Aku sadari betapa sulitnya mendapatkan kerja di Bungo. Ini bukan karena lowongan pekerjaan yang tidak ada, akan tetapi lebih kepada persyaratan yang tak mampu aku penuhi. Bahkan, persyaratan yang seharusnya ada tersebut ku tutup-tutupi dari kedua orang tua. Bukan maksud aku berbohong kepada mereka. Aku tak tega dan tak kuasa untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Aku yang tak ingin mereka bersedih.

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya enam bulan dari hari dimana aku harus mencari sebuah pekerjaan. Aku diwisuda dan ku lihat wajah orang tuaku begitu bahagia. Bagaimana mungkin aku menghapus kegembiraan dari raut wajah mereka?. Aku anak yang mereka harap-harapkan bisa berguna dan berbakti. Serta, menjadi seseorang yang bisa hidup mandiri. Setidaknya bisa cari uang jajan sendiri.

Lagi, lagi aku tak punya nyali. Biarlah ini menjadi rahasia hati. Biarkan luka perih ku tanggung sendiri. Bahwa, aku tahu hal ini tidaklah mudah, meski berusaha ku tutup-tutupi. Lama kelamaan pasti tercium bau bangki, meski disembunyikan dengan rapi. Aku yang mimpi terbang tinggi, ternyata harus terjatuh saat mencoba mengepakkan sayap-sayapku sendiri.

Kedua orang tuaku tahunya aku adalah orang sarjana. Maka, melamar perkerjaan untuk posisi administrasi bukanlah suatu hal yang mustahil. Namun, hal ini bagiku merupakan hal yang mustahil. Sebab, aku melamar pekerjaan hanya dengan ijazah lulusan Madrasah Aliyah swasta. Bukan, dengan ijazah lulusan SMA ataupun SMK, apalagi ada embel-embel negeri?. Apesnya lagi, bukan ijazah sarjana yang ku pakai. Tentu ijazah sarjana lebih superior dan lebih difavoritkan dunia pekerjaan, terutama masalah administrasi. Hal inilah yang ku sembunyikan dari orang tuaku.

Aku saat berangkat dari Jawa memang punya rencana tidak ingin lama-lama merantau di Sumatera. Niatku pertama untuk sekedar berkunjung saja menemui orang tua. Kedua, ingin menyenangkan hati orang tua yang memintaku untuk bekerja di Sumatera. Perihal, yang kedua inilah membuatku setengah hati. Aku tetap menginginkan tinggal di Jawa, tapi mau apa dikata?. Maka, dengan berat hati ku putuskan untuk menuruti keinginan orang tua.

Dari situ ku susun sebuah rencana tersembunyi melamar pekerjaan dibidang administrasi dengan ijazah Madrasah Aliyah, tentu ini aku lakukan agar tidak diterima dan pada akhirnya bisa pulang lagi ke Jawa. Bagiku atau bahkan bagi orang kebanyakan, hal itu sesuatu hal yang mustahil. Minimal untuk mengisi posisi administrasi adalah lulusan Diploma.

Maka, sebenarnya aku tahu alasannya, mengapa lamaranku tidak diterima-terima. Ijazah Madrasah Aliyah merupakan salah satu dari penyebabnya. Meskipun demikian, aku tetap tidak memberitahu kepada orang tuaku. Mereka mengira bahwasanya aku melamar pekerjaan dengan ijazah S1. Betapa berdosanya diriku..tapi, biarlah ku tanggung dosa itu. Aku tak ingin mereka tahu, agar hatinya tak terluka.


Tiga bulan berlalu, pekerjaan tidak aku dapatkan. Orang tuaku pun pasrah dan akan segera memulangkanku ke Jawa. "Ah...ternyata sesuai rencana", begitu kata hatiku. Aku merasa menang, sebab rencanaku berhasil. Tapi, aku juga merasa bersalah atas rencana burukku ini. Jika, orang tuaku tahu maka akan marah besar padaku. Ya...aku melakukan hal ini, dikarenakan posisiku yang serba salah. Dimana aku harus memimilih diantara orang-orang yang ku cintai. Tinggal bersama orang tuaku atau tinggal bersama nenekku yang mengasuhku sejak kecil?. Ini pilihan sulit bagiku.

Ditengah rasa bersalahku, pada waktu yang terus berjalan semakin dekat, hari-hari berganti dan sebentar lagi aku akan segera kembali ke Jawa. Orang tuaku sudah mulai mempersiapkan kepulanganku. Hari-hari terakhir ku isi membantu orang tuaku di Bangsal bata. Aku memang tidak lihai membuat batu bata seperti mereka. Aku sudah belajar mencetak batu bata, tapi tetap saja tidak bisa. Untuk urusan cetak mencetak batu bata jangankan orang tuaku, sama adik perempuanku saja, aku kalah. Tugasku hanya meret, yaitu memisahkan tanah dari tumpukan menjadi bagian terkecil dengan ukuran hampir sebesar kepala bayi, agar saat mencetak batu batanya lebih mudah.

Siang itu, matahari begitu terik. Aku yang tengah asyik meret, namun tiba-tiba saja ponsel disakuku berdering. "Assalamu'alaikum" terdengar suara seorang laki-laki diujung telephone. Lantas, ku jawab salamnya, "Walaikummussalam..". Dia yang diujung telephone memberitahuku untuk interview jam tiga sore hari itu juga. Pun sebelum aku berangkat interview, ku bertanya lagi padanya tentang pekerjaan yang akan ditawarkan untukku. Jika, memang untuk posisi administrasi, aku akan datang. Tetapi, jika bukan untuk posisi tersebut, aku urungkan. Begitulah, caraku yang sok jual mahal, padahal itu ku lakukan semata-mata agar tidak diterima dan aku bisa pulang ke Jawa. "Mana mau perusahaan besar menerima lulusan Madrasah Aliyah untuk posisi admin?, wong lulusan S1 saja banyak", pikirku.


Ibuku yang super kepo, setelah selesai telephone langsung menanyaiku, "siapa yang telephone?".

"Ini dari tempat aku melamar pekerjaan kemarin, memanggil untuk interview", jawabku.

"Kapan?", tanya ibuku lagi penuh semangat.

"Nanti jam tiga sore", selorohku melanjutkan meret.

"Wes...wes...wes...tinggal meret nya. Cepat mandi, makan dan siap-siap. Ini sudah jam satu lho" ibuku yang cerewet itu memintaku untuk berhenti meret.
Ku ikut saja permintaan ibuku. Sebenarnya aku masih ogah berangkat interview. Apa boleh buat?, aku berangkat saja interview, toh belum pasti di terima atau tidak. Bagiku, yang penting bayang-bayang pulau Jawa sudah didepan mata. Aku memenuhi panggilan interview ini, karena siapa tahu ini menjadi kenangan terakhir di Bungo.

Sesampainya ditempat interview aku dengan ramah oleh customer care dan dipersilahkan duduk terlebih dahulu untuk menunggu. Tak butuh lama ada orang yang mendatangi dan mengantarkanku ke lantai tiga yang merupakan ruangan kepala cabang. Orang yang mengantarku kemudian mengetuk pintu,"tok..tok..tok..".

"Masuk..!!!", kata orang yang ada didalam ruangan yang tak lain adalah kepala cabang.

Orang yang mengantarku membuka pintu, " ini pak orang yang akan diinterview" begitu katanya sambil menunjukku. Aku dipersilahkan duduk, lantas ditanyai ngalor ngidul mulai dari motivasi hingga tawaran gaji. Singkat cerita, diakhir interview kepala cabang langsung saja menjabat tangan dan berucap, "Selamat anda diterima dan besok bisa langsung bekerja". "Terima kasih, pak", kataku setengah percaya.

Setelah selesai aku langsung berpamitan untuk pulang. Sepanjang perjalanan aku masih bingung dan heran. "Aku diterima kerja?", tanyaku pada diri sendiri yang masih juga tak percaya diberikan pekerjaan admin yang semestinya untuk lulusan diploma ke atas. Aku ini melamar kerja dengan lulusan Madrasah Aliyah bisa-bisanya diterima?.

Ibuku orang pertama yang langsung menanyaiku sesampainya aku dirumah. Betapa bahagianya dan bersyukurnya Ibuku mendapatkan kabar aku diterima kerja.

"Alhamdulillah...Pak!", ibuku memanggil bapakku.

"Ada apa?", dari tempat untuk menjemur batu bata atau yang dikenal sebagai rancungan, beliau berteriak. Pun bapakku bergegas melangkah masuk ke rumah.

"Anakmu keterima kerja, dan besok langsung kerja", ucap Ibukku yang tidak bisa sabaran menyampaikan informasinya.

"Iya, Le...??!, kamu ke terima kerja?", bertanya bapak pada diriku.

"Iya...", kataku tertunduk.

"Syukur, Alhamdulillah...", ucap bapakku sumringah.

Bukan, aku tak bahagia mendapatkan kerja, tapi rencanaku pulang ke Jawa menjadi tertunda untuk beberapa lama. Rencana yang ku susun, pupus dan gagal total. Ijazah Madrasah Aliyah yang ku sangka tidak mungkin diterima di perusahaan ternama untuk posisi admin. Aku masih heran, "koq bisa-bisanya?", pertanyaan itu terus tergiang dikepala. Ini sesuatu yang mustahil untuk ku, namun apa boleh buat aku harus menerimanya dengan lapang dada.

Aku percaya bahwa kekuatan do'a orangtualah yang telah mengalahkanku. Jika, Tuhan sudah berkehendak meng-ijabah do'a orangtua, tidak ada yang tidak mungkin dan tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Seiring berlalu aku disadarkan betapa kramatnya orang tua. Betapa hebatnya do'a orang tua, yang mana Tuhan mengasihi mereka. Sejak saat itu, aku tak berani lagi merencanakan sesuatu yang hanya mementingkan diri sendiri. Aku juga tak lagi berani membantah mereka. 

Aku hormat, tunduk dan patuh kepada orang tua dengan segenap ketulusan hati yang ku miliki. Pun ku putuskan diriku untuk mengabdi kepada kedua orang tua, sebelum aku berkeluarga sendiri. Aku juga mengurungkan niatku untuk pulang ke tanah Jawa. Mau tak mau, harus ku jalani takdirku saat ini. Toh, semua ini adalah anugerah dari Illahi. Selain dari itu, pekerjaan yang ku dapat ini bukanlah hasil dari sogok menyogok, pun bukan pula karena punya orang dalam. Ini semua merupakan hasil do'a orang tua yang di ijabah oleh Tuhan.

Bungo, 28 Oktober 2017