Kegaduhan dari hari ke hari terus terjadi di negeri antah berantah. Kegaduhan itu semakin berisik mengusik sendi-sendi kehidupan. Negeri yang memiliki lima mutiara yang membuat iri seluruh bangsa-bangsa di dunia. Negeri yang secara fundamental telah selesai dan sudah sepakat mengenai semboyannya yaitu bersatu dalam keragaman dan perbedaan. Dimana para penduduk negerinya saling berdampingan hidup bersama-sama. Kini semboyan itu diuji dan para penduduk negeri itu saling curiga antara satu dengan yang lainnya.

"Lha koq?, negeri antah berantah ta, Jo?", tanya Mbah Saberang.

" Mau gimana Mbah?, aku sungguh tak tega menyebut namanya. Negeri dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Negeri yang aku banggakan dan tetap akan ku banggakan. Negeri yang masyhur dengan persatuan dan kedamaiannya, yang penduduknya saling menerima, saling menghormati, saling menyanyangi dan saling hidup rukun dalam keragaman maupun perbedaan ras, suku dan agama. Namun, kini semakin renggang, saling serang, saling benci dan saling caci, hanya gara-gara hal sepele yaitu perbedaan pandangan politik. Hal ini sangat ironis dan menyedihkan. Jika, kita terus bertengkar dan gontok-gontokan terus, maka kita akan menjadi bangsa yang pecah belah.", Bejo menjelaskan mengapa ia menyebut negeri antah berantah. Meskipun mereka sama-sama tahu negeri mana yang dimaksud.


"Itu kekhawatiranmu saja, le...?", celetuk Mbah Saberang.

"Bagaimana aku tidak khawatir, Mbah?, sebagai pemuda yang cinta negeri ini dan melihat kegaduhan serta peristiwa-peristiwa yang terjadi, kita harus khawatir. Khawatir itu sebagai bentuk waspada agar kita mampu meredam dan menghentikan agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terus terjadi", dengan semangat Bejo menjawab.

"Memangnya kita ini siapa?, dan bisa berbuat apa?, agar kegaduhan dan peristiwa-peristiwa itu tidak terus terjadi ", Mbah Saberang menanggapi dengan santai.

"Kita memang bukan siapa-siapa, Mbah.. Tapi, kita bisa berbuat agar kegaduhan dan peristiwa-peristiwa yang bisa memecah belah bangsa tidak terus terjadi", Bejo menjawab dengan geregetan.
"Terus, piye carane le...?", tanya Mbah Saberang ingin tahu.

"Caranya kita jangan ikut-ikutan gaduh dan dengan tidak meyebarkan fitnah, kebencian serta menjadi sumbu pembakar yang menjadikan kegaduhan meluas, pun supaya peristiwa-peristiwa yang meresahkan yang tidak kita inginkan tidak terjadi ", wajah Bejo serius menjawab pertanyaan Mbah Saberang.

"Ngono thok?", Mbah Saberang tertawa terbahak-bahak.

"Piye ta?, Mbah... walaupun ngono thok, itu bisa berdampak luas skalanya. Cara sederhana dimulai dari diri kita sendiri itu akan berdampak besar bagi kemajuan bangsa dan negara", sembari nyeruput kopi dan agak emosi Bejo menjawab.

"Tumben waras kamu, Jo?", lagi-lagi Mbah Saberang  nyeletuk.

"Gimana aku enggak waras, Mbah?, Aku gagal menjadi orang tidak waras, wong sekarang sudah banyak yang kehilangan akal warasnya hanya gara-gara beda pilihan politik. Diseberang sana berteriak-teriak sibuk kerja, diseberangnya lagi tidak kalah kencang berteriak ganti presiden. Kayak-kayak bangsa ini hanya soal perebutan kekuasaan, like and dislike. Gara-gara itu jadi benih-benih permusuhan antara saudara sebangsa sendiri", mengehela nafas panjang Bejo mengerutu.

"Lho, kan sudah mulai ikut-ikutan gaduh. Katanya tadi tidak boleh ikut gaduh dan menjadi sumbu pembakar ", kata Mbah Saberang mengingatkan.

" Aku kudu piye maneh, Mbah?, wong kahanane kados mekaten", Bejo tertunduk lesu.

"Kita boleh khawatir, tapi jangan sampai risau, gelisah, takut apalagi kehilangan optimisme. Kegaduhan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi itu adalah ujian untuk bangsa ini agar menjadi bangsa yang hebat dan bermartabat. Soal beda pandangan politik yang membuat gaduh dan berisik, sesungguhnya bangsa ini sedang belajar berdemokrasi. Kita harus mengakui bahwa kita masih belajar berdomkrasi, pun para politisi kita juga belum matang dan dewasa dalam berpolitik, yang sering merasa hebat dan membuat kegaduhan hanya untuk ambisi kuasa semata. Kita ini cuma wong cilik, memang benar katamu, kita tidak perlu ikut-ikutan gaduh. Cara yang terbaik yaitu kita do'akan saja, semoga Allah senantiasa menjaga kesatuan bangsa kita dan semoga saja siapa pun yang jadi pemimpin negeri ini adalah pemimpin yang amanah, bijaksana dan adil. Selama ini kita salah, cinta buta terhadap pemimpin dan membabi buta menyerang pemimpin yang kita benci. Kita ingin pemimpin yang ini saja, tapi kita tidak tahu kalau-kalau ternyata ganti pemimpin negeri ini jadi lebih baik. Kita ngotot ganti pemimpin, tapi kita belum tahu apakah benar dengan ganti pemimpin bangsa ini jadi lebih baik atau lebih buruk?. Kita lupa satu hal, le... yaitu berdo'a supaya negeri ini mendapatkan pemimpin yang terbaik, siapa pun itu ", kata Mbah Saberang sembari menepuk pundak Bejo.

"Enggeh, Mbah...", lirih Bejo berkata.

"Ya wes, tutuke olehmu sinau kahanan, le...", Mbah Saberang menutup obrolan malam ini dan pamit pulang. Bejo pun hanya manggut-manggut saja.

Bungo, 23 Mei 2013