Sumb Photo : unsplash.com


Pagi itu, Sudrun mengasah goloknya disamping rumah. Ia bersiap-siap untuk mengambil rencek (kayu bakar) di hutan yang tak jauh dari rumahnya. Kemarin, antara Sudrun dan Bejo sudah sepakat jika hari ini kegiatannya ambil rencek.

Selesai mengasah goloknya, Sudrun mengambil dadung (tali) yang disimpannya di kandang sapi. Hari ini Sudrun semangat sekali karena sudah ada warga yang memesan rencek sehingga ia dan Bejo harus segera memenuhi pesanan. Satu ikat besar rencek kering dihargai sekitar Rp. 12.500,- . Itupun mengambilnya di tengah hutan dan harus berjalan jauh, terkadang harus menyebrangi sungai. Nominal uang yang didapat mungkin tidak seberapa, tapi bagi Sudrun dan Bejo sangat bernilai, karena untuk mendapatkannya bukanlah hal mudah.

Sudrun pun sampai di rumah Bejo yang sudah bersiap berangkat, mereka pun berjalan kaki masuk kedalam hutan, mencari ranting-ranting pohon jati yang kering atau patah. Mereka berdua tidak bisa mengambil ranting kayu sembarangan. Salah ambil, bisa ditangkap oleh polisi hutan.

Sudrun dan Bejo menggeluti pekerjaan sampingan menjual rencek sedari SMA, mereka berdua melihat potensi bisnis yang menguntungkan. Di desa mereka para warganya masih mengandalkan potensi alam yang ada disekitar lingkungan. Termasuk untuk memasak mereka masih menggunakan rencek, meskipun dunia semakin modern dan bisa menggunakan kompor gas, tapi warga masih tetap memilih kayu bakar, lebih hemat biaya.

Omset penjualan rencek tidak menentu, ini kerja sampingan Sudrun dan Bejo diluar menjadi buruh tani dan ternak sapi. Pembeli individu sangat jarang, kebanyakan warga sekitar mencari rencek sendiri ke dalam hutan. Rencek mereka berdua laku disaat-saat ada warga yang punya hajatan besar, seperti acara nikah, sunatan dan lain-lain yang membutuhkan masak besar.

Sudrun dan Bejo jika sedang tidak sibuk buruh tani, mereka selalu menyempatkan diri untuk mengumpulkan rencek, semakin banyak stock mereka semakin aman. Orderan rencek tidak tentu datangnya, kadang dapat pesanan tapi rencek kosong.

"Istirahat dulu, Drun... Capek", pinta Bejo setelah selesai mengikat rencek. 

" Enggak langsung pulang kita? "

"Nafas dulu Drun... ", jawab Bejo yang nafasnya terengah-engah, karena harus naik turun mengambil renceknya. 

" Tuh... Makanya kamu mending cari kerja di kantoran gitu. Kayak cucunya Mbah Saberang itu, si Encep. Biar hidupmu enggak gini-gini aja dan enggak perlu capek-capek, tinggal duduk didepan komputer, setidaknya kamu kan tahu sedikit banyak masalah komputer", ujar Sudrun setengah meledek Bejo.

" Maunya sih begitu, Drun... tapi... "

" Tapi apa? ", Sudrun memotong omongan

" Tapi, baru baca persyaratannya saja, sudah mundur alon-alon (pelan-pelan)", keluh Bejo yang sekarang kerjanya hanya serabutan buruh tani.

"Memang persyaratan apa?", Sudrun ingin tahu.

"Persyaratannya minimal punya pengalaman kerja 1 tahun dibidang yang sama. Gimana punya pengalaman? , diterima kerja saja belum", Bejo menggerutu.

" Cari aja yang syarat tanpa syarat pengalaman atau apa namanya?, presss... press.. Graa..graa.. Apalah itu namanya, susah mau kemeringgis (mengucapkan Bahasa Inggris)", Sudrun memberikan saran.

"Ada yang tanpa syarat pengalaman kerja, tapi harus yang unyu-unyu"

"Maksudnya umurnya masih muda dan good looking gitu ya? ", Sudrun memastikan yang dimaksud unyu-unyu.

" Bener Drun... muka-muka ndeso dan umurnya sudah melebihi batas yang ditentukan, jadi peluang kerja kita untuk kerja enak di kantoran tipis sekali. Memangnya kita yang muka jelek enggak butuh kerjaan apa?, memang umur-umur lebih dari kepala tiga sudah enggak boleh kerja?, harus pensiun gitu?. Ini harusnya termasuk diskriminasi. Diskriminasi bagi kita yang enggak good looking dan yang sudah tua bangka menurut orang-orang diperusahaan itu. Padahal, lihat saja?, kita masih gagah dan tenaga masih kuat, tapi dianggap umurnya sudah lewat, maunya hanya rekrut adik-adik gemes saja", ujar Bejo yang mengeluarkan unek-unek didalam kepala.

"Ya enggak bisa dibilang diskriminasi dong?, wajar saja mereka pakai batasan umur, good looking dan punya pengalaman kerja, mereka kan sedang mencari kandidat yang terbaik untuk perusahaannya", Sudrun tidak setuju dengan pendapat Bejo.

" Diskriminasilah, memang kita yang tua-tua ini enggak butuh kerjaan?, justru yang masih kecil-kecil belum butuh tanggungan besar, kita ini yang mestinya diprioritaskan, kita punya tanggungan anak dan isteri atau setidaknya kasih kesempatan bagi kita yang belum berpengalaman, meskipun enggak good looking dan sudah tua ini menurut mereka", semakin sengit Bejo mendebat pendapat Sudrun.

"Konsep pemikiran HRD tidak seperti yang kamu pikirkan Jo. Mereka ingin mendapatkan kandidat yang terbaik. Jika, coba-coba nanti bisa saja menganggu produktivitas perusahaan. HRD maunya rekrut karyawan untuk jangka lama dan bisa beradaptasi cepat dengan sistem kerja. Bongkar pasang karyawan bisa sangat mempengaruhi kondisi perusahaan ", tak mau kalah Sudrun membantah argumen Bejo.

" Weh... Weh... Drun... Sudrun, ngomongmu sudah seperti direktur saja. Aku tetap enggak setuju dan menganggapnya sebagai diskriminasi terhadap kaum pekerja", Bejo tidak mau melanjutkan debatnya, karena jika diladenin bisa panjang. Mereka berdua tetap pada pandangannya masing-masing.

"Ya sudah.. Ayo kita pulang bawa rencek, nanti kita balik lagi supaya cepat terkumpulnya", ucap Sudrun yang sudah mulai mengangkat pikulan dipundaknya membawa dua ikat rencek dikanan kirinya. Begitu juga Bejo membawa beban yang sama.

" Iya Drun, nasib kita memang sudah begini, bersyukur saja, masih diberikan badan sehat dan rezeki yang cukup, meskipun harus bekerja lebih keras dan lebih capek, tidak apa-apa", Bejo juga sudah bersiap mengangkat rencek. 

Didunia ini memang seperti terlihat kurang adil, tapi sebenarnya masing-masing punya peran tersendiri. Tidak ada pekerjaan yang rendah dan hina, yang ada hanya manusia sombong yang suka merendahkan dan menghina profesi orang lain.

Bungo, 20 Agustus 2024