Akhir-akhir ini berlalu lalang perbincangan mengenai polemik musik. Tarik royalti sana sini, hingga ruang-ruang komersil yang dulu ramai, kini mulai sepi. Jika, dulu musik-musik viral selalu diputar di warung, resto, cafe, pasar, bus, kereta api, mini market, super market bahkan tempat-tempat publik lainnya, namun kini jangan harap, semua tempat-tempat tersebut sekarang khawatir mendapatkan surat cinta dari Lembaga Management Kolektif Nasional (LMKN).

Lebih mencengangkan lagi, suara burung sampai lagu kebangsaan saja tetap dikenakan royalti. Sebuah kebijakan yang terlihat spektakuler, tapi ngawur.

Memang bagus LMKN berpihak kepada musisi maupun komposer musik untuk mendapatkan royalti yang semestinya. Namun, sekali lagi jangan gebyah uyah, semua yang menimbulkan suara dan diputar ditempat komersil wajib bayar royalti. Contoh kasus, ada hotel syariah yang memutar muratal qur'an saja tetap ditagih royalti juga, dengan alasan itu juga ada hak ekonomisnya dan dikarenakan setiap kamar tidur memiliki TV yang bisa digunakan memutar musik, jadi hotel tersebut tetap wajib bayar royalti.

Sumb photo : adobe fly


Apakah kebijakan LMKN ini akan membawa kemajuan industri musik atau justru akan membawa kemunduran?, sebab semua orang khawatir mengenai polemik memutar musik ini. Dampaknya masyarakat kita makin asing dengan musisi dalam negeri. Biasanya mereka tahu ada musik yang hit bisa dari angkot, warung, cafe, resto atau tempat-tempat lainnya. Padahal, dengan diputarnya musik-musik di tempat-tempat tersebut merupakan promosi gratis bagi musisi agar karyanya didengar dan dikenal.

Kini ruang gerak akses publik terhadap musik semakin terbatas karena ketakutan membayar royalti, jika dulu kita bisa mendengarkan lagu diputar disetiap sudut kota, maka kini sudah tidak bisa lagi kita duduk bersantai ria di cafe menikmati secangkir kopi sambil mendegar musik. Jika, hal semacam ini terus berlanjut yang paling dirugikan justru musisi itu sendiri. Karya mereka akan kehilangan ruang sosial yang dulu begitu efektif untuk membangun popularitas.

Industri musik yang seharusnya tumbuh menjadi bagian interaksi antara musisi, karya, dan masyarakat bisa terjebak dalam ruang sempit dan bersifat eksklusif, hanya terdengar di platform digital berbayar atau acara tertentu, sehingga tidak bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Padahal, keberhasilan sebuah karya musik tidak bisa diukur dari jumlah royalti yang diterima, tetapi sejauh mana karya itu hidup dan diterima masyarakat. Sebagus apa pun karya musisi, jika tidak ada yang mendengarkan menjadi percuma. Bagaimana dengan royaltinya?, bila yang mendengarkannya saja tidak ada.



Oleh sebab itu, LMKN semestinya kerjanya tidak hanya berfokus pada aspek penarikan royalti semata, melainkan juga merancang kebijakan yang adil dan proporsional bagi semua pihak baik musisi, pelaku usaha maupun para pendengar musik. Bisa saja mungkin bagi para UMKM, LKMN memberikan kelonggaran atau bahkan dikecualikan dari kewajiban membayar royalti, karena bagi mereka musik bukanlah senjata utama mencari keuntungan, melainkan sekadar hiburan untuk menghidupkan suasana.

Sementara itu, bagi perusahaan besar, hotel berbintang, dan pusat perbelanjaan modern bisa saja dikenai kewajiban lebih besar karena mereka jelas mendapatkan nilai tambah dari musik yang diputar, tentu dengan cara yang transparan.

Jika kebijakan penarikan royalti oleh LKMN ini dijalankan secara bijak, industri musik mungkin bisa berkembang lebih baik, musisi mendapatkan hak ekonomisnya, sementara masyarakat tetap akrab dengan karya-karya musisi lokal. Tetapi bila diterapkan secara kaku dan terkesan sedikit ngawur, hal yang terjadi justru sebaliknya, musik Indonesia hanya akan terdengar di ruang-ruang terbatas, kehilangan daya sebar alami yang selama ini menjadi kekuatannya.

Banyak cara yang bisa dilakukan oleh LMKN untuk menarik royalti. Tidak perlu dengan cara-cara manual, apalagi mengancam pelaku usaha seperti halnya resto Mie Gacoan. Ini layaknya pemerasan yang bersembunyi dibalik pakaian-pakain elit.

LKMN tak perlu repot-repot mondar-mandir menagih royalti kesana kemari, dunia teknologi sudah sangat maju, cukup bekerjasama dengan platform musik yang sudah ada, berikan pilihan metode berlangganan untuk personal maupun bisnis, sehingga para pelaku usaha dan masyarakat dengan mudah mengakses karya-karya musisi lokal, tidak perlu lagi diribetkan dengan perizinan menggunakan atau memutar musik. LMKN tingal ongkang-ongkang kaki menerima pembayaran royalti dari pihak ketiga. Solusi seperti ini, rasanya lebih adil dan transparan bagi semua pihak. Tidak ada lagi Ari Lasso, Ari Lasso lainnya yang menerima royalti terlalu kecil, karena semua sudah tercatat secara digital, berapa yang berlangganan dan berapa yang memutar lagu miliknya.

Singkatnya, musik tidak hanya soal royalti, tapi juga soal budaya. Musik adalah media yang menghubungkan masyarakat dengan identitasnya. Musisi pun jangan hanya mengejar royalti semata. Karya yang hebat bukan soal seberapa besarnya royalti, tapi seberapa bisa karya itu berdampak dan seberapa lama ia hidup ditengah masyarakat. Jangan sampai demi mengejar rupiah, justru mematikan denyut musik itu sendiri di tengah kehidupan sosial kita.

Polemik royalti musik seharusnya menjadi momentum refleksi bersama, bukan sekadar ajang tarik-menarik kepentingan. LMKN, musisi, dan pelaku usaha harus duduk satu meja untuk mencari jalan tengah yang bijak. Tanpa keseimbangan, musik hanya akan menjadi komoditas, kehilangan ruh sosialnya, dan terasing dari masyarakatnya sendiri. Jika dikelola dengan benar, royalti bisa menjadi instrumen penghargaan, bukan alat pengekangan. Pada akhirnya, musik harus tetap hidup, tumbuh, dan berdendang bebas di ruang-ruang sosial, karena di sanalah sejatinya musik bernapas.

Bungo, 25 Agustus 2025