Dan semua orang sibuk akan kasak kusuk. Saling berdebat, saling adu kuat, jagoan siapa yang paling hebat. Mereka juga saling mengorek-ngorek cacat, jika tiada, maka mereka akan membuat-buat seolah jagoan lawan cacat. Alhasil, kedua belah kubu saling hujat menghujat.
Pemilihan lurah kali ini tidak seperti biasanya. Antusiasme dan gagap gempita sangat terasa. Generasi muda yang dulu hanya main gitar di ronda, ngobrol sana sini bercanda, kini telah berubah obrolan mereka. Memetik gitar dan bernyanyi bak Iwan Fals. Obrolan mereka tidak lagi melulu seputar cinta kasih diusia remaja. Topik berganti ke arah yang lebih nyentrik ala politik.
Patut disyukuri perubahan prilaku genarasi muda yang mulai peduli dengan urusan kepemimpinan. Perubahan itu merupakan modal mereka kelak sebagai penerus kaum tua, namun menjadi petaka bila ternyata kepedulian mereka tentang pemilihan lurah berubah menjadi fanatisme terhadap jagoannya yang dikhawatirkan bisa memercikkan api permusuhan.
Tanda-tanda fanatisme genarasi muda didesa tempat tinggal Bejo sudah mulai tampak. Biasanya mereka berkumpul di pos ronda yang sama, kini mulai bergerombol ditempat yang berbeda. Ada yang bergerombol di pos ronda dan ada juga yang bergerombol dibawah jembatan.
Tentu, Bejo sebagai anak muda desa yang agak sedikit nyelneh, tidak seperti anak-anak muda lainnya, diam-diam mengamati prilaku mereka. Bejo tahu gerombolan di pos ronda merupakan anak-anak muda yang mendukung si A, sedang dibawah jembatan mendukung si B. Bejo tahu, sebab ia terkadang ikut di pos ronda dan terkadang ngobrol bersama gerombolan anak muda dibawah jembatan.
Bejo bisa ikut sana sini dan mudah diterima, karena memang nyelneh prilakunya. Sehingga, Bejo bebas kesana kemari, sak enak udele dewe. Seperti, orang yang tidak punya pendirian. Penilaian itu bukan permasalahan bagi Bejo, namun yang menjadi permasalahan adalah perpecahan dan permusuhan.
Melihat dan merasakan ada hal yang janggal di desanya Bejo mulai berpikir bagaimana cara mendamaikan dan merekatkan kedua belah kubu anak muda desanya. Bagai minyak dan air, kedua belah kubu sepertinya sulit menyatu. Tapi, Bejo tak patah arang mencari solusinya.
Baca juga :
Kedua belah kubu anak muda ini jika dibiarkan terus menerus dalam fanatisme yang berlebihan akan berdampak pada ketenteraman kehidupan masyarakat desa. Setiap malam meski mereka tidak bergerombol di tempat yang sama, ternyata mereka saling beradu kuat di media sosial. Tak jarang mereka juga saling labrak bila emosi tak lagi terbendung.
Bukan perkara mudah memang menyatukan kembali sesuatu yang pecah. Bejo sudah berusaha keras agar para pemuda didesanya kembali menjadi satu. Melalui lomba sepak bola, panjat pinang, makan bersama dan bahkan mengadakan kemah bersama, namun selesai acara mereka tetap seperti semula yaitu tetap terpecah menjadi dua kubu.
Pada akhirnya Bejo harus menyerah untuk menyatukan dan mendamaikan kembali kedua belah kubu anak muda didesanya. Bejo kini lebih memilih bertapa saja. Menepi dari urusan-urusan mereka. Tak lagi peduli lagi meskipun kedua belah kubu saling berkelahi. Bejo lebih memilih bungkam dan tidak lagi mau berteriak lantang. Soal politik?, apalagi, Bejo bahkan perutnya mual ketika mendengar ada orang yang membicarakannya.
Saat suhu perpolitik mencapai klimaks riuh rendahnya. Ketika pemilihan mencapai titik didihnya. Kala para pemuda bersuara lantang-lantangnya. Bejo lebih memilih diam, bertapa ditengah keramaian, keriuhan sekaligus keruwetan yang menyulut api kebencian dikarenakan perbedaan pilihan.
Bagi Bejo kelak, setelah masa pemilihan lurah selesai dan jagoan siapa yang menang, mereka akan tahu hasilnya sendiri. Apakah itu menguntungkan bagi mereka?, apakah mereka menikmati manisnya hasil memperjuangkan jagoan mereka?, dapatkah mereka memanen buah jerih payah fanatisme?, dan dapatkah mereka berkah dari jagoan yang mereka bela?.
Atau nasib mereka tetap sama?, atau justru mereka harus gigit jari?, atau mereka malah memanen buah pahit dari fanatisme?, atau mereka kelak menyesal karena bertengkar permasalahan yang sebenarnya sepele?.
Entahlah?, Bejo hanya bisa diam bertapa dipinggiran desa, sembari melangitkan do'a, "Semoga mereka baik-baik saja dan diberikan karunia pemimpin yang bisa menyatukan dan mengayomi semuanya", begitu Bejo berdo'a dalam pertapaannya.
Bungo, 02 Desember 2018
0 Comments
Post a Comment