Sumb Photo : unsplash.com


Negeri ini masih menjadi daya tarik bagi perusahaan-perusahaan terbesar yang ada didunia. Mereka berlomba-lomba menguasai pasar Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk sekitar 281 juta lebih, merupakan pangsa pasar yang terbesar di Asia Tenggara. 
Sehingga, negara lain masih memandang negara ini sebagai pasar konsumtif.

Hal ini tercermin dari konsumsi rumah tangga masih menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga paruh pertama tahun ini. Badan Pusat Statistik mencatat kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II 2024. Hal ini menjadi daya tarik untuk para pemilik perusahaan besar untuk menjual barangnya di Indonesia.

Para pemilik perusahaan dan investor cendrung ogah membuat pabrik didalam negeri. Mereka lebih memilih negara tetangga untuk memproduksi barangnya kemudian menjualnya ke dalam negeri kita. Selain, ongkos produksinya yang murah dan efisien, negara tetangga menawarkan kemudahan dalam segala hal perizinan dan isentif yang menarik investor untuk menanamkan modalnya disana.

Pemilik perusahaan maupun investor tidak berminat untuk memproduksi barangnya didalam negeri, mereka hanya ingin menjadikan negeri ini tujuan pemasaran produk-produknya. Tentu, dalam hal ini investor dan pemilik perusahaan luar negeri tidak bisa disalahkan. Karena, memang sistem kita masih amburadul.


Belum lagi pola pikir pejabat kita, sama saja. Meraka menjadikan negeri ini negara konsumtif, bukan sebagai negara produsen. Ambil saja contoh garam, negara dengan luas lautan 3,5 juta km² tidak mampu memproduksi garam sendiri dan harus impor garam sebanyak 2,4 juta ton untuk tahun 2024. Sayangnya pejabat kita menganggap itu hal yang lumrah. Padahal, jika negara ini bisa produksi sendiri untuk mencukupi kebutuhan nasional, nilai perputaran ekonomi yang akan didapatkan sangat besar lagi bagi negara maupun kesejahteraan rakyat. Syukur-syukur bisa eksport ke negara tetangga. Niatan menjadi negara produsen garam saja belum ada, apalagi hal-hal besar lainnya.

Tak salah jika memang para investor maupun luar negeri membuka pabrik atau perusahaan di luar negeri dan menjadikan negara ini tujuan pemasaran saja. Walaupun tidak punya pabrik di negeri ini mereka diberikan izin dan bebas untuk memasarkan produknya. Daripada ribet mengurusi birokrasi perizinan, pungli dan lain-lain, lebih baik pilih negara tetangga yang lebih mudah dan murah baik perizinannya maupun biaya produksinya.

Hal yang paling tidak mengenakan lagi, ekonomi Indonesia masih ketergantungan terhadap konsumsi rumah tangga, ini bisa berakibat buruk dalam beberapa hal yang bisa menghambat negara ini menjadi negara maju. Pertama, adalah bergantungnya perekonomian nasional terhadap daya beli masyarakat. Jika, daya beli masyarakat melemah maka perputaran ekonomi pun ikut melemah. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang cenderung begitu lambat karena hanya bergantung dari satu sektor, sedangkan sektor lainnya belum mumpuni.

Harapannya pemerintah bisa menjadikan negara ini produsen, bukan menjadi konsumen semata. Jika negara ini menjadi negara produsen akan menciptakan lapangan pekerjaan yang luas, memberikan nilai tambah ekonomi yang memberikan kesejahteraan masyarakat dan perputaran ekonomi yang tidak ketergantungan dengan konsumsi rumah tangga semata. Selain itu negara lain tidak hanya menjadikan negara ini negara tujuan pemasaran saja yang maunya jualan, tapi ogah buat pabrik maupun investasi.

Bungo, 19 Agustus 2024