Sumb photo : unsplash.com


Aku pun segera mengambil handuk kemudian masuk ke kamar mandi, namun Kak Lili masih saja mencecarku, kenapa muka ku bonyok seperti ini. Aku tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan mandi. Sampai kesel sendiri Kak Lili.

"Oke... kalau kamu enggak mau ngasih tahu, aku akan cari tahu sendiri", ucap Kak Lili dari luar kamar mandi dengan nada bicara yang keras.

Usai mandi dan ganti baju aku dan Kak Lili bersiap untuk pergi. Meski dengan muka bonyok seperti ini. Tidak apa-apa. Karena Kak Lili sudah datang menjemputku dan sudah tidak bisa menghindar lagi. Ya... meski aku masih khawatir dengan ancaman tadi siang. Semoga saja cowok tadi siang tidak sedang mengintaiku.

Aku sebenarnya penasaran dan ingin tahu siapa cowok yang tadi siang memukulku. Aku ingin bertanya pada Kak Lili, tapi aku belum bisa mengatakannya sekarang. Aku ingin mencari tahu sendiri siapa dia. Apa dia cowok Kak Lili?, tapi kenapa enggak pernah cerita?, atau mungkin dia adalah mantannya?. Nanti, nanti pasti aku tanyakan, nanti pasti aku akan tahu sendiri.

"Eh... Kenzi... kamu masih belum menjawab pertanyaanku, siapa yang membuatmu bonyok seperti ini?", Kak Lili dijalan masih saja mencecarku.

" Yee... tadikan di kos sudah aku jawab, aku jatuh Kak... ", kataku sedikit teriak karena takut enggak kedengaran, maklum kami berboncengan motor dan pakai helm.

" Ah...kamu masih enggak mau ngasih tahu aku. Awas ya...aku pasti cari tahu sendiri", ucap Kak Lili yang tidak sepenuhnya percaya.

Aku tahu Kak Lili merasakan ada yang janggal melihat luka lebamku, tapi aku belum siap untuk menjelaskannya. Lagi pula, jika aku ceritakan semuanya sekarang, itu hanya akan menambah kekhawatirannya. Jadi, aku tetap berpegang pada alasan bodoh bahwa aku jatuh.

Kami pun akhirnya sampai di sebuah kafe kecil di sudut kota. Tempat ini sesuai yang diinginkan oleh Kak Lili, mungkin ini tempat nongkrong favoritnya sejak dulu. Meski begitu pikiranku masih melayang dan diselimuti rasa khawatir, seolah cowok tadi siang terus saja datang membayangi. Mungkin perasaanku saja, tapi ancaman tadi siang dari cowok berbadan tinggi dengan teman-temanya benar-benar mengusik pikiranku.

Kami berdua pun memesan minuman dan memilih duduk tempat di pojokan, menghindar dari keramaian. Kak Lili masih saja ingin mencari tahu mengenai luka lebamku, matanya menatapku dengan tajam, seolah mengisyaratkan bahwa dia tidak percaya menegenai cerita karanganku dan terusencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Namun belum sempat Kak Lili mengatakan sesuatu, ponselnya berdering dari dalam tas.


"Halo? Oh, iya, bentar ya," katanya sambil beranjak dari kursinya. Kak Lili pun melangkah keluar untuk menerima telepon dan mencari tempat yang lebih tenang.

Aku tak punya prasangka apa-apa, kemungkinan besar ada telepon dari kantor atau rekan kerjanya. Aku yang duduk sendiri dipojok kafe, kemudian memandang ke sekeliling kafe, memastikan tidak ada yang mengawasiku, ya...aku masih mengkhawatirkan sosok cowok tadi siang dengan teman-temanya.

Saat mataku tertuju pada seorang cowok yang duduk di dekat jendela kafe. Dia mengenakan hodie putih, mengenakan masker dan menutup kepalanya dengan kupluk hodienya menatap tajam sorot matanya ke arahku dari balik cangkir kopinya. Hati kecilku berbisik penuh kekhawatiran dan kecurigaan. Jantungku mulai berdetak lebih kencang. Apa ini kebetulan? Atau... memang sudah direncakan?, apakah dia cowok yang tadi siang?. Benarkah dia mengawasiku setiap saat gerak gerikku?.

Saat aku ingin segera mengalihkan pandangan, cowok miterius itu berdiri, menyandang ranselnya dan berjalan mendekatiku. Aku panik dan gugup. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera bangkit dari kursi dan berusaha mencari Kak Lili agar bisa menghindari cowok tersebut.

"Kenzi..!, diam kamu disitu..", teriak cowok tersebut menghentikan langkahku, dia pun berjalan mendekatiku dengan langkah cepat.

Aku membeku. Darahku serasa mengalir lebih deras, isi kepalaku sudah mendidih, aku pun siap untuk menghadapinya. Kepalang basah, nasi sudah jadi bubur. Aku hanya heran bagaimana cowok itu tahu namaku?. Aku berusaha tetap tenang, membuang semua kepanikan yang ada dalam diri, sebab aku tak pernah sekali pun bertengkar sama orang lain sebelumnya.

"Iya, ada apa?", dengan suara yang sedikit bergetar meski aku sudah berusaha mengontrol emosiku. Cowok itu justru tersenyum tipis. Senyum yang membuatku semakin curiga.

"Aku rasa kita punya urusan yang belum selesai, aku sudah memberikan peringatan kepadamu tadi siang, tapi ternyata gede juga nyalimu," katanya sambil menyodorkan secarik kertas ke arahku.

Aku ragu-ragu sejenak sebelum mengambilnya. Secarik kertas itu hanya bertuliskan sebuah nomor telepon.

"Telepon aku nanti. Kita perlu bicara lebih serius, kalau lho benar-benar laki-laki, kita harus selesaikan ini secepatnya masalah ini. Aku hanya tak mau ribut di sini dan ingat jangan sampai Lili tahu," ucapnya tanpa menunggu respon dariku, lalu berbalik pergi meninggalkanku yang masih terpaku di tempat.

Saat Kak Lili kembali, aku buru-buru menyembunyikan secarik kertas itu ke dalam saku. 

"Kamu kenapa? Kok kelihatan tegang gitu?" tanya Kak Lili sambil duduk kembali.

Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri dari kejadian singkat tadi.

"Enggak, enggak apa-apa, Kak. Cuma agak pusing sedikit saja", kataku menutupi ketegangan dan kegugupan.

Kak Lili mengerutkan alisnya, jelas-jelas tidak puas dengan jawabanku, tapi dia memilih untuk tidak mencecarku lebih jauh. Namun aku tahu, malam ini masih belum berakhir. Ada seseorang yang harus kuhadapi dan entah bagaimana, cowok tadi yang entah siapa itu akan memperlakukanku nanti. Aku, was-was.

Bungo, 25 September 2024