, maka yakinlah roda perekonomian akan berjalan lancar dan bidang-bidang lainnya pun pasti ikut berjalan jua. Sehingga, para petani sejahtera dan anak-anak mereka tentunya tidak akan gengsi menjadi petani. Mungkin, mereka justru bangga berkata "aku anak petani".

Bungo, 22 Januari 2017