Pada saat harga-harga mulai merangkak naik, emak-emaklah yang pertama kali panik. Baru mendengar kabar saja sudah bawelnya minta ampun. Walaupun, kabar tentang kenaikan masih ambigu, entah jadi naik atau tidak?. Memang begitulah emak-emak. Apalagi kalau yang naik harganya adalah sembako atau bumbu dapur. Dua kali lipat bawelnya. Sedang, para bapak-bapak cenderung cuek saja. Ngedumelnya bapak-bapak, bahkan sangat resah kalau yang dinaikkan harga rokok, seperti isu-isu yang kemarin muncul dan menimbulkan banyak hal perdebatan ini dan itu yang menyoal kenaikan harga rokok. "Itu mah... urusan emak-emak yang mengurusi dapur", begitu biasanya para bapak mengomentari.


Salah satu tanaman cabe yang memanfaatkan pekarangan rumah sebagai medianya. Saat ini harga cabe sedang merangkak naik (doc.mrsdi)

Bejo pun bersikap sama seperti para bapak-bapak pada umumnya. Ia tidak gubris, cuek saja meskipun harga bumbu dapur atau sembako dari hari ke hari terus merangkak naik. Bejo?, mana peduli. Cuek bebek dan berlagak tidak mengerti atas isu yang tengah terjadi. "Halah... harga cabe naik koq ngomel. Orang seperti kita ini bisanya cuma nerimo ing pandum. Harga cabe mahal, ya sudah... tidak usah ribut. Bisa beli cabe syukur, tidak bisa beli, ya... makan sama garam saja", kata Bejo yang mendengar istrinya terus ngomel didapur.

Tidak begitu lama, istri Bejo keluar dari dapur. Setelah masak biasanya istri Bejo memang memberitahu jika sarapan pagi sudah siap disantap. Bejo yang kelaparan langsung saja meletakkan remote tv ditangannya. Bejo bergerak ke rak mengambil piring dan sendok. Lalu, mendekati meja makan. Penutup nasi dibukanya, terlihat sayur lodeh kesukaannya sudah tersedia. Dengan cepat ia langsung mengambil nasi dan sayur lodeh dengan lauk kerupuk.

"Em... Menggoda selera", gumam dalam hatinya. Namun, baru satu sendok yang masuk ke dalam mulutnya, ia langsung berhenti mengunyah. Bejo merasakan sayur lodeh kesukaannya ada yang aneh.  Ia langsung teriak-teriak, "Bue... !!!". "Ada apa...!?", istri Bejo menyahut dari ruangan tengah yang digunakan untuk nonton tv keluarga.

Istri Bejo langsung bergegas ke dapur. Sesampainya dimeja makan. Tepat berdiri didepan Bejo. Bejo geram dan marah sekali. "Ini sayur lodeh, apa air laut?. Rasanya... Na'udzubillah asinnya luar biasa", Bejo menginterogasi istrinya. Istri Bejo tersenyum kecut, "Halah... sayur lodeh asin koq ngomel. Orang seperti kita ini bisanya cuma nerimo ing pandum. Ini kan gara-gara harga cabe mahal. Kata Pak'ne bisa beli cabe syukur, tidak bisa beli, ya... makan sama garam saja. Gitu koq protes", kata istri menirukan ucapannya.

Wajah Bejo langsung merah padam. Ia naik pitam. Darahnya mendidih, bergejolak ingin meluapkan emosinya. Namun, ia tak berani, karena apa yang diomongkan oleh istrinya adalah omongannya. Antara marah dan malu ia dalam bersikap. Melihat itu justru istri Bejo menambahi hal yang membuatnya semakin terpojok dan menyesali omongannya. "Di habiskan lho ya..", seloroh istri Bejo sambil berlalu meninggalkannya menuju ruang tengah untuk menonton tv.

Bejo yang masih duduk dikursi meja makan mau tak mau harus menghabiskan sarapannya. Ia takut nanti jika ketahuan sarapannya tidak habis istrinya merajuk tidak mau masak. Sambil meringis dan memejamkan mata sesendok demi sesendok nasi dengan sayur lodeh yang super asin itu ia habiskan. "Akhirnya... selesai juga perjuanganku", kata Bejo mengusap-usap perutnya.

Itu pelajaran bagi Bejo agar lebih berhati-hati mengomentari perkataan istri. The power of bojo akan terasa lebih saklek, yang membuat seorang lelaki hanya bisa gela-gelo. Setelah selesai menuntaskan perjuangannya menghabiskan sarapan, Bejo segera bergegas keluar rumah. Ia tidak mungkin betah mendengar omelan-omelan istrinya yang meributkan harga cabe naiklah, bbm naik, pajak dan tarif listrik juga naik, sampai-sampai selebriti juga ikut diomelin. Meskipun, kemarin sudah ada  klarifikasi terkait kenaikan bbm, pajak dan tarif listrik tetap saja ngomelnya.

Harga cabe yang terus mengalami kenaikan membuat Bejo ingin menyambagi gubuk Mbah Saberang yang terkenal rajin menanam sayur mayur maupun cabe. Dengan perut yang kenyang, Bejo tertawa-tawa. Ia berpikir bahwa Mbah Saberang pasti punya uang banyak, meraup berkah dari harga cabe sekarang ini. Tapi, setelah bertemu Mbah Saberang apa yang dipikirkan Bejo teryata salah. Karena, kata Mbah Saberang yang diuntungkan adalah para spekulan ataupun tengkulak-tengkulak yang banyak meraup rezeki, bukan para petani seperti Mbah Saberang.

"Memang ada keperluan apa?. Tumben sepagi ini sudah sampai gubukku. Apa istrimu tidak punya cabe sehingga tak membuatkanmu sarapa?", Mbah Saberang penasaran dengan kedatangan Bejo. Mendengar pertanyaan itu Bejo menggelengkan kepalanya, "Tidak ada apa-apa koq, Mbah. Istriku juga membuat sarapan yang spesial untukku. Tahu sendiri kan, Mbah?, sayur lodeh kesukaanku", jawab Bejo nyegir.

"Tentunya pedas juga kan, walaupun harga cabe mahal?", Mbah Saberang ingin tahu. "Ya.. Iyalah, Mbah.  Kalau tidak pedas mana saya mau makan. Tapi..." Bejo menghentikan pembicaraan. "Tapi, apa?", Mbah Saberang segera menyahut penasaran. "Tapi, pedasnya beda, Mbah... Gara-gara harga cabe naik, yang pedas bukan sayur lodehnya, tapi yang pedas omelan istriku" Bejo tersipu agak sedikit malu.

"Kenapa tidak minta cabe saja kepadaku sebelumnya?.  Nanti pas pulang ambil sendiri cabe dibelakang gubuk", kata Mbah Saberang disertai tawa terpingkal-pingkal. "Siap, Mbah... Itu maksudku datang kemari", seloroh Bejo. Mereka berdua pun tertawa terbahak bersama-sama.

"Kenapa ya, Mbah?, negeri seluas dan sesubur ini tanahnya koq cabe bisa mahal harganya. Heran saya?",  Bejo mencoba menggali informasi kepada Mbah Saberang. Matanya tajam melihat hamparan sawah-sawah yang hijau. Bau humus tanahnya pun masih tercium. Bukit-bukit pun berbaris rapi dan kokoh. Apa yang salah dengan negeri ini?. Pertanyaan itu terus menghantui Bejo setiap hari.
"Ha... Ha... Kamu kayak orang baru kemarin sore saja tinggal dinegeri ini. Negeri ini kan memang lucu. Saya malah heran denganmu yang merasa heran itu. Bukankah, hal seperti ini sudah akrab dan kita lalui dari tahun ke tahun. Jangankan urusan cabe, urusan beras saja kita tidak berdaya. Buah-buahan, bawang merah, bawang putih, kedelai dan semua hasil pertanian serta perkebunan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri harus impor dari sana sini. Belum lagi urusan daging sapi atau lain-lainya", Mbah Saberang semakin terkikik.

"Sebegitu tidak berdayakah para petani dan peternak kita, Mbah?. Kurang luaskah negeri ini?, sehingga para petani tak punya lahan. Peternak juga tidak punya tempat untuk berternak, ataupun tidak ada tempat untuk menggembala ternak mereka. Atau sudah terlanjur sawah-sawah telah diubah gedung-gedung mewah dan tempat menggembala mereka sudah disulap menjadi tambang-tambang", sekarang justru Bejo yang ngomel, mungkin ini efek samping dari ketidakberdayaannya menghadapi omelan istrinya.

Mbah Saberang pun serius menyimak kegelisahan Bejo. Setelah Bejo menuntaskan kegelisahannya, giliran Mbah Saberang mengambil alih pembicaraan, "Para petani ataupun para peternak bukan tidak berdaya. Mereka memang dibuat seolah-olah tidak berdaya. Kebijakan yang ada tidak menyentuh mereka secara serius. Negeri ini sedang disibukkan mengenai pembangunan-pembangunan gedung pencakar langit yang mengorbankan lahan garapan petani dan materialnya pun diambil dengan meratakan bukit-bukit. Selain itu, negeri ini juga sibuk dengan eksploitasi alam, membedah perut bumi dan mengeluarkan mineral-mineralnya. Maka, yang ada hanya tanah-tanah tandus yang tak lagi punya gizi untuk tumbuh-tumbuhan".

Kini Bejo tak bergeming mendengar uraian Mbah Saberang. Mbah Saberang berhenti sejenak menyalakan sebatang rokok tingwe -ngelinting dewe- yang menggunakan kelobot sebagai kertas untuk menggulung tembakaunya. Sembari menghembuskan asap dari hidungnya, Mbah Saberang melanjutkan uraiannya, "Bahwa para petani dan peternak itu menjadi program nomor kesekian dari seluruh program kebijakan yang ada. Sektor pertanian dan peternak tidak menjadi program andalan bagi negeri ini. Lihat saja yang dibicarakan didebat-debat yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Seolah mereka berpihak kepada para petani dan peternak, setelah jadi?. Janji tinggal janji.  Mereka yang jadi malahan berpihak kepada para pengusaha yang terus menggerogoti lahan-lahan garapan".

"Sudah, Mbah... Langsung ke inti solusinya saja. Kalau si Mbah bertele-tele, saya yang makin mumet mendengarnya", Bejo protes karena ia ingin segera pulang. "Kalau, kamu tanya soal solusinya, si Mbah tidak punya solusi", jawab Mbah Saberang. "Terus, solusinya siapa yang punya Mbah?", mata Bejo melotot menatap Mbah Saberang. "Kamu tanya saja pada mereka yang punya kebijakan ta?. Jangan tanyakan ke saya. Mereka tahu persis bagaimana cara mengatasi permasalahan ini", ditatap Bejo dengan mata melotot membuat Mbah Saberang naik darah.

"Wah... percuma kalau gitu saya datang kesini, Mbah. Mbah tidak punya solusi, padahal ekspektasi saya berharap mendapatkan solusi yang mencerahkan. Tapi,  tenang Mbah.... Yang penting kedatanganku ke gubuk ini tidak sia-sia, karena saya dapat cabe gratis. Ini sebenarnya juga termasuk solusi untukku, walaupun sifatnya sementara. Orang seperti kita ini kan tidak muluk-muluk seperti janji-janji para pemimpin yang sudah jadi ataupun yang belum jadi,  yang penting dapur terus bisa ngebul dan istri tidak ngomel karena isi dapur kosong, itu sudah hal yang luar biasa" kata Bejo terkekeh-kekeh.

"Gundulmu...", teriak Mbah Saberang disertai lemparan sandal ke arah dinding papan yang membuat kaget Bejo. Saking kagetnya Bejo langsung lari pulang ke rumah. Sesampai dirumah Bejo ternyata lupa tidak membawa cabe yang ditawari Mbah Saberang. Alhasil, Ia pun kena omel lagi sama istrinya. Entah sebab Bejo kena omel sama istrinya, lalu kena damprat Mbah Saberang atau karena hal lain, sehingga ia berkata kepada jangkrik peliharaannya "Krik... Jangkrik... enak jadi kamu, tidak perlu pusing mikir harga cabe yang naik", kata Bejo menghibur diri sendiri.

Bungo, 15 Januari 2017