![]() |
| Sumber photo : unsplash.com |
Tayangan disalah satu TV nasional tersebut membuat masyarakat terbelah. Ada suara yang mendukung aksi boikot dan ada yang menolak mengikuti aksi boikot. Mereka bahkan mendukung apa yang telah ditayangkan di TV nasional tersebut merupakan kebenaran. Menurut mereka masih banyak pesantren di Indonesia yang masih melanggengkan praktek-praktek feodal.
Deretan kasus pelecehan seksual terhadap santri yang dilakukan oleh seorang oknum Kiai atau ustadz menandakan bahwa praktek feodalisme masih tumbuh subur dalam budaya pesantren. Mereka dengan mudahnya melakukan pelecehan seksual terhadap santrinya sendiri dengan menggunakan dogma agama, kuasanya sebagai Kiai atau ustadz yang setiap perkataannya tidak boleh dibantah, setiap instruksinya adalah perintah dan menuruti keinginannya agar mendapatkan barokah. Para oknum itu selalu memberikan dogma sebagai santri harus "Sami'na wa atha'na".
Lewat sudut pandang itu, apakah salah jika sebagaian masyarakat menuduh pesantren di Indonesia sebagian masih melanggengkan budaya feodalisme?. Tentunya, tidak salah, karena kebenaran hanya serpihan kaca yang pecah berkeping-keping. Kita harus mengakui masih ada saja oknum pemilik pesantren dengan dogmanya bisa leluasa melakukan aksi bejatnya, berlindung dibalik baju relegiusnya untuk menutupi aksi busuknya, dan para santrinya tidak bisa apa-apa karena sudah terbuai oleh dogma agama dan ingin mendapatkan berkahnya. Sehingga, perlu waktu bertahun-tahun lamanya agar aksi bejat mereka terbongkar.
Film "Walid" dari negeri jiran Malaysia adalah bentuk keresahan yang disuarakan oleh sebagian masyarakat dan bentuk kritisi atas budaya feodalisme yang sering terjadi dilingkungan pesantren. Hal ini semestinya menjadi momentum untuk memperbaiki citra pesantren agar lebih baik kedepannya, bukan malah bersembunyi atau terkesan menutup-nutupi bahwa masih adanya praktek-praktek feodalisme didunia pesantren.
Pandangan yang menyatakan di pesantren masih tumbuh subur budaya feodalisme, bukan berarti semua pesantren mempraktekkan budaya feodalisme, di zaman modern sekarang ini banyak pesantren yang sudah inklusif dan egaliter dalam mengelola pendidikannya. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan dunia pesantren, hanya bentuk kritisi kepada pesantren yang masih melakukan praktek-praktek feodalisme, yang masih menggunakan dogma agama hanya untuk kepentingan pribadi dan pemuas nafsu belaka.
Akar budaya feodalisme masih saja tumbuh subur, karena salah memahami konteks "sami'na wa atha'na", bahkan mungkin dengan hujjah ini sebagian oknum Kyai atau ustadz -yang sebenarnya tidak pantas menyandang gelar itu- menjadi kalimat rayuan untuk melakukan pelecehan seksual, bahkan mungkin lebih dari itu.
Sebelum jauh, kita harus membedah dahulu konsep "sami'na wa atha'na", yang selama ini dipahami secara keliru. " Sami'na wa atha'na", bukan berarti kita menerima mentah-mentah semua perintah, bukan pula tidak boleh dibantah. Loh... kan?, mereka tokoh agama, meraka orang berilmu, mereka ini ulama, ulama adalah pewaris nabi. Benar sekali, tapi kita harus tahu betul mana ulama akhirat dan mana ulama dunia atau sering disebut ulama su'.
Jika ulama akhirat, orientasinya mencari ridha Allah SWT dan mengamalkan ilmunya untuk akhirat, mereka sudah selesai dengan urusan duniawi, apalagi masalah nafsu birahi. Ulama Su' atau ulama dunia justru sebaliknya, mereka menggunakan ilmunya untuk mendapatkan duniawi, kedudukan, harta bahkan termasuk masalah nafsu, mereka menggunakan dogma bahkan dalil-dalil agama untuk merayu korbannya.
Setelah memahami tentang ulama akhirat dan ulama dunia, jadi apakah konsep "sami'na wa atha'na", masih tetap berlaku dan relevan 100℅ untuk semua ulama?, tentu tidak. Bahkan, dalam ketaatan maupun telah diingatkan, "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu."
Baca Juga :
Dalil diatas jelas, taat kepada Allah dan Rasul adalah hal yang paling utama, baru kemudian Ulil Amri -Ulama termasuk dalam kategori Ulil Amri-, dalam tafsir Jalalain ketaatan dan kepatuhan kepada Ulil Amri mutlak dijalankan selama sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sampai sini, kita diberikan perspektif yang luas dan diberikan ruang untuk bernalar, apakah kita masih berpegang teguh bahwa konsep "sami'na wa atha'na" tetap tidak boleh dibantah?, bagaimana jika perintahnya tidak sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya?.
Lalu dilanjutkan dalam ayat yang masih sama, "Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Perlu digaris bawahi, "jika kamu berbeda pendapat.. ", ini berarti ada ruang diskusi, ada ruang bertanya, ada ruang menolak, ada ruang untuk berpikir dan bahkan ada ruang untuk membantah jika berbeda pendapat. Kita diberikan ruang yang begitu luas sekali untuk bernalar dan tidak serta merta menerima apa pun perkataan maupun perintah secara mentah-mentah begitu saja, meskipun perintah itu keluar dari Ulil Amri, apalagi oknum yang menggunakan topeng Kiai atau ustadz. Jadi, apa masih bersikukuh "sami'na wa atha'na" kita harus menerima mentah begitu saja?, tidak boleh dibantah?, dan hanya bisa nurut?, seperti kerbau dicocok hidungnya.
Oke, kalau masih juga belum juga puas mengenai penjelasan konsep "sami'na wa atha'na", contoh yang paling gamblang adalah peristiwa Isra' Mi'raj, Nabi Muhammad SAW yang seharusnya menerima perintah shalat 50 kali waktu, tapi beliau memohon keringanan kepada Allah SWT menjadi hanya 5 waktu. Jika, "sami'na wa atha'na", adalah konsep tidak boleh dibantah, tidak ada ruang diskusi, tidak ada ruang berbeda pendapat, mungkin kita akan menjalankan perintah shalat 50 waktu. Syukurnya Nabi Muhammad tidak langsung menerima mentah-mentah, bersedia mendengarkan saran dari Nabi Musa AS untuk memohon keringanan. Jika, sama Tuhan saja perintah-NYA masih bisa dinegosiasi, apalagi sesama manusia?.
Ah... sudahlah, yang pasti tulisan ini hanya memberikan gambaran, masih banyak oknum-oknum berbaju agamais yang berlindung dibalik dogma, menggunakan dalil-dalil agama untuk mendapatkan duniawi bahkan terus menyuburkan praktek-praktek feodalisme dalam dunia pesantren, agar ketokohannya dan pengaruhnya tetap kekal.
Tugas kita sebagai masyarakat awam, jika ingin memasukkan anak ke pesantren harus pandai-pandai memilih, mana ulama akhirat, mana ulama su'?. Mana pesantren yang masih subur perilaku feodalnya, mana pesantren yang sudah masuk dalam kategori egaliter. Kita tidak boleh membenci pesantren, sebab pesantren adalah tempat pendidikan alternatif yang mampu mencetak generasi bangsa yang hebat, adaptif dan kreatif. Sumbangsih dunia pesantren bagi bangsa ini dari dulu sangat besar, termasuk dalam hal kemerdekaan. Jika, ada kasus-kasus yang mencoreng pesantren itu adalah sebagian kecil oknum yang sengaja menjual agama demi kepentingan pribadinya.
Mengenai praktek-praktek mencium tangan tokoh agama, memberikan salam tempel, berjalan menunduk, ngesot, mundur atau ndepe-ndepe saat bertemu dengan tokoh agama dalam pesantren merupakan bentuk penghormatan ala orang jawa saja yang memang masih terus dijaga sama kini. Hal ini sebenarnya tidak hanya berlaku didalam pesantren saja, tapi diluar pesantren juga berlaku, ketika bertemu dengan orang yang lebih tua -tidak harus tokoh, hanya perlu lebih tua saja- sebagai bentuk kesopanan dan lelaku ini hingga kini masih berlaku di tengah-tengah masyarakat jawa.
Ya... meskipun ini bisa juga dikatakan sebagian orang sebagai prilaku feodal, tapi kadarnya kecil sekali, saya kira sebagai seorang yang pernah nyantri, meskipun hanya numpang tidur itu masih dimaklumi. Karena, orang awam diluar pesantren tidak tahu bahwa Kyai atau Ustadz terkadang juga duduk ngopi bareng bersama santrinya, bahkan ada juga santri yang berani meminta rokoknya Kiai atau Ustadz. Mereka sangat akrab sekali, sering kali bersenda gurau bersama saat kegiatan pesantren sudah usai. Itu yang orang tidak tahu.
"Haha... Pundi rokok'e Yi... "
Bungo, 21 Oktober 2025

0 Comments
Post a Comment