Lebih miris lagi, ternyata "menari-nari diatas penderitaan orang lain", benar adanya. Masyarakat dibawah sedang kesusahan, kehilangan pekerjaan, daya beli melemah, tapi yang diatas joget-joget bahagia menikmati kenaikan gaji maupun tunjangan. Sebuah, paradoks yang sepertinya lumrah dinegeri ini. Mereka tertawa menikmati upeti hasil tetesan keringat masyarakat yang hidupnya mengais rezeki ke sana kemari, tidak tahu besok masih bisa makan atau tidak.
Hati dan mata mereka sudah silau dengan jabatan dan materi, sehingga buta melihat realitas yang ada. Lihatlah, nasib "RAYA" bayi yang baru umur empat tahun harus menghembuskan nafas terakhirnya, karena para pejabatnya abai dan lalai. Mereka gagal mengimplementasikan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa di Pasal 34 Ayat (1), yang berbunyi, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".
Apakah kegagalan ini yang mereka rayakan?. Merayakan kegagalannya menolong Raya?, bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu?. Tidak mustahil dimasa depan akan terulang kembali bayi yang bernasib seperti Raya, jika mereka para elit politik hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri. Mereka sibuk memperkaya diri.
Senaif itukah para wakil rakyat itu. Mereka dengan riang gembira menikmati gaji dan tunjangan besar, tapi minim kontribusi. Saat fakir miskin dan anak terlantar membutuhkan ukuran tangan, dimana mereka berada?. Mereka hanya duduk diruangan ber-AC tidak pernah datang ke pemukiman-pemukiman kumuh, tidak pernah datang lagi ke konstituennya lagi. Ya... setelah terpilih mereka lupa.
![]() |
| Sumb photo : unsplash.com |
Baca Juga :
Saat dikritik tentang kenaikan gaji dan tunjangan, mereka berdalih bahwa kenaikan itu masih kurang, tidak cukup. Begitulah cara berpikir orang-orang serakah. Gunung emas diberikan kepadanya pun, pasti tetap akan kurang. Mereka menjadi pejebat bukan datang untuk mengabdi, namun untuk memperkaya sanak famili.
Waktu ada yang teriak, " BUBARKAN, DPR ! ", karena masyarakat sudah muak dengan tingkah laku mereka. Mereka justru merespon bahwa kita adalah orang yang " TOLOL". Ini merupakan cerminan rendahnya empati dan dangkalnya nalar anggota dewan yang katanya terhormat itu. Mereka tidak mau diganggu, mereka tidak ingin dikritik, mereka tidak mau diusik. Tapi, saat giliran ditanya mengenai kesejahteraan rakyat dengan lihainya mereka bersilat lidah. Mereka tidak pernah benar-benar memikirkan masyarakat, yang justru mereka lakukan adalah lobi-lobi tersembunyi untuk kepentingan sendiri.
Kemuakan masyarakat semakin menjadi, mahasiswa, buruh dan rakyat miskin kota turun ke jalan. Memprotes kebijakan kenaikan gaji dan tunjangan anggota dewan, serta kenaikan pajak yang semakin mencekik masyarakat kelas menengah ke bawah. Lewat demontrasi ini, nurani para anggota dewan berusaha diketuk, gedungnya digedor agar terbangun dari kursi empuknya. Apakah mereka sudah mendengar?, ada nasib Raya yang harus kehilangan nyawanya di Indonesia Raya ini, karena para pejabatnya lalai dan abai?.
Masihkah para anggota dewan tetap berjoget ria diatas nestapa rakyat yang diwakilinya?, masih banyak "Raya Raya" yang lain yang tak tersentuh oleh negara. Masih banyak fakir miskin dan anak terlantar yang diabaikan oleh negara. Negara seolah tutup mata atas nasib mereka.
Belum juga selesai duka cita kehilangan Raya, kabar duka sudah datang lagi. Tindakan represif aparat kepada para demonstran menimbulkan korban, satu nyawa harus gugur di medan juang, yaitu pengemudi ojol yang bernama Affan Kurniawan. Harus berapa banyak lagi martir yang diperlukan agar hati para pejabat terketuk?, atau hati mereka memang sudah mati?, sehingga tidak lagi nasib rakyat. Sepertinya mereka tidak peduli berapa jiwa yang melayang, yang penting perut mereka kenyang?.
Masih banyak rakyat yang jauh dari kata sejahtera, harusnya para anggota dewan malu tampil bergaya. Memamerkan kekayaannya di media sosial dengan gamblang, menambah miris catatan negatif mereka. Jika, mereka tidak berubah, peristiwa meninggalnya Raya maupun Affan Kurniawan akan memunculkan gerakan perlawan dari akar rumput secara organik dan masif diseluruh penjuru negeri. Kuasamu ada di tangan rakyat, jika rakyat berkehendak tamatlah riwayatmu. Rakyat akan menghukum mereka yang membuat tirani dan ironi di negeri ini terus berjalan.
Panjang umur perjuangan, mahasiswa, buruh dan rakyat akan terbangun menghukum kembali mereka yang berbuat semena-mena. Mereka yang telah kehilangan nurani, mereka yang buta dan mereka yang tuli akan jeritan serta tangisan rakyat, akan mendapatkan hukuman yang setimpal dari rakyat. Berbenahlah kalian para wakil rakyat, sebelum kuasamu direbut kembali oleh tangan rakyat. Kami tidak ingin lagi mendengar nasib Raya di Indonesia Raya ini terjadi lagi, kami tidak ingin lagi kejadian yang dialami oleh Affan Kurniawan terulang.
Mengabdilah pada negara, agar cita-cita luhur bangsa terwujud sebagaimana mestinya.
Bungo, 29 Agustus 2025

0 Comments
Post a Comment