Perjalan hidup memang penuh haru biru. Riuh rendahnya terkadang menyesakkan kalbu. Masing-masing orang punya kisah hidup yang penuh lika-liku. Jatuh dan bangun, lantas jatuh, kemudian bangun lagi , sampai benar-benar menyandari kesalahan apa yang membuat terjatuh, sehingga seseorang mampu belajar dan tahu alasan mengapa ia perlu untuk bangkit kembali.
Sama halnya dengan kisah anak bernama Hayyan. Seorang piatu sedari kecil. Hidup bersama kakek neneknya dirumah mungil. Desanya pun jauh dari kota-kota besar, mungkin bisa dibilang hampir terpencil. Hayyan kecil harus siap dan kuat menghadapi pahitnya perjalanan hidup penuh duri dan krikil-krikil.
Sungguh beruntung, anak seumuran Hayyan yang masih memiliki kedua orang tua. Hayyan kecil terkadang iri saat melihat anak-anak yang lainnya merengek, memanja dan bergelanyut pada ibunya. Hal yang tak pernah ia rasa.
Bahkan, menurut cerita neneknya, ia pun tak bisa merasakan air susu ibu yang melahirkannya. Hayyan kecil harus menyusu bukan kepada ibunya, melainkan air susu dari neneknya.
"Tapi, harus tetap bersyukur meskipun begitu, kamu saat kecil minum susu kaleng atau susu formula atau susu sapi", ucap neneknya
" Iya, nek...", Hayyan manggut-manggut
"Entah apa jadinya dirimu?, kalau minum susu sapi. Mungkin kamu sudah jadi sapi", ujar nenek bercanda.
"Ha... Ha.. Ha..", keduanya terbahak.
Tawa mereka memecah sepi dan menembus melewati sela-sela dinding papan rumah mereka. Canda dan tawa mereka adalah sebuah hiburan setelah seharian bekerja.
Hampir disetiap malam selepas Isya', Hayyan selalu bertanya tentang kedua orang tuanya. Merupakan hal yang wajar bagi Hayyan dan sang nenek pun mengerti akan hal itu. Sang nenek pun selalu munguatkan dan memberi nasehat kepada Hayyan, supaya tidak larut dalam rasa rindu yang tak berkesudahan.
Hari-hari Hayyan memang tidaklah mudah. Hatinya sangatlah hampa tanpa kehadiran kedua orang tua disisinya untuk bersama-sama melewati hari. Bermain. Bercanda. Seperti anak-anak lainnya.
Ayah Hayyan pergi merantau mengadu nasib. Ibunya pergi ke surga meninggalkannya. Ada hal yang tak kuasa nenek berbicara, ketika Hayyan merindukkan ibunya. Dada nenek serasa sesak seketika.
" Sudah, ngger... Ibumu disana sudah tenang. Yakinlah... Sekarang pasti lagi tersenyum melihatmu. Kamu harus jadi anak yang sholeh, yang selalu mendo'akannya. Saat kamu rindu bacakan Surat Al-Fatikhah sebanyak-banyaknya, ngger... Teruntuk ibumu. Niscaya, rindumu kan tersampaikan dan hatimu akan merasa lega ".
" Baik, nek... Tapi, nenek harus juga mengajariku untuk mengaji. Supaya aku bisa baca Al-Fatikhah, memanjatkan do'a dan kalau sudah membaca Al Qur'an nanti bukan hanya Surat Al-Fatikhah saja. Iya kan nek?"
"Insya Allah... ", lirih nenek menjawab.
Hari semakin larut malam, nenek mulai merapikan tempat tidur untuk Hayyan. Mengingat hari esok nenek harus bekerja disawah sebagai buruh tandur. Maka, nenek segera menyudahi dan meminta agar Hayyan lekas tidur, karena besok pagi harus sekolah.
" Besok nenek jadi buruh tandur lagi ya?"
"Iya... Makanya cepet sana tidur. Nenek juga sudah ngantuk. Besok pagi-pagi buta harus berangkat cepat".
" Tapi, nek... Aku rindu ibu. Bapak juga kapan pulangnya dari merantau?".
"Hayo... Nenek tadi bilang apa, kalau Hayyan rindu sama Ibu dan Bapak?".
" Baca Surat Al Fatikhah sebanyak-banyaknya ".
" Ya sudah... Segera kekamarmu dan aca lekas tidur. Jangan lupa sebelum tidur berdo'a dulu dan baca Al Fatikhah ".
" Siap, nek... ".
Sungguh beruntung Hayyan memiliki nenek yang sabar mendidiknya. Nenek yang seolah sudah seperti ibunya sendiri.
Bungo, 19 Desember 2018
0 Comments
Post a Comment