Berbicara soal agama memang merupakan hal yang sangat sensitif. Sedikit saja perkataan bisa menyulut kemarahan. Apa yang menjadi keyakinan akan dibela mati-matian. Bahwa, itu juga menunjukkan seberapa besar ekspresi kecintaan seseorang terhadap agama yang diyakini. Agama itu suci, tidak boleh diobok-obok dan diolok-olok.

Reaksi Bejo hampir sama, saat mendengarkan perkataan Ki Lurah Tejo yang menjadi viral hari-hari ini. Ia sangat marah luar biasa. Menggebrak meja. Membanting gelas. Berteriak lantang, "kurang ajar...!!!". Raut muka Bejo merah padam. Berjalan mondar mandir penuh kegelisahan.

Kemudian, ia berlari pergi ke rumah Lek Giman untuk membicarakan kasak kusuk yang sedang terjadi. Bahwa perkataan Ki Lurah Tejo sudah sangat keterlaluan, bahkan sudah masuk dalam taraf menistakan agama. Syukur-syukur Lek Giman setuju untuk membawa masalah itu ke pihak yang berwenang.

Bejo pun tidak butuh waktu lama untuk bisa sampai ke rumah Lek Giman yang jaraknya memang hanya lima puluh meter dari rumahnya. Sesampai depan pintu rumah dengan nafas yang engos-engosan, Bejo berteriak-teriak memanggil Lek Giman. Lek Giman yang sedang beristirahat siang didalam kamar pun kaget, ia segera bangun dari tidurnya. Keluar dari kamar dan melihat ke arah pintu ada Bejo yang berdiri menunggu. "Ada apa...?!,  memang ada rumah yang kebakaran", tanya Lek Giman dengan heran. "Ini bukan soal rumah yang kebakaran. Tapi, soal hati dalam dadaku yang sedang terbakar", jawab Bejo penuh kemarahan.

"Sek ta... Tunggu dulu. Jangan tergesa-gesa. Belum apa-apa sudah berbicara soal hati yang terbakar. Masuk dulu... duduk dulu... Kita berbicara jangan menggunakan emosi. Tapi, gunakan dengan pikiran yang dingin", kata Lek Giman kepada Bejo. "Bu... Bikinkan kopi untuk Bejo", teriak Lek Giman sembari mempersilahkan Bejo duduk.

"Pak Lek tentu sudah tahu tentang masalah yang sedang hangat didesa ini", Bejo memulai pembicaraan. "Lho?, memang ada masalah apa?. Aku rasa desa ini baik-baik saja", Lek Giman bertanya tidak mengerti. "Wah... Pak Lek ini tidak pernah update informasi. Semua sudah ribut sana sini. Pak Lek justru adem ayem dirumah saja. Sesekali keluar rumah, biar tahu kondisi desa ini ada apa. Desa sudah sedemikian gawat pemimpinnya koq dibilang baik-baik saja", ujar Bejo sedikit menyindir.

"Memangnya letak kegawatan itu ada dimana?", Lek Giman masih tidak mengerti apa maksud Bejo. "Ini masalah lambe turahnya Ki Lurah. Ia sudah berani berbicara keterlaluan didepan warga. Ki Lurah menistakan agama. Mengatakan bahwa ayat-ayat suci itu adalah kebohongan", dengan nada keras, penuh kemarahan menjelaskan kepada Lek Giman.

"Kalau itu masalahnya sangat berat. Aku pun tidak mau menanggapi dan tidak punya kewenangan menyatakan bahwa Ki Lurah berucap menistakan agama. Pun saya tidak yakin akan hal itu", seloroh Lek Giman. "Pak Lek memang tidak punya kewenangan, akan tetapi setidaknya mengambil sikap. Memberikan opini sebagai bentuk bahwa Pak Lek peduli terhadap agama", penuh kesal Bejo berucap.

"Peduli?. Engkau memintaku untuk peduli. Sejak kapan engkau peduli?. Saya lebih percaya engkaulah yang berbuat nista. Menistakan dirimu sendiri. Engkau tidak pernah datang ke Masjid saat adzan berkumandang. Engkau malah ngerumpi berdesak-desakan diwarung kopi sementara masjid dan mushola kosong melompong. Tidak pernah hadir dimajelis dzikir. Tidak pernah ikut tahlilan dan pengajian-pengajian. Itulah penistaan yang sebenarnya. Engkau mengaku beragama, namun enggan bertaqwa", Lek Giman sangat marah terhadap Bejo.

"Terserah apa kata Pak Lek itu. Namun, dengan kepedulianku terhadap permasalahan ini setidaknya menunjukkan masih ada setitik iman dihatiku. Aku justru heran kepada Pak Lek yang tidak peduli dan tidak bergetar hatinya saat agama kita dinistakan dan dilecehkan. Dimana keimanan Pak Lek?. Padahal, Pak Lek rajin beribadah. Pak Lek ternyata hanya menjadikan agama sebagai kedok semata. Pak Lek telah berbuat nista. Berangkat haji, karena ingin dipanggil haji. Datang ke pengajian-pengajian supaya dibilang Kyai. Memimpin tahlilan, supaya dipanggil ustadz. Pak Lek itu zionis sekaligus antek barat dan musuh dalam selimut yang sangat berbahaya", Bejo juga tak kalah hebat kemarahannya. "Aku kecewa kepada Pak Lek. Tidak ada gunanya aku datang kesini", kata Bejo berlalu pergi.

Dari arah dapur datang istri Lek Giman membawa nampan berisi satu piring pisang goreng dan dua cangkir kopi. "Ini pak kopinya...", ucap istri Lek Giman lembut sambil meletakkan nampan diatas meja. "Sudah bawa masuk lagi kopinya, aku mau melanjutkan tidur. Dasar Bejo, wong gemblung", Lek Giman berkata sembari beranjak dari tempat duduknya. Lalu, masuk lagi ketempat tidur. Istri Lek Giman hanya berdiri memandangi suaminya penuh heran.

Sementara itu Bejo berjalan menuju rumah Mbah Saberang dengan harapan bisa mengajaknya berdiskusi dan mengambil sikap. Sesampainya dirumah Mbah Saberang pun Bejo langsung menunjukkan bukti rekaman pembicaraan Ki Lurah Tejo yang dianggap menistakan agama. Setelah Mbah Saberang mendengar rekaman itu justru ia malah tertawa terbahak. Tentu, Bejo sangat heran dan bertanya kepada Mbah Saberang, "Mbah koq malah tertawa?. Ini persoalan yang sudah gawat, kronis dan perlu segera diambil sikap serta tindakan".

"Coba putar lagi, supaya kita paham dan cermat mendengarkannya", Mbah Saberang tidak menanggapi perkataan Bejo, tapi justru meminta agar rekaman itu diputar kembali. Mereka berdua sama-sama mendengarkan. Lagi-lagi Mbah Saberang tertawanya menggelegar setelah selesai rekaman diputar. Bejo pun semakin terheran-heran kembali. "Mbah ini gimana ta...???. Malah tertawa. Apa Mbah belum bisa mendengar dan menemukan kalimat penistaan yang dilakukan Ki Lurah dalam rekaman itu?", pertanyaan itu dilontarkan dengan tegas oleh Bejo.

"Apa perlu diputar lagi, Mbah..?", kata Bejo menawarkan. Mbah Saberang pun manggut-manggut tanda setuju. Rekaman itu pun diputar untuk yang ketiga kalinya. Mbah Saberang pun justru tertawanya semakin meledak-ledak. Wajah Bejo berubah masam melihat Mbah Saberang yang menurutnya gagal mengerti.

Bejo pun marah luar biasa, sebab Mbah Saberang hanya tertawa saja. Ia melabrak Mbah Saberang, "Mbah... Ini sangat penting dan sudah kronis. Saya kira Mbah sudah sangat tahu. Lebih baik katakan saja yang sebenarnya walaupun itu sangat menyakitkan bagi kita. Jangan pernah sungkan, apalagi takut. Lihat apa yang dibicarakan, bukan siapa yang bicara. Kalau Ki Lurah salah, bilang salah. Tak peduli apa pun pangkat dan jabatannya, salah tetaplah salah". Begitu kesalnya Bejo kepada Mbah Saberang yang tidak lekas-lekas mengambil sikap, padahal rekaman sudah diputar berulang-ulang.

Dengan senyuman kecil Mbah Saberang menanggapi santai seolah tidak ada apa-apa, "Kamu salah, kalau dibilang saya tidak mengambil sikap apa pun. Tertawa itu adalah sikap yang saya ambil", Mbah Saberang masih sempat tertawa, lantas melanjutkan pembicaraannya, "saya tidak menemukan kata-kata yang kamu sebut sebagai penistaan itu. Kamu salah dengar, salah menanggapi, terburu-buru mengambil sikap. Maka, dari itu saya tertawa", kata Mbah Saberang tetap sambil tertawa.

Pastilah Bejo bertambah marah dituduh salah dengar, bahkan salah sangka. Mbah Saberang tahu akan hal itu melalui raut muka Bejo yang merah padam. Dengan segera Mbah Saberang berkata, "Mbok, jangan cepat marah. Dari Rekaman yang kita putar bersama, Ki Lurah hanya bilang kepada warga bahwa kita dibodohi pakai ayat-ayat suci itu menurutku sudah benar. Ki Lurah melalui kata-kata itu ingin menyampaikan kegelisahannya tentang orang-orang yang menggunakan ayat suci sebagai dalih untuk mendapatkan jabatan, kekuasaan dan bahkan harta kekayaan. Mereka menghalalkan segala cara dengan menyetir serta mempelintir teks-teks agama seolah segala tindakannya adalah syah dan halal menurut agama", Mbah Saberang mulai menjelaskan.

"Sudah sepatutnya Ki Lurah Tejo sebagai pemimpin desa ini memberikan wejangan kepada warga. Kita sudah lihat sendiri fenomena-fenomena yang telah terjadi akhir-akhir ini. Gatot Brajamustisalah yang ditangkap polisi menggunakan dalih agama untuk melakukan freeseks dengan para pengikut wanitanya dan segala tetek bengek yang negatif lainnya. Lalu, ada Taat Plekentis yang dianggap mampu menggandakan uang itu juga menggunakan atas nama agama, melakukan kejahatan-kejahatan yang dibungkus dengan kedok agama dan ia pun berani menjadikan sholawat sebagai pesugihan. Mereka itulah yang harus dan layak disebut sebagai pelaku penistaan agama, bukan malah Ki Lurah yang kamu tuduh", ujar Mbah Saberang.

Bejo tidak bisa menyanggah penjelasan Mbah Saberang. Ia lebih memilih diam dan mendengarkan. Mbah Saberang pun masih melanjutkan penjelasannya, "Sekarang ini banyak orang-orang yang mengaku intelek, berjubah, berkopiah, bersorban dan pandai menggunakan dalil-dalil agama, namun ternyata masih suka maling uang rakyat, berbuat asusila dan banyak hal negatif lainnya. Agama dijadikan topeng. Mereka memanfaatkan lemahnya keimanan seseorang, ketidaktahuannya dan minimnya pengetahuan seseorang terhadap agama. Sehingga, muluslah jalan mereka. Orang-orang yang tidak tahu menahu itu pun akan mudah terbujuk rayu, menjadi pengikut dan menurut saja. Maka, jangan heran jika ada orang yang berani bunuh diri dengan meledakan dirinya  sebagai bentuk jihad.  Sesungguhnya, orang tersebut tidak tahu menahu dan termakan rayuan janji sehingga berbuat anarkis dan menjadi teroris. Pun seperti itu pula pengikut-pengikut di Padepokan Gatot dan Taat itu adalah  orang yang lemah imannya. Mereka jadi korban karena ketidaktahuan terhadap agama. Fenomena ini sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat kita mengalami krisis iman. Sehingga, orang-orang jahat memanfaatkan hal tersebut untuk menggapai sesuatu dengan bungkus agama. Baik itu trik politik yang dibumbui dengan agama untuk menjatuhkan lawan politik, meraih simpati dan memuluskan tujuan", Bejo tidak menyangka Mbah Saberang akan sepanjang ini menjelaskannya.

"Satu hal lagi adalah kita masih seperti tumpukan jerami kering dalam beragama yang hanya dengan sepercik api saja sudah tersulut dan terbakar. Itu juga menjadi pintu masuk dan angin segar untuk menyusupi isu-isu agama yang menjadikan diri kita mudah bertengkar antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan. Oleh karena itu, hati-hatilah dan jangan mudah ikut-ikutan, teliti terlebih dahulu dan jangan terima mentah-mentah dalam urusan beragama", kata Mbah Saberang kepada Bejo yang matanya mulai sipit dan sayu menahan kantuknya. Bejo pun tidak mengerti mengapa jawaban Mbah Saberang justru membicarakan hal lain, masalah Ki Lurah justru tidak dibahas. Tapi, Bejo tak ingin bertanya lagi, matanya sudah sangat mengantuk. Tidur menurutnya adalah hal yang terbaik.

Bungo, 15 Oktober 2016