Sesungguhnya benarlah kata petuah, "hidup tanpa cinta serasa hampa". Ada juga yang bilang bagai taman tak berbunga. Sebegitu pentingnya cinta bagi kehidupan. Cinta datang memberi warna, cahaya, api, sekaligus air yang menghilangkan dahaga. Cinta adalah intan permata yang bersemayam dalam hati setiap manusia. Kemilaunya cinta akan memancarkan keindahan, menebar harum wewangian, menyejukkan dan penuh kehangatan. Keindahan cinta hanyalah untuk mereka yang berhati tulus dan murni.

Perjalanan panjang anak manusia dimulai dari sebuah cinta seorang ibu yang telah bertaruh nyawa mengandung dan melahirkan. Perjuangan. Pengorbanan. Cinta bukan sekedar tutur kata yang begitu mudah dilafadzkan. Cinta, sesuatu yang kasat mata dan hanya bisa dirasa. Perjuangan panjang yang harus ditempuh sangat rumit untuk dituliskan. Sedih, tangis, tawa dan kerinduan bercampur aduk dalam dada. Mata yang tak boleh lelah untuk memandang, kaki-kaki yang harus kuat berpijak, telinga pun dituntut pandai membedakan setiap bunyi, lidah yang harus fasih menerjemahkan untaian kata, tangan yang senantiasa siap mendekap dan memeluk hangat, serta hati yang begitu lembut lagi peka dianugerahkan kepada ibu yang pertama kali banyak mengajari dan mengenalkan, apa itu cinta?. Ibu yang tulus mengajari anak-anaknya dari mulai mengepakkan sayap sampai kita mampu terbang tinggi. Ya.. cinta seorang ibu yang terus mengalir dan abadi kepada anak-anaknya.

Beranjak dewasa, saat diri mulai tertarik dan terpikat lawan jenis, seolah kita paling tahu persoalan cinta ketimbang orang tua. Padahal, cinta seorang ibu tak pernah meninggalkan goresan luka dan cinta seorang ayah tak setitik pun meninggalkan noda. Itulah cinta yang sesungguhnya, itulah cinta yang sungguh-sungguh dan cinta yang begitu tangguh. Seberapa nakalnya diri kita, berapa kali pun kita membantah bahkan membentaknya, cinta orang tua kepada kita tak sedikit pun berkurang. Mereka selalu siap dan membukakan pintu saat kita datang, entah dalam keadaan terluka, kalah, patah atau keadaan yang paling menyedihkan sekalipun.

Duhai...engkau yang sayapnya patah. Jiwa-jiwa yang kalah. Jangan katakan seolah dunia sudah berakhir. Jangan ucapkan bahwa hidup sudah lagi tak berguna. Sebegitu lemahkah diri kita?, hanya karena dilukai oleh seorang yang tak mampu setia, lantas kita mengeram, menjerit dan menangis kesakitan. Engkau harus lebih tangguh menjalani hidup. Rasa sakitmu itu belumlah seberapa, itu hanya goresan luka. Engkau harus bangkit, karena masih ada alasan cinta lain yang patut dan layak diperjuangkan, yang mana setiap pengorbananmu tak akan sia-sia yaitu cinta orang tua.

Ku sampaikan pesan itu kepada kawanku. Aku tak tahu bagaimana cara membantunya untuk bangkit. Aku yang tak pandai persoalan cinta, tak punya pengalaman sama sekali. Beberapa waktu lalu, kawanku itu mengabariku lewat telephone bahwa ia sungguh-sungguh terluka dan kalah. Menceritakan ihwal kisah cintanya yang telah lama dirajutnya, kini lembutnya sutra kesetiaan yang membalut hangat hubungan dua insan manusia terkoyak oleh pengkhianatan. Kekasihnya menemukan cinta yang lain. "Ia memilih meninggalkan ku, mengakhiri hubungan yang terjalin dan memutuskan ikatan antara aku dan dia. Dia lebih memilih cinta barunya, ketimbang cinta kasihku yang sedari dulu terus ku rawat", ujar kawanku dengan suara yang lemah.

Hati siapa yang tidak hancur, jikalau kesetiaan yang sangat mahal harganya diludahi begitu saja. Aku ingin marah, bahkan ingin sekali bertemu kekasihnya itu untuk sekedar berucap, "tidakkah engkau melihat betapa ia menjaga hatinya untukmu, tidakkah engkau mendengar kisahnya tentang beratnya menahan merinduimu, tidakkah engkau ingat janji setia? dan apakah hatimu telah sedemikian membatu, sehingga dengan mudahnya engkau berpaling. Tidakkah sedikit pun ada rasa sesal dalam dirimu?, tidakkah ada rasa bersalah dalam hatimu?, dan begitukah caramu membalas kesetiaan, rasa rindu dan kepercayaan?", gurutu hatiku pilu. Namun, untuk apa aku marah kepada kekasih kawanku itu?. Tidak perlu. Yang bisa ku lakukan adalah membuat kawanku percaya, bahwa hari esok akan lebih baik. Maka, aku perlu berkata "Bangkitlah, kawanku...".

Tidak semudah itu menyakinkannya, menyambutnya serta membantunya menyongsong hari esok. Ia, kawanku... masih ingin terus berjuang mendapatkannya. Berkali-kali kawanku meminta, berkali-kali pula ia ditolak. "Aku tak bisa...", begitu jawaban dari kekasihnya. Cinta yang bertepuk sebelah tangan lagi berpaling merupakan hal yang sangat menyakitkan. Aku mengerti derita kawanku yang kehilangan cintanya. Aku harus pelan-pelan, perlahan-lahan untuk tetap menyakinkan, bahwa yang hilang darinya hanyalah serpihan cinta. Masih ada alasan cinta lain yang membuat diri agar kuat dan segera bangkit.

Baca Juga :



"Kawanku... engkau harus ikhlas. Engkau harus melepas. Dan, engkau pula harus belajar menerima kenyataan. Berapa kali pun engkau memintanya kembali, ia akan akan tetap pergi. Jika, tak segera engkau ikhlas melepas, maka itu akan semakin membuatmu terbenam dalam kesedihan. Cukupkanlah, usahamu untuk meminta, biarkan ia pergi. Tak perlu engkau sesali apa yang telah terjadi. Tersenyumlah... karena engkaulah sesungguhnya sang pemenang atas janji setia yang telah terucap. Meskipun sayapmu patah. Sesungguhnya, dialah yang kalah, dia yang tak mampu memegang teguh janji setianya", kataku melapangkan dadanya.

"Padahal...", kawanku masih belum juga mampu melepas, dia mencoba memutar memory jauh ke belakang, " aku sudah sangat dekat dengan orang tuanya. Selama ini pun baik-baik saja. Aku masih tak mengerti, mengapa dirinya begitu tega?", ujarnya dengan nada berat.

Aku tak tahu mau berkata apa lagi untuk membantunya mengangkat beban beratnya. "Sudahlah, kawan... melepas mungkin adalah yang terbaik untukmu dan untuknya. Apakah diri kita bisa menjamin mampu membuat bahagia orang-orang yang kita cintai?. Pernahkah, kita bertanya kepada orang yang kita cintai?, benarkah selama ini mereka bahagia dengan kita ataukah mereka hanya pura-pura bahagia. Ucapkanlah terima kasih kepada orang yang mengkhianatimu, karena kita jadi tahu bahwa kata-kata manisnya hanya pemanis belaka, rindunya hanya topeng semata dan cintanya hanyalah ilusi".

"Baiklah, aku akan mencoba...", lirih suara kawanku menjawab. Aku pun sedikit tersenyum bahagia, meskipun hanya menjawab seperti itu hatinya mulai menerima, bebannya yang berat perlahan-lahan mulai berkurang. Pikirannya yang kusut, mengendap dan gelap, sedikit demi sedikit terurai, mencair serta menemukan titik-titik cahaya.

"Usah engkau ragu akan seorang kekasih, yakinlah Tuhan akan mendatangkan kekasih yang terpilih diantara para kekasih. Tak perlu bersedih. Sayapmu yang patah, kan segera terbalut sutra kesetian yang jauh lebih indah. Percayalah... suatu hari, kelak engkau akan terbang tinggi membawa cinta suci murni yang dibalut dengan lembutnya kasih sayang dan berhiaskan kesetiaan", aku sesegera mungkin berkata demikian, agar hatinya yang sudah mulai terbuka menjadi lebih terbuka lagi.

Aku tak ingin kehilangan momentum, ku jejali kata-kata agar ia segera bangkit, " masih ada alasan lain mengapa engkau harus bangkit. Ada ayahmu, ibumu dan adik-adikmu yang mana cinta mereka kepadamu begitu besar dan itu tak boleh diabaikan. Biarlah, kehilangan cinta dari sang kekasih yang tak mampu setia, tak apa cintamu diabaikan olehnya. Ingat, masih ada cinta dari keluargamu yang begitu besar. Jangan sia-siakan cinta mereka. Maka, sekarang bangkitlah untuk mereka, penuhi dan isi kosongnya hatimu dengan cinta mereka. Niscaya, seiring berjalannya waktu, cintamu kepada keluarga akan terpercik, terpancar ke orang-orang disekitarmu. Dari jalan itu, Tuhan akan mengirimkan seorang kekasih yang terpilih yang sangat mencintaimu dan engkau pun sangat mencintainya".

"Baik...aku akan berusaha untuk ikhlas", kawankua berkata serak. Aku tahu menerima kenyataan yang begitu pahit dan menyakitkan itu teramat sulit. " Jika, dia jodohmu tak akan kemana", aku memotong ucapannya. Diujung pembicaraan melalui handphone aku berpesan kepadanya, "Engkau bukan orang yang kalah, maka tak perlu engkau resah. Hidupmu belum berakhir, maka jangan khawatir. Padanya, yang mencampakkanmu, engkau tak perlu marah. Jangan biarkan hatimu dikuasai resah dan gelisah. Bila, engkau bersedih, galau dan meratap berarti dirimu telah kalah. Biarkan ia pergi membawa cintanya. Tak perlu engkau kejar, karena jika benar ia cinta, ia yang akan mengejar. Tak perlu engkau meminta, kalau ia sungguh-sungguh cinta, ia sendiri yang akan meminta. Bila, dihatinya masih ada cinta untukmu, sejauh apa pun ia berlari, pasti ia kan kembali. Namun, jika suatu hari tak lagi terdengar kabarnya, tak jua datang kembali itu berarti cintanya padamu selama ini adalah kebohongan".

" Oh ya...", ucapku hampir lupa, "tetaplah jaga tali silaturrahmi terhadap orang tuanya. Meskipun, anaknya sudah tak lagi bersamamu", tambahku sebelum kawanku menutup telephonenya.

Bungo, 11 Agustus 2017