Silau dunia...
membelalakkan mata,
mengguncang kencang gejolak jiwa.

Ukuran matrealisme dunia.
Terhimpun menghimpit dada.
Menjelma sebagai harapan dan cita.
Adalah jalan yang dianggap paling utama.

Karna, harta benda hilanglah saudara.
Mereka yang papa nan hina,
bukanlah bagian dari sanak saudara.
Mereka si miskin yang tak punya apa-apa.

Timbangan kemulyaan manusia
dilihat dari tumpukan-tumpukan harta.
Sehingga, manusia berlomba-lomba
menimbun sampah-sampah, benda-benda.

Tak peduli meski harus menikam saudara sendiri.
Tak lagi punya nurani mencengkeram sanak family.
Merebut paksa segalanya yang ada dibumi.
Padahal, itu sampah yang tak dibawa mati.

Sebab, silau dunia...
gelapkan pandangan mata.
Menghasut hati nurani agar tergoda
pada tipu daya benda-benda mati yang fana.

Disebuah bangsa, bahkan ada...
yang sangat tragis, sadis lagi tega.
Memerangi rakyatnya demi sebuah ladang minyak tua.
Nyawa tak lagi punya harga.

Disebuah negara, bahkan secara beringas
menggilas, menindas, melindas, melibas
rakyat ditumpas demi sebuah gunung emas
oleh korporasi-korporasi yang tanpa henti menguras.
Atau?, tangan penguasa yang suka merampas.

Manusia memangsa manusia
adalah cara kejam memperebutkan dunia.

Bahkan, masih ada...
para penduduk yang berlari, terusir dari desa-desa.
tak kuasa melawan tangan tirani berlumur dosa.

Silau dunia...
takaran manusia sukses nan mulya.
Tak penting lawan, kawan ataupun saudara.

Jika, lawan punya segalanya ada,
hati luluh tak berdaya,
diri ambruk seketika.
Sadar diri sebagai manusia nista.
Lantas, menjilat agar diaku saudara.

Bila, kawan segalanya punya dan ada,
nyatakan diri sebagai sahabat karib paling setia.
Keakraban yang terjalin sebab gemerlap dunia.
Setelah kawan diuji kehilangan semua,
seakan, seolah diri tiba-tiba lupa.

Kata saudara, terkikis arti dan maknanya.
Semakin dangkal dan sempit.
Tercemar kotor dan keruh oleh kegilaan dunia.
Siapa pun bisa jadi saudara, asal berduit.

Sedang, si miskin bukanlah saudara,
meski terlahir dari rahim yang sama,
walau mengalir darah dari bapak yang sama.

Silau dunia
membuat manusia lupa
sampai-sampai menjadikannya gila.

Ah...aku hanya seorang hamba.
Terkadang terusik hingar bingar dunia.
Terkadang asyik menikmati gagap gempitanya.

Namun, kadang aku juga ingin menepi, menyepi...
hening meluruhkan, menenangkan gejolak hati.

Aku ingin menepi sebagai seorang pertapa
nikmati kebersamaan dengan sang Maha Cipta.
Menyeimbangkan gelora jiwa,
supaya tak tertipu oleh silaunya dunia.

Bungo, 21 September 2017