Pancasila sudah final, NKRI harga mati. Tak boleh ditawar, apalagi diganti. 


Hari-hari ini kita dihadapkan perselisihan mengenai persoalan kebangsaan. Ada sebagian masyarakat yang menginginkan sistem khilafah sebagai sebuah solusi untuk bangsa Indonesia. Bagi mereka, La Hukma Illa Lillah, tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Mereka menginginkan Indonesia menjadi negara islam dan setiap undang-undangnya tentu bersyari'ah. Sedang, Pancasila, UUD 1945, Bheineka Tunggal Ika serta NKRI adalah produk manusia yang perlu diganti. Bahkan, mereka pun secara terang-terangan menyatakan bahwa nasionalisme tidak ada dalilnya. Mereka juga tidak bersedia memberi hormat kepada bendera merah putih disaat upacara. Bagi yang menentang, menghalang-halangi dan menolak mereka dituduh sebagai orang yang anti-islam. Selain itu, siap-siap anda akan dibilang kafir dan komunis karena tak setuju gerakan mereka. Minimal anda pasti mendapatkan pertanyaan "sampeyan muslim?".

La Hukma Illa Lillah, jangan dikira nasionalisme tidak ada dalilnya atau tidak bersandar pada hukum Allah. Para alim ulama dari dahulu yang menyatakan bahwa NKRI harga mati pun berdasarkan landasan dalil agama. Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-NYA serta taat kepada ulil amri. Mencintai negara adalah sebagian dari iman. Para alim ulama terdahulu sehingga sekarang yang menyatakan NKRI harga mati bukan hanya sekedar berdasarkan berdalil agama saja, namun mereka sangat berhati-hati dalam memutuskan setiap perkara. Apalagi perkara tersebut menyangkut urusan umat dan seluruh rakyat yang agamanya berbeda-beda. Selain mereka sudah tahu cara dalam hal pengambilan hukum didalam Al-Qur'an dan Sunnah, Ijma' dan Qiyas, mereka tidak langsung terburu-buru menentukan dan mengemukakan hukumnya. Sebelum itu, mereka men-tirakati, me-riyadlohi dan meng-istikharahi terlebih dahulu agar keputusan hasilnya tidak berdasarkan nafsu ataupun orientasi kekuasaan keduniawian. Itulah bentuk kehati-hatian para alim ulama dalam menentukan dan meneguhkan sikap kebangsaan.

Nah, apakah mereka yang menginginkan Indonesia menjadi negara berbentuk khilafah itu sudah benar-benar di tirakati, di riyadlohi dan di istikharahi?. Atau?, hanya berdasarkan teks dalil-dalil kering yang sekedar mengandalkan logika semata. Jika, memang hanya berdasarkan teks dalil semata, tanpa di tirakati, di riyadlohi dan di istikharahi bisa-bisa ditunggangi nafsu keduniawian. Lebih takutnya lagi dalil agama hanya dijadikan alat untuk sebuah kepentingan. Ayat-ayat Tuhan dan hadits nabi ditafsirkan sesuai selera yang mereka inginkan. Sehingga, mereka mengklaim paling benar dan yang lainnya salah.

Baca juga :

Saya adalah orang yang ragu kepada mereka akan soal men-tirakati, me-riyadlohi dan meng-istikharahi pendirian khilafah untuk negeri ini. Memang mereka sudah benar bahwa pendirian khilafah berdasarkan dalil agama. Tapi, tepatkah?. Orang jawa bilang "bener durung tentu pener". Artinya benar belum tentu tepat. Karena, apa yang kita anggap baik, belum tentu baik bagi kita dan apa yang kita anggap buruk belum tentu buruk bagi kita. Ketepatan menyampaikan dan menerapkan kebenaran inilah yang nantinya bisa membawa maslahah, bukan malah menjadi masalah. Seperti pemain sepakbola, menyampaikan kebenaran itu butuh timing yang tepat. Misalnya, saat kita ketemu orang mabuk, kita bilang itu berdosa, kamu masuk neraka, maka siap-siap saja kena tonjok. Pun negara Indonesia adalah darus salam, negara damai yang kesemuanya diberikan kebebasan dan tidak dihalang-halangi untuk menjalankan agamanya.

Menentukan ketepatan inilah yang membutuhkan riyadloh, tirakat dan istikharoh. Pun dengan menempuh jalan inilah para alim ulama tersebut mulai meninggalkan logika mereka, kemudian menyerah sepenuhnya hasil dari ijtihadnya kepada Allah SWT, padahal mereka sudah punya keluasan ilmu, wira'i dan zuhud. Namun, mereka harus tetap berhati-hati. Karena, menafsirkan Al-Qur`an dengan menggunakan logika semata, hukumnya haram. Apalagi, hanya berdasarkan pemahaman dari terjemahan. Begitupun mereka saat mengambil sikap kebangsaan dan menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila. Tentu mereka tidak menerima begitu saja, tetap mendasarinya dengan dalil agama, tak sebatas itu, mereka pun men-tirakati, me-riyadlohi dan meng-istikharahinya. Bukan, semata-mata ini dilakukan untuk menentukan benar dan tepatnya, akan tetapi juga meminta izin, petunjuk serta ridho-NYA.

Sebelum para alim ulama menerima NKRI dan Pancasila, mereka juga sudah mengusulkan dan menawarkan konsep negara islam. Jadi, masalah negara islam atau khilafah ini sudah ada dari sejak dahulu diawal kemerdekaan. Mengapa kemudian para alim ulama justru menerima NKRI dan Pancasila daripada khilafah?. Bahkan menyatakan NKRI harga mati dan Pancasila sudah final. Selain menggunakan landasan dalil agama, tirakat, riyadloh dan istikharoh tentu juga menimbang maslahah dan madlorotnya. Khilafah memang baik untuk kita, umat islam, namun belum tentu baik bagi umat agama lainnya. Mengingat yang berjuang tidak hanya umat islam saja. Jika, konsep konsep khilafah dipaksakan, maka yang terancam adalah persatuan dan kesatuan bangsa. Pun Pancasila dan NKRI merupakan jalan tengah antara konsep khilafah dan komunis. Ini juga seperti piagam Madinah.

Seperti halnya saat ini, jikalau konsep khilafah ataupun komunis atau bentuk lainnya dipaksakan untuk menganti kesepakatan bulat para pendiri bangsa terdahulu, maka itu akan mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Itu jangan sampai terjadi, sebab, persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah kehancuran.

Maka, pertama, saya yang sebatas santri TPQ (Taman Pendidikan Qur'an), yang masih belajar alif, ba', ta', harus ta'dzim pada kyai saya, yang mana beliau pun ta'dzim kepada para alim ulama yang menyatakan bahwa Pancasila dan NKRI sudah final. Kedua, saya sebagai orang yang lahir di Indonesia setelah meraih kemerdekaan, maka wajib ikut mempertahankan dan menjaga apa yang telah dicita-citakan oleh para pejuang dan para pendiri bangsa.

Bagi yang masih ragu bahwa Pancasila sudah final dan NKRI harga mati, serta menganggapnya tidak berdasarkan dengan dalil agama. Silahkan saja diistikharahi, karena saya tidak mau berdebat lagi soal itu, bagiku sudah selesai dan final. Syukur-syukur tidak hanya meng-istikharahi saja, tapi juga mau men-tirakati dan me-riyadlohinya.

Semoga saja hal ini tidak berlarut-larut dan semakin memanas akan perbedaan-perbedaan pandangan ataupun perselisihan ini. Kembalilah, kepada Allah dan Rasul-nya, serta mohonlah petunjuk dan ridho-NYA dengan jalan meng-istikharahi terlebih dahulu, walaupun kita sudah punya pegangan pemahaman dalil agama yang kuat. Supaya kita tidak tergesa-gesa memekikan kebenaran atas nama-NYA, karena siapa tahu ternyata kita tergelincir dan terjerumus dalam pemahaman yang salah. Dan "tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!" (QS : An Nisa' : 77).

Wallahu A'lam....

Bungo, 15 Mei 2017