Sambil berlarian Bejo mengejar Mbah Saberang, "Mbah.. tunggu, Mbah... ", teriaknya. Mbah Saberang sendiri tidak mendengar dan tetap lurus berjalan menuju ke rumahnya. Sekencang-kencangnya Bejo berlari dan sekuat apa pun berteriak memanggil, Mbah Saberang masih terus berjalan mengendarai motor dua tak yang masih jadul. Mungkin, gara-gara suara bunyi bising knalpot motor Mbah Saberang inilah yang membuat panggilan Bejo tidak terdengar.
Bejo tidak menyerah, terus, terus dan terus.... berlari membuntuti Mbah Saberang. Berkali-kali berteriak memanggil, tapi masih belum juga bisa membuat Mbah Saberang menoleh kebelakang.
Tepat sesampainya didepan rumah dan saat Mbah Saberang mematikan mesin motor, kemudian memakirnya disebelah rumah. Mbah Saberang pun baru tahu ternyata dirinya dibuntuti Bejo sepanjang jalan masuk desa sehingga sampai dirumah. Nafas Bejo terlihat engo-engosan. "Woalah... tadi kamu berlari membuntuti aku, ya?", tanya Mbah Saberang, "kenapa tidak teriak memanggilku?. Kan bisa aku bonceng".
"Mbah saja yang tidak dengar. Aku sudah teriak-teriak, Mbah tetap saja melaju", kata Bejo kesal.
"Ya, sudah... masuk dulu... biar aku ambilkan minum untukmu", seloroh Mbah Saberang mempersilahkan masuk ke dalam rumah. Bejo langsung duduk selonjoran dilantai, sesekali ia mengusap keringat dikeningnya.
"Diminum dulu, biar nafasmu tidak terengah-engah", pinta Mbah Saberang sambil menyodorkan segelas air putih, dengan segera Bejo pun langsung meneguknya.
"Memangnya ada apa, ta?. Kamu sampai lari-lari, teriak-teriak memanggilku sampai rumah", Mbah Saberang masih penasaran dengan Bejo, sepertinya ada persoalan besar yang sedang dan akan disampaikan.
Namun, Bejo justru melamun, matanya jauh menerawang, menembus dinding, menyusuri ruang dan waktu. Mulutnya kelu. Terkunci. Sesekali mengerutkan dahi, membayangkan sesuatu hal yang terjadi. Kepalanya terkadang menggeleng-geleng. Menarik nafas panjang, lantas menghembuskan.
Sebegitu sesakkah dan beratkah beban yang ditanggung Bejo. Mbah Saberang sekedar menerka, membaca dan mencoba memahami apa yang telah terjadi pada Bejo. Mbah Saberang pun ikut terdiam mengamati. Pikirannya pun melayang-layang ingin menyergap alam pikiran Bejo yang masih misteri.
Sepuluh menit lebih, Bejo masih diam dan tak berkata apa-apa. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga Mbah Saberang yang dari tadi ada didepannya, tidak dihiraukan.
"Sebenarnya ada apa ta, Jo?", tanya Mbah Saberang memecah keheningan. "Kamu koq sampai berlarian mengejarku" lanjutnya. Maka, buyarlah segala apa yang Bejo lamunkan. Ia segera menyusun kata. Menyimpulkan segenap keluh kesah kegundahan. "Mengapa kegaduhan dinegeri kita ini terus terjadi?", begitu Bejo bertanya.
Cerita Bejo lainnya :
"Dari waktu ke waktu, selalu saja bermunculan kegaduhan-kegaduhan baru. Seperti layaknya biasanya para elit lalu sibuk memperdebatkan, saling berebut empati, saling merasa paling benar sendiri. Nasib kita, wong cilik hanya dijadikan tameng kekuasaan. Kita tidak benar-benar diperhatikan. Janji sejahtera itu hanya sampai titik perdebatan. Hidup kita dinegeri yang katanya kaya raya ini semakin sulit. Sekeras apa pun kita bekerja selalu saja lebih besar pasak daripada tiang", sejenak Bejo mengambil nafas.
"Sudah kita direpotkan dengan urusan priuk nasi. Eh... kita ditarik-tarik, diajak-ajak untuk menyetujui pertengkaran-pertengkaran nasional yang dibuat oleh para elit dinegeri ini. Tidakkah mereka malu pada diri mereka sendiri?, alangkah naifnya mereka berebut kuasa ditengah-tengah semakin jauh tingkat kesenjangan. Ini bukan masalah materi, bukan masalah kaya atau miskin, sejahtera atau tidaknya. Tapi, masalah tanggung jawab mereka yang dipilih untuk mewakili mengurusi hajat hidup manusia-manusia dinegeri ini. Alih-alih mereka mereka ingin memajukan negeri ini, mereka malah tidak berpikir sama sekali. Mereka hanya berpikir bagaimana cara merebut kekuasaan. Tidak terlintas sedikit pun dibenak pikiran mereka untuk berebut bagaimana untuk memajukan, mensejahterakan negeri ini" gerutu Bejo kepada Mbah Saberang.
Mbah Saberang hendak menjawab keluh kesah kegundahan Bejo, namun belum sempat berkata, dengan cepat Bejo melanjutkan gerutuannya. "Apakah mereka yang terpilih itu sedang berusaha berlari dari kenyataan?. Mereka tidak hanya berlari, tapi juga sembunyi-sembunyi, diam-diam merampok negeri mereka sendiri. Wong cilik diajak mereka untuk bertengkar antara satu dengan yang lainnya, sehingga wong cilik tidak sadar hak-haknya telah habis dirampok. Mereka pun tak punya urat malu, walau sudah terpergok korupsi. Padahal, seharusnya merekalah yang blusukan dan mencari, adakah rakyat yang dipimpinnya kelaparan?. Lebih bagus lagi apabila mereka mau memanggul sendiri karung beras yang akan dikasih ke rakyatnya. Kenyataannya masih jauh panggang dari api, seperti langit dan bumi. Satu pihak mati-matian bekerja pada bangsa, satu pihak lainnya mati-matian ingin menjatuhkan. Ini yang membuat saya pesimis, Mbah... pada negeri. Para elit yang terus menerus menyalakan api kegaduhan yang memperlambat negeri ini menjadi bangsa berkeadaban".
Bejo terus saja mengerutu ungkapkan kegundahannya atas kegaduhan-kegaduhan yang terjadi pada bangsa ini. Mbah Saberang hanya menjadi pendengar setia saja. Ia tidak ingin menjawab kegundahan-kegundahan yang diungkapkan Bejo. Karena, jawaban atas kegundahan Bejo itu hanya bisa dijawab oleh para penguasa dan para wakil rakyat itu sendiri.
Bungo, 18 Juli 2017
0 Comments
Post a Comment