Dipos ronda bercat putih yang sudah sangat kusam itu, ku lihat dari jauh Mbah Saberang sedang tertawa sendiri. Entah hal apa yang membuatnya tertawa?. Matanya memandang ke bawah, terkadang pulang ke atas. Ia seperti orang yang baru linglung. Bajunya pun sudah mulai lusuh dan sobek-sobek. Hatiku bercampur aduk antara sedih dan tidak mengerti. Mbah Saberang yang dulunya dikenal sangat bijaksana dan selalu memberikan solusi terhadap permasalahanku.
Kini dalam pandanganku justru Mbah Saberang sendiri yang tidak biasa memikul permasalahannya. Ternyata orang yang selama ini memberikan diriku motivasi, malah gagal memotivasi dirinya sendiri. Keadaan Mbah Saberang semakin hari, semakin memprihatinkan. Sudah hampir seminggu ia hanya duduk di pos ronda dan tertawa sendiri. Orang-orang yang lewat didepan pos ronda itu terkadang juga ada yang dimarahi. Mbah Saberang sungguh telah kehilangan akal warasnya.
Setiap hari dari jauh Mbah Saberang ku amati, meski hanya paling lama setengah jam ku sempatkan. Aku berharap Mbah Saberang ada perubahan ketitik kewarasannya. Namun, dalam mataku Mbah Saberang sudah benar-benar gila. Akalku pun mulai bertanya, sepahit apa kegetiran yang melanda dalam hidupnya?. Seberat apa permasalahan hidupnya?. Sehingga, seseorang motivator ulung pun tersandung permasalahan dan tak bisa menemukan solusinya.
Karena, dari hari ke hari ku lihat Mbah Saberang masih saja tertawa sendiri. Aku semakin tak tega. Maka, keesokan harinya aku tak mau hanya melihat dari jauh. Aku datang mendekat kepada Mbah Saberang sambil membawa nasi. Tapi, yang terjadi justru aku dimarahi dan dicaci maki. "Untuk apa kau datang kemari?, apa yang kau bawa itu?. Aku tak butuh bungkusan yang kau bawa. Dirimu saja masih melarat, hutangmu bertumpuk sana sini. Itu pasti kau beli uang dari hasil hutangan. Aku tak sudi. Lihat dirimu... dan sadar diri. Kau itu jangan sok-sokan memberi. Kau itu miskin.... Bawa bungkusan itu ke rumahmu sendiri. Kalau pun kau ingin berniat bersedekah, jangan kepadaku. Sedekahlah ke anak yatim piatu. Janda-janda miskin yang tak dipedulikan lagi anak-anaknya", kata Mbah Saberang memarahiku sembari tertawa terbahak.
Didepan Mbah Saberang aku hanya diam. Aku tidak berkutik dan mau membalas berkata apa kepada Mbah Saberang. Setelah dimarahi Mbah Saberang pikiranku kosong. Mataku mlongong bengong. Karena, apa yang dikatakan Mbah Saberang benar adanya. "Sudah...!!!, pulang sana", teriak Mbah Saberang sembari melempar sandal jepit ke mukaku. Aku pun langsung pulang dengan perasaan bingung.
Dilain hari, aku tetap tidak mau menyerah. Aku mendatangi Mbah Saberang kembali. Kini aku membawa baju untuknya. Aku sungguh tak tega melihatnya memakai baju lusuh dan compang-camping. Akan tetapi, aku malah terkena marah kembali. Mbah Saberang bilang, "Kau itu tak tahu diri. Aku harusnya yang tak tega melihatmu", seolah ia tahu alasanku datang padanya, "kau itu yang sebenarnya lusuh dan compang-camping. Bahkan, dirimu sendiri saja belum punya pakaian yang layak. Kau itu terkadang malah telanjang. Kau sungguh tak tahu malu", kata Mbah Saberang. Mbah Saberang berdiri dari tempat duduknya lalu menjitak kepalaku, "Sana... Pulang ", pekiknya dengan nada marah.
Sebagai seorang yang teman, aku tidak surut untuk terus berusaha membantu. Usahaku pertama dan kedua gagal. Usaha yang ketiga tidak boleh gagal, pikirku. Aku pun datang kepadanya tidak membawa apa-apa. Itu ku lakukan agar aku tidak kena marah dan diusir lagi. Aku sangat ingin tahu ada permasalahan apa sehingga Mbah Saberang menjadi gila.
Aku mendatangi Mbah Saberang yang sedang tertidur di pos ronda. Kurang satu langkah, Mbah Saberang terbangun. Mungkin ia mendengar suara langkahku. Ia langsung melihatku yang tak membawa bungkusan apa-apa. Ia terdiam tak berkata sepatah pun. Aku tersenyum, rencanaku berhasil. "Mbah Saberang tak bisa memarahiku, karena aku tak membawa apa pun", ujarku dalam hati.
Alangkah kagetnya aku. Mbah Saberang tetap memarahiku. "Kau itu bandel dan ngeyel. Kau manusia yang tak tahu waktu. Suka membuang dan menyia-nyiakan waktu", kata Mbah Saberang semakin marah. Ia diam sejenak, lalu tertawa. Dan Mbah Saberang melanjutkan pembicaraannya kembali, "kau sungguh-sungguh merugi. Mendatangiku tak ada gunanya. Pulang, pulang sana... Kau memang tak tahu waktu. Kau tak pernah datang, kalaupun datang kau sering terlambat. Jangan pernah mendatangi diriku, sebelum dirimu sendiri bisa tepat waktu. Pulang saja kau... ". Mbah Saberang geram dan sangat marah kepadaku.
Aku masih tak habis pikir, mengapa aku yang ingin membantu justru dimarahi dan dicaci. Aku pun sudah berbaik hati membantu, tapi balasannya adalah makian dan luapan kemarahan.
Sesampai rumah, pikiran ku masih tak paham dan mencoba membandingkan. Mengapa orang yang sudah gila justru tak mau diberi bantuan?. Tapi, disisi lain ada orang yang akalnya waras malah mengiba mengharapkan bantuan. Kenapa orang yang akal warasnya sudah hilang justru lebih peduli dengan orang lain daripada dirinya sendiri?. Namun, disatu sisi orang-orang yang waras dan punya akal sehat malah tidak peduli kepada orang lain dan lebih memilih mementingkan dirinya sendiri?. Kenapa juga seorang motivator justru kalah terhadap masalahnya sendiri?. Tapi, dilain sisi seorang yang bukan motivator malah bisa membangkitkan dirinya sendiri, bahkan mampu memotivasi orang lain?. Pikiranku rasanya sudah tak sanggup menampung keanehan-keanehan dunia ini. Jika, ku paksaan pikiran, aku pasti akan kehilangan akal waras.
0 Comments
Post a Comment