Sumb photo adobe


Melamun menatap hamparan hijau sawah. Pikiran Bejo entah melayang sampai mana. Dia sedari tadi duduk membisu dalam gubuk dipinggir sawah. Padi-padi terlihat tumbuh subur, angin semilir menambah sejuk dan mengantarkan lamunan Bejo bertambah jauh.

Sore itu, Bejo istirahat digubuk setelah memenuhi karungnya dengan rumput. Aktivitas sehari-hari yang dia lakoni setiap hari untuk memberi makan sapi-sapinya. Tanpa disadari Sudrun diam-diam mengendap-endap dari arah belakang.

"Dooorrrr...! ", teriak Sudrun mengagetkan Bejo.

" Opo sih...?, ganggu orang melamun saja", Bejo menyergitkan dahinya karena lamunannya harus buyar oleh tingkah Sudrun.

" Apa yang kamu pikirkan?, kayak sedang mikir negara saja", ledek Sudrun yang kemudian duduk didepan Bejo yang bersandar pada tiang.

" Memang enggak boleh kita ikut mikirin negara ini?".

"Bukannya enggak boleh, Jo.. tapi untuk apa?, nambah-nambah beban pikiran saja. Kita kan sudah punya wakil-wakil rakyat, biar mereka saja yang mikir", ucap Sudrun yang mengipas-ngipas badannya dengan caping.

" Itu.. itu.. seharusnya. Kenyataannya?, mereka tidak memikirkan nasib kita. Jika, mereka benar-benar memikirkan kita, kita pasti sudah sejahtera. Sehingga, orang sepertiku tidak perlu lagi memikirkan ironi dinegeri ini", Bejo berbicara dengan muka serius.

"Dimana ironinya?, nyatanya kita baik-baik saja", Sudrun tidak setuju dengan pendapat Bejo.

" Lihat saja hamparan padi ini. Begitu suburnya tanah tempat kita lahir ini. Segala sesuatunya dikaruniakan pada bangsa kita. Mulai dari emas, perak, nikel, timah, minyak, gas dan banyak lagi yang lainnya. Tanah subur, tapi tidak membuat rakyatnya makmur. Kekayaan alam melimpah, tapi kehidupan rakyatnya tidak gemah ripah. Seperti peribahasa, tikus mati dilumbung padi", tatapan Bejo jauh memandang ke arah hamparan luas sawah.

"Tapi kan?, memang hasilnya tidak cukup untuk memakmurkan semua rakyat Jo? ", Sudrun berucap.



" Tidak cukup bagaimana?, lihat saja negara-negara timur Tengah, hanya dari hasil minyak saja semua rakyatnya sejahtera. Singapura yang punya wilayah sekecil itu dan tidak punya sumber daya alam yang melimpah saja bisa menjadi negara maju. Kita!, punya segalanya yang negara lain tidak punya. Tapi, miris dan ironi nasib kita, jauh dari kata makmur. Sedari kecil kita telah dicekoki dogma dan propaganda, urusan dunia tidak penting, dapat rezeki cukup untuk makan saja sudah syukur. Sehingga, kita lupa menuntut hak kita, sehingga mereka bebas menggarong apa saja dan membiarkan kita menjadi masyarakat kelas bawah. Mereka sengaja memberikan doktrin sesat lewat tokoh-tokoh agama, tak usah mengejar dunia, karena hidup didunia hanya sesaat, sedangkan mereka diam-diam menghabiskan segala apa yang kita punya", panjang sekali Bejo berbicara mengeluarkan keluh kesahnya.

"Eh... jangan begitu Jo. Jangan bawa-bawa tokoh agama, tidak boleh begitu. Kecewa boleh, tapi jangan seperti itu Jo.. Hidup kita hanya mampir minum, sebentar. Jadi sudah benar apa yang disampaikan oleh mereka Jo", Sudrun berusaha menasehati Bejo yang sudah mulai salah arah.

"Ya gara-gara inilah, kita salah tafsir, salah kaprah memahaminya. Kita terlalu pasrah sama nasib, kita akhirnya tidak mau bekerja lebih keras lagi, kita akhirnya mudah di bodohi oleh cukong-cukong itu. Kita akhirnya lupa mendidik anak-anak generasi penerus, kita berpikir sekolah yang penting hanya cukup tahu baca tulis itu saja. Dan apa akibatnya?, bangsa ini tidak pernah maju, bangsa ini mudah diprovokasi, bangsa ini mudah dibodohi dan bangsa kita tidak bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kesalahan tafsir bisa berakibat fatal, justru karena sebentar hidup kita didunia harus meninggalkan jejak yang baik, mencetak sejarah dan menciptakan generasi-generasi hebat. Bukankah manusia adalah khalifah dimuka bumi?", kata Bejo dengan raut wajah geram.

"Tapi.. "

"Tapi, apa Drun?, sebagai khalifah tidak semestinya merusak bumikan?, sebagai khalifah harus peduli nasib sesamakan?, sebagai khalifah tidak bolehkan membiarkan kehancuran dimuka bumi?, sebagai khalifah sangat perlu pendidikan yang baik?. Pemimpin yang pandai dan bijaksana mampu mengubah tanah gersang menjadi hijau, sebaliknya pemimpin yang bodoh dan rakus akan menjadi lahan yang subur menjadi tandus. Jadi, percuma jika suatu negara punya kekayaan alam melimpah dan di pemimpin oleh orang yang serakah, rakyatnya akan tetap menderita. Sebaliknya, meski negara itu tidak punya kekayaan alam, tapi punya pemimpin yang baik, amanah dan bijaksana, maka rakyatnya akan punya segalanya", terus saja Bejo berkata panjang lebar.

"Terus apa hubungannya dengan dogma, propaganda atau doktrin-doktrin yang kamu sebutkan itu tadi? ", Sudrun masih belum paham.

" Ya... kita harus lebih giat lagi bekerja dan memberikan pendidikan yang baik untuk generasi selanjutnya, karena hidup kita singkat, jadi harus punya makna, harus meninggalkan jejak, harus membekas. Kamu tahu kan Drun?, dunia adalah ladangnya akhirat. Jadi, dalam hidup yang singkat ini harus sebanyak-banyak menanam", Bejo lalu mengambil botol air minum.

"Lha terus?, apa hubungannya dengan tikus mati dilumbung padi tadi? ", bertambah bingun Sudrun mendengar jawaban Bejo.

" Hubungannya?, banyak Drun... jadi kita harus kerja keras mendidik anak-anak, menyekolahkan mereka setinggi-tingginya, membekali mereka dengan agama juga, agar mereka tidak jadi tikus yang mati dilumbung padi. Dengen begitu, mereka juga tidak akan mudah dibodohi, bisa memilih pemimpin atau jadi pemimpin yang baik, amanah dan bijaksana, sehingga kekayaan alam yang melimpah dan tanah bangsa ini yang subur benar-benar digunakan untuk kemakmuran rakyat ", kini Bejo makin bersemangat menjelaskan.

" Terus kenapa kamu menyalahkan orang yang bilang tidak usah mengejar urusan dunia? ", Sudrun masih saja tidak mengerti.

" Sekarang banyak orang-orang berlindung dengan dalih agama, termasuk apa yang kamu bilang tadi. Mereka menggunakan dalil itu untuk menutupi kemalasan. Banyak juga yang salah memahaminya pula, sehingga merasa tidak perlu memberikan pendidikan yang layak pada anak-anaknya, merasa cukup puas dan cenderung pasrah pada nasib dan tidak punya kehendak, ghirah dan tekad mengubah nasib mereka sendiri. Jangankan mengubah, protes saja mereka tidak mau. Efeknya, bangsa kita, negara kita dan bahkan nasib kita akan seterusnya begini-begini saja", Bejo tetap antusias menjelaskan.

"Sudahlah... aku kurang mengerti apa yang omongkan. Mending kita cabut singkong buat cemilan nanti malam", sambil garuk-garuk kepala Sundrun bicara.

" Ayo...!", sahut Bejo langsung berdiri dari duduknya.

Bungo, 21 Oktober 2024