Seorang hamba tidak akan diuji diluar kemampuannya. Sesakit-sakitnya dan sepahit-pahit hidup seseorang itu masih dalam takaran kemampuannya. Bejo bulan-bulan ini mengalaminya, betapa ia harus rela hanya makan nasi putih plus sambel saja, tanpa lauk pauk. Hati Bejo terkadang merasa pilu dan merasa miris akan hidupnya sendiri.
"Mosssokkk...zaman sudah semodern ini dan negeri ini sudah tak lagi dijajah. Kerja paksa pun tinggal sejarah. Masih saja tidak mampu beli sebutir telur", Bejo menggerutu dan merasa gemes dengan hidupnya.
Apa yang salah?, dimana letak salahnya?. Bejo terus mengevaluasi hari-harinya. Membuka lembaran-lembaran hari yang telah terlewati. Termenung Bejo didepan rumahnya, tepat dibawah pohon jengkol sembari memegangi kepalanya yang tertunduk. Sesekali ia pun menarik-narik rambutnya, seolah ia ingin mengusir dan mengeluarkan masalah yang ada dalam pikirannya.
"Gusti...apa iya? aku mampu melawati ujianmu ini. Mbok jangan terlalu berat-berat, ta...Gusti...Gusti...", Bejo mengoceh sendiri. Melampiaskan segala beban berat yang ia tanggung. Nada pesimistis, aura ketidak berdayaan, wajah yang tegang dan sorot mata yang tajam menandakan ia ingin menyerah. "Bolehkah aku putus asa, Gusti?", selorohnya meratapi ketidak berdayaan diri.
Memang Bejo sedang diuji secara bertubi-tubi. Kehilangan bapak dan mertuanya hampir bersamaan. Jauh tempat ia merantu, membuat ia tidak bisa datang memberikan penghormatan terakhirnya. Dari jauh ia dilanda kesedihan, dari tempat perantauan ia menangisi dirinya. Betapa sungguh menyeselnya ia. Dirinya yang jadi seorang anak dan menantu tidak berdaya, tidak bisa membantu apa-apa. Ia merasa hidupnya tidak lagi ada gunanya.
Ketika, Bejo mendapatkan kabar bahwa saat itu ayah serta mertua sedang sakit-sakitan, dimintai tolong untuk membantu biaya pengobatan dirumah sakit, ia terdiam dan terpaku. Bejo tersayat hatinya, perih dan pilu melanda, sehingga lidahnya berat untuk berkata, bahwa, " Aku... tak punya apa-apa". Demikian Bejo berucap sambil melawan rasa sesak didadanya dan tak terasa air matanya menitik tak tertahan jatuh dipipinya yang mulai keriput. Disini, Bejo terus menyalahkan dirinya. Menyalahkan ketidak berdayaannya. Ia merasa telah gagal menjadi seorang anak sekaligus menantu.
Sungguh, rasa pilu telah sedemikian kuatnya mencengkeram hati Bejo. Ia dilanda duka nestapa tiada tara. Kehilangan orang tua dan mertua sekaligus tidaklah mudah untuk menerimanya. Apalagi, ia tak bisa memberikan penghormatan secara langsung dan tidak pula bisa mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya.
"Duh Gusti...aku yakin Engkau bersamaku. Mengawasiku. Pun disetiap langkah kakiku, Engkau Maha Tahu kemana arah jalan yang ku tuju. Maka, sudilah Engkau menghapus gundahku, gulanaku, rasa sakit yang merundung hatiku, kesedihanku dan piluku. Atau kurang tragiskah cerita perjalanan hidupku ini, sehingga Engkau masih membiarkan diriku terus dilanda kesedihan dan kehilangan secara bertubi-tubi. Kasihanilah aku, Gusti...", Bejo merengek layaknya anak kecil.
Tatapan mata Bejo kosong, cahaya matanya tak berbinar. Tubuhnya yang ringkih itu bersandar dibatang pohon jengkol. Bejo sepertinya tak mampu menanggung beban berat didalam tubuh. Dadanya semakin sesak terhimpit beban berat hidup yang harus ia tapaki. Ingin lekas-lekas mengakhiri derita yang ia alami. Sekeras dan sekencang apa pun ia berlari, tetap saja cobaan datang silih berganti secara bertubi-tubi.
" Duhai...Engkau Yang Maha Welas Asih, kasihinilah hambamu ini. Kuatkan diriku menjalani segala bentuk cobaan yang Engkau beri. Aku tak tahu, mengapa Engkau, Gusti... memberikan cobaan yang begitu berat terhadapku ini. Aku hanya yakin, Engkau punya alasan tersendiri yang mungkin tidakku mengerti", penuh harap Bejo berdo'a.
Kepedihan Bejo belum juga beranjak pergi. Bukan, hanya kehilangan, namun ia juga dicekik kemelaratan ekonomi. Anaknya hampir putus sekolah, karena tak tega melihat himpitan ekonomi sang ayah. Si kecil rela berpuasa untuk jajan kesukaannya dan lauk favoritnya yaitu telur. Keluarga Bejo mau tidak mau harus makan tanpa lauk. Hanya nasi dan sambol goreng semata. Syukur-syukur kalau ada mie instan yang bisa untuk selingan sebagai sayurnya. Terkadang mereka beli mie instan dua bungkus untuk lima orang, ya...tentu kuahnya dibanyakkan, kata mereka, "yang penting terasa asin".
Sesusah apa pun keluarga Bejo tetap terus melangkah, pantang menyerah. Suatu saat nanti pasti menemukan hari yang cerah. Keluarga Bejo yakin, bahwa Tuhan tak akan benar-benar menelantarkan mereka. Mereka tangguh, dadanya lapang, ulet dan penuh kesabaran dalam menerima segala kepahitan-kepahitan hidup. Ia ikhlas menjalani peran sebagai seseorang yang masih serba kekurangan. Ia tahu Tuhan bisa saja dengan sekejap mengubah nasibnya. Hidup didunia memang harus ada yang serba bergelimang harta dan ada yang tak punya apa-apa. Keadilan yang Tuhan berikan tidak sama seperti teori Marxisme. Padahal, Tuhan bisa saja membuat hambanya sejahtera dan makmur semuanya secara duniawi. Dan Bejo sangat paham betul bahwa, " Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum, kecuali kaum itu mengubahnya sendiri ". Maka, sepahit apa pun ia terus berusaha untuk bangkit, lantas berdoa dan pantang menyerah.
Bungo, 30 September 2017
0 Comments
Post a Comment