Beberapa hari ini saya selalu diminta sama Pak Bos untuk menuliskan tentang Muara Bungo. Setiap ketemu pasti ditanya kapan mau nulis tentang Muara Bungo?. "Wah... menulis mengenai Muara Bungo itu berat. Butuh waktu panjang, ekstra fokus dan harus terlibat dalam kesehariannya. Serta tidak cukup ditulis dalam satu halaman saja", jawabku.
Dasar... Pak Bos bukannya reda malah setiap ketemu terus membicarakan itu. "Setahun-setahun dah...!!!, tidak apa-apa. Tulis saja yang ringan-ringan. Kamu bisa tulis tentang suku anak dalam atau perbandingankan saja dengan Blora", pintanya penuh harap.
Mendengar kata Blora seketika langsung teringat suasananya. Aku kangen sama si Mbahku dikampung. Sudah hampir lima tahun semenjak menginjakkan kaki di Muara Bungo aku belum pernah pulang ke Blora. Kawan-kawanku pun selalu menanyakan, kapan bisa ngopi bareng?. Waduh... pertanyaan itu terasa sangat berat untukku menjawabnya. Aku ingin memeluk gunung, namun apa daya tangan tak sampai, seperti itu gambaran yang mewakili segala hal risau dan gelisahku.
Ngomongin masalah Blora tidak ada habisnya, karena disanalah tempat kelahiranku, dimana aku tumbuh bersama segala adat dan budayanya. Blora yang sebenarnya tidak ingin ku tinggalkan. Harapanku bisa bekerja, menikah hingga punya anak cucu tetap disana. Tapi, semua hal tiba-tiba berubah begitu saja. Sehabis wisuda, tepatnya tujuh bulan setelahnya dibulan Juni 2012 aku meninggalkan Blora. Aku benar-benar terdesak, terpaksa, mau tidak mau walaupun dengan separuh hati aku harus pergi menuju pulau Sumatera, Muara Bungo, Jambi.
Perjalanan dari Blora sampai ke Muara Bungo menggunakan bus. Maklum orang desa, kalau naik pesawat malah kepala pusing. Pusing bukan karena mabuk, tapi ongkosnya itu lho?. Alhasil, perjalanan menggunakan bus memakan waktu tiga malam empat hari. Luar biasa bukan?, tak terbayangkan jalan panjang yang seperti tidak ada ujungnya harus ku tempuh demi sesuap nasi. Apakah ini tidak termasuk sebuah ironi?, pikirku. Namun, hatiku membantah pikiranku akan hal itu, terlalu remeh jika jauh-jauh meninggalkan tanah kelahiran hanya mencari sesuap nasi. Ada hal lain yang menjadi misiku yaitu berbakti pada orang tua. Mumpung masih muda, mumpung belum punya isteri dan selagi single, jika nanti dapat kerja setidaknya bisa membantu orang tua, ya.. walaupun sekedar untuk beli garam. Ah... tapi jangan percaya misiku ini, itu hanya sebuah alibi menutupi sifat burukku, he he.
Akhirnya setelah perjalanan panjang aku tiba di Muara Bungo sekitar pukul jam tiga pagi dini hari. Menginjak kaki pertama kali di Muara Bungo yaitu dipasar atasnya. Setelah aku turun dari bus, aku bertanya pada Pak Lekku yang mengantarkanku dari Blora ke Muara Bungo, "Masih jauh ndak?, dari sini ke rumah?. Kalau jauh mendingan kita naik ojek". Pak Lekku yang memang sudah pernah tinggal dan bekerja disini selama beberapa tahun pastilah tahu jauh dekatnya antara pasar atas ke rumah orang tuaku. Dia bilang dekat, jaraknya cuma satu kilometer. Maka, kami pun memutuskan untuk berjalan kaki saja. Orang yang ikut kami pun setuju jalan kaki.
Oh ya... orang yang ikut kami itu memang tujuannya ke Muara Bungo, akan tetapi tidak tahu alamat yang akan dituju. Orang tersebut berasal dari Purwodadi, Grobogan, kami mengenalnya karena satu bus dan sering ngobrol bareng saat bus berhenti untuk istirahat. Kalau dia ke Muara Bungo bukan untuk mencari pekerjaan, tidak lain hanya mencari keponakan perempuannya yang dibawa kabur oleh seorang pria. Ceritanya sih karena kena pelet, sehingga keponakan perempuannya itu nurut saja diajak pergi. Dari situ Aku dan Pak Lek sepakat daripada bingung, ya mending ikut dan tinggal bersama kami sementara sembari mencari informasi.
Koq jadi bahas urusan lain, aku?. Baiklah. Kembali ke perjalanan kami dari pasar atas ke rumah orang tuaku dengan berjalan kaki ternyata membuatku nyegar-nyengir sendiri saat mengingatnya. Bagaimana tidak? jarak yang kata Pak Lekku hanya satu kilometer tersebut, setelah kami bertiga berjalan kaki koq tidak sampai-sampai?. Aku terus ngomel-ngomel sama Pak Lek, kaki rasanya sudah mau copot tapi belum sampai juga. Setiap aku tanya masih jauh tidak?, Pak Lek selalu bilang satu penurunan lagi sampai. Entah sampai turun yang ke berapa belum juga sampai, aku ngomel, Pak Lek selalu bilang satu penurunan lagi sampai, begitu terus jawabnya. Aku kesal?, pasti. Sudah capek menempuh perjalanan naik bus, bawa banyak, berat pula. Mana jalannya turun naik berbukit-bukit lagi.
![]() |
Marilah jadikan Muara Bungo kota LINTAS (Lancar, Indah, Nyaman, Tertib, Aman dan Sejahtera). Begitulah pesan yang tertulis disalah satu sudut Muara Bungo (Photo.Mrsd) |
Baca juga :
* Takluk?
Barulah, ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah enam akhirnya kami sampai juga dirumah orang tuaku. Orang tuaku yang melihat kami bertiga berjalan kaki langsung melongo, "Turun dimana?, koq jalan kaki?" tanya bapakku heran. Belum sempat kami menjawab, bapakku menegaskan, "setidaknya telepon dulu, tadi... Kan aku bisa jemput". Pak Lekku langsung menjawab dan memberitahu kalau kami berjalan kaki dari pasar atas sampai ke Benit sini, rumah orang tuaku. Bapakku tambah melongo sejadi-jadinya, "Itu kan jauh ta?, koq tidak mau menelepon atau naik ojek saja", katanya mengulangi. "Kata Pak Lek yang sudah tahu sini kan jaraknya cuma satu kilometer, ya.. kami sepakat jalan kaki", sahutku. "Gemblong, Pak Lekmu itu... Jaraknya itu sepuluh kilometer", Bapakku agak sedikit marah. Gubrakkk....!!, rasanya aku ingin langsung tidur saja mendengar jarak yang sebenarnya dari bapakku. Pantas saja lututku rasanya sudah mau copot, tapi tidak sampai-sampai, ternyata aku sudah dikacangi.
Mungkin, kalau aku saja yang dikacangin sih tidak apa-apa. Tapi, orang yang baru kami kenal diperjalan itu?. Niat ingin menolong dan meringankan malah jadinya memberatkan. Namun, Orang yang ikut kami terlihat tidak menggeluh capek, malahan sekitar jam delapan langsung mencari keponakannya hanya berbekal dengan ciri-ciri rumah dan nama daerah yang masih samar-samar. Informasi itu pun diperoleh keponakannya sendiri yang sempat telepon meski sangat singkat. Setelah itu tidak bisa dihubungi lagi.
Melihat kegigihannya bapakku segera membantunya memberhentikan tukang ojek untuk menemaninya mencari keponakannya. Dengan informasi yang sangat minim, orang yang ikut kami terus menceritakan kepada tukang ojek. Meskipun, agak samar-samar. Tukang ojek tersebut dilallah, sepertinya tahu ciri-ciri rumah dan nama daerah yang disampaikan. Maka, orang yang ikut kami tersebut serta tukang ojek segera bergegas mengecek. Sekali lagi, Alhamdulillah beberapa jam kemudian sekitar jam setengah sebelas orang itu dan tukang ojek sudah membawa keponakannya yang dibawa kabur. Mereka pun dengan cepat berpamitan untuk lekas-lekas pulang lagi ke Jawa, Purwodadi hari itu juga. Takutnya, jika tidak lekas pulang ketahuan orang yang bawa kabur urusannya jadi panjang lagi. Karena, saat keponakannya diambil dan dibawa dari rumah orangnya sedang tidak dirumah.
Wah, hari pertamaku menginjakkan kaki di Muara Bungo sudah mendapatkan sesuatu cerita yang bagiku luar biasa. Ya... walaupun sisi lain melelahkan. Setidaknya orang yang ikut kami bersedia berjalan kaki cukup jauh, tidak marah ataupun menggerutu kepada kami, karena hari itu juga telah menemukan yang ia cari. Padahal, ketika diperjalan dibus ia pesimis, butuh waktu berbulan-bulan untuk menemukan keponakannya itu, karena ia datang ke Muara Bungo sebagai orang baru dan tak punya kenalan. Jangan tanya masalah biaya yang disediakan untuk mencari keponakannya itu. Menurut ceritanya, ia sampai jual sawah untuk menyiapkan biayanya.
Tapi, syukurlah... Keponakannya lekas ketemu. Paling tidak niat kami membantu sudah terlaksana. Meskipun, kami sempat tidak enak, karena harus jalan kaki cukup jauh. Kalau, bapakku bilang, "Allah Maha Adil... Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Begitupun orang yang ikut kamu itu. Walaupun, kesulitannya diberikan melalui kegemblungan Pak Lekmu, yaitu jalan kaki sepuluh kilometer. Tapi, setelah itu segera dipertemukan dengan keponakannya". Aku hanya tersenyum dan berpikir, yang penting orang itu tidak menyalahkan kami, karena membuatnya capek menempuh jalan yang cukup jauh, itu saja!.
Bungo, 12 Mei 2017
0 Comments
Post a Comment