Kruk...kruk...kruk.. suara perut Bejo yang sejak kemarin belum memakan nasi sesuap pun. Bejo hanya minum air putih dari sungai atau dari kran air wudhu untuk menghilangkan rasa laparnya. Wajahnya memucat dan tubuhnya melemas tak punya tenaga. Bejo seorang gelandangan yang hidup dijalanan. Menjelang petang Bejo mengais tempat sampah didepan-depan toko mencari sisa makan.
Makanan Bejo memang tak sehat, tapi apa boleh buat?. Perutnya yang kelaparan memaksanya untuk menyatap makanan yang bagi banyak orang membahayakan kesehatan. Makanan yang Bejo santap terkadang setengah basi, kotor, kuman dan bercampur dengan semua sampah-sampah. Bejo seberusah sebisa mungkin melanjutkan perjalanan hidup.
Suatu saat ia bertemu dengan seseorang pria yang datang kepadanya sembari membawa kantong plastik hitam ditangan kanannya. Orang itu semakin mendekat ke Bejo yang sedang asyik mengais sampah. Sesampainya pria itu didepan Bejo, lantas memanggilnya, "Bang...", ucapnya. Bejo kaget mendengar seseorang yang memanggilnya. Mayanya tajam memandangi pria asing yang belum ia kenal.
" Jangan takut, bang..", kata pria itu, "aku kesini mau kasih abang makanan. Alhamdulillah, hari ini aku ada rezeki sedikit. Mudah-mudahan makanan ini bisa mengisi perut abang yang sedari tadi mencari makanan disitu", tangan pria itu menunjuk ke tong sampah. Rupanya pria ini telah mengamati Bejo dari warung diseberang jalan. Tangan Bejo gemetar menerimanya dan dimatanya masih ada ketakutan.
" Matur nuwun... ", ucap Bejo dengan lirih.
"Saya juga terima kasih, bang.. Abang mau menerimanya. Ya sudah, monggo dimakan. Aku mau pulang dulu", kata si pria berpamitan.
Bejo yang sedang kelaparan segera melahap makanan yang diberikan pria itu. Dipinggir, dibawah pohon ia menikmati makanannya, meskipun orang-orang sibuk berlalu lalang. Tidak ada sisa sebutir nasi pun dibungkus makanan, semua dilahapnya sampai habis. Malam ini Bejo bersyukur dan bisa tertidur nyenyak karena perutnya tidak keroncongan.
Bejo memang seorang gelandangan, namun ia bukanlah orang gila. Ia tidak punya tempat untuk pulang. Sejak orang tuanya berpisah ia menjadi gelandangan. Ayah dan ibunya meninggalkan dirinya begitu saja dirumah kontrakan. Ia mencari, menyusuri seluruh sudut kota untuk menemukan entah itu ayah atau ibunya. Tekadnya membuatnya terus berjalan melewati desa, kota, hutan belantara dan sehingga ia sampai tersesat disudut kota. Kota yang belum ia kenal.
Kumal rambutnya, bau amis badannya, lusuh dan sobek-sobek pakaiannya membuatnya disangka seorang yang gila. Tapi, hatinya tak patah, tak menjadi ciut atas tekadnya untuk terus mencari orang tuanya. Hinaan demi hinaan ia terima dengan hati yang lapang. Hal ini tentu sangat berbeda sewaktu dulu hidup bersama kedua orang tuanya, apalagi dia adalah anak tunggal.
Ah...tapi, Bejo belajar banyak hal dari perjalanan panjangnya. Ia menemukan hal-hal yang belum pernah diketahuinya. Salah satunya yaitu tentang seorang pria yang setiap malam membawa sebungkus nasi untuknya. Pria asing yang ia sendiri juga tidak tahu namanya. Setelah memberikan sebungkus nasi selalu pria tersebut segera bergegas menuju sepeda tua yang diparkir diseberang jalan. Bejo hanya bisa menatapnya saat pria itu mengayuh sepeda pergi. Bejo tersenyum sembari membungkukan badan sebagai tanda berterima kasih saat si pria itu menoleh kearahnya.
Sudah hampir seminggu ini Bejo mengais sampah mencari sisa makanan saat malam tiba. Pria yang rutin memberikan sebungkus nasi tidak datang kepadanya. Bejo merindukan pria itu. Bukan, mengharapkan sebungkus nasi?. Namun, tentang rasa kemanusiaan yang ada didalam dada. Bejo resah dan cemas jikalau terjadi sesuatu pada pria tersebut, atau mungkin saja pria itu sedang sakit?. Kabar pun tidak ada sampai ketelinganya. Berharap setidaknya kalaupun sudah tidak bisa membawa sebungkus nasi, paling tidak harapan Bejo pria itu melintas dengan sepeda bututnya.
Cerita Bejo lainnya :
Pria yang memberi sebungkus nasi tersebut kini hilang ditelan bumi. Dibawah pohon Bejo menunggu pria itu melintas. Bukan, karena mengharapkan sebungkus nasi darinya, akan tetapi sebab sebungkus rindu teruntuk pria itu. Bejo berharap semoga saja pria itu dalam keadaan baik-baik saja. Perasaan Bejo malam itu biasa saja. Tidak ada firasat apa pun.
Malam berikutnya, masih dengan sebungkus rindu teruntuk pria yang selama ini mau peduli pada Bejo. Duduk bersandar dibawah pohon Bejo menanti, sembari memakan sepotong roti dari hasil mengais ditong sampah. Telinga Bejo mencoba mendengarkan suara kayuh sepeda tua dari pria itu, namun tidak ada tanda-tanda suara kayuhan sepeda yang mendekat ke arahnya. Sudah tiga malam ini Pria itu tidak kunjung datang melintas. Hingga, malam mulai larut Bejo yang dari tadi pagi hanya makan sepotong roti. Bejo sudah tak bisa menahan kantuknya, tubuhnya gemetar karena rasa lapar. Beralaskan kardus Bejo merebahkan tubuhnya yang ringkih diemperan toko.
Begitu pulasnya Bejo tertidur. Malam menjelang pagi terdengar suara dahsyat menggelegar. Bejo seketika terbangun. Saat Bejo membuka matanya semua orang berlari, menjerit histeris penuh ketakutan. Terdengar suara sayup-sayup orang meminta pertolongan. Orang-orang mondar-mandir kebingungan. Mobil pemadam kebakaran, ambulan dan sirene mobil polisi saling bersahut-sahutan. Semua tampak kacau.
Bejo beranjak dari emperan toko dan berjalan ke jalan raya. Tubuhnya yang ringkih itu tak bisa berjalan mencari tahu apa yang sedang terjadi dan dari mana suara sumber suara menggelegar tersebut. Bejo hanya mampu melangkah sampai pohon ditepian jalan raya yang biasanya ia gunanakan duduk menanti pria yang baik hati itu. Dari bawah pohon itu Bejo melihat kobaran api yang membumbung tinggi. Petugas pemadam kebakaran terlihat menyemperotkan air untuk memadamkan api. Personel polisi pun terlihat mengamankan tempat kejadian dan menghimbau agar orang-orang tidak mendekat. Para medis sibuk mengangkat orang-orang bersimbah darah kedalam mobil ambulan.
Sampai fajar menyingsing semua masih tampak semrawut. Mobil ambulan bolak-balik mengangkut orang-orang. Ketika matahari tepat diatas kepala barulah situasi terkendali. Namun, masih belum jelas apa yang sedang terjadi. Kabar yang Bejo dengar simpang siur, ada yang bilang tabung gas meledak, konsetling listrik, pun ada yang bilang bom. Kabar itu masih belum tak pasti. Semua orang saat sore tiba mulai beranjak dari lokasi, hanya ada petugas polisi yang berjaga-jaga. Saat sore itulah Bejo melihat sepeda tua yang biasanya dipakai pria yang memberikan sebungkus nasi.
Bejo berjalan ke seberang jalan menghampiri sepeda yang terpakir ditepi jalan, tak jauh dari lokasi kejadian. Bejo menolah-noleh mencari si pemilik sepeda, namun ia tak menemukan sesosok pria itu. Dengan langkah kaki yang gontai. Bejo memberanikan diri bertanya kepada petugas polisi, siapa tahu mereka tahu?. Teryata tidak ada yang tahu satu pun dimana pria yang Bejo cari.
Esok harinya Bejo segera bangun dan beranjak dari emperan toko, tempat ia tidur. Posko informasi yang didirikan oleh pihak berwenang dibekas hotel yang terkena ledakan pagi-pagi buta sudah ramai dipenuhi orang. Mereka adalah pihak keluarga korban ledakan yang menunggu informasi terupdate. Saat matahari mulai menyingsing pihak kepolisian akhirnya memberikan update informasi bahwa peristiwa ledakan dihotel tersebut bukanlah murni musibah, akan tetapi disebabkan oleh teror bom.
Setelah Bejo tahu akan informasi yang diberikan. Hati Bejo tentu bertanya-tanya, mengapa tega sesama manusia sendiri melakukan hal ini. Pertanyaan ini membayangi perasaan Bejo hingga berhari-hari. "Tidakkah kita sebagai manusia untuk saling bahu membahu, saling bantu membantu antara satu manusia dengan manusia lainnya?", hati Bejo terenyuh penuh pilu mengingat peristiwa itu.
"Oh.. engkau Manusia, tidakkah ada jalan lain untuk mengantarmu ke surga?, selain dengan cara keji seperti itu. Oh... engkau manusia, mengapa?, oh.. mengapa?, duhai... mengapa.... demi kata yang engkau anggap sebagai kebenaran, demi...surgamu...engkau tumbalkan nyawa manusia. Apakah memang untuk sampai ke pintu surga harus dengan menumbalkan nyawa?. Lantas...apa bedanya dengan para manusia penyembah syetan yang inginkan syurga dunia, syurga yang bergelimang harta benda?. Pesugihan orang-orang menyebutnya. Apakah engkau sedang melakukan pesugihan atas nama agama untuk mendapatkan syurga?. Apakah Tuhan membutuhkan tumbal nyawa manusia?. Oh... sungguh... engkau kekeringan, oh... sungguh... engkau yang dahaga, oh.. sungguh... jiwamu adalah jiwa-jiwa yang lapar akan nilai-nilai agama. Sesungguhnya engkau mengais nilai-nilai agama dari sembarang tempat. Duh... engkau penuhi jiwamu dari nilai-nilai agama yang masih abu-abu, namun tetap saja engkau makan, engkau tegak sebagai minuman pelepas dahaga teruntukmu yang justru itu meracuni dan memabukkan jiwamu, sehingga membayakan dirimu dan orang lain. Oh... mengapa?", jerit Bejo dalam batinnya.
Bejo memang secara kasat mata, ia merupakan orang yang kelaparan. Orang yang perutnya selalu kosong dan untuk memenuhinya ia harus mengais ditong-tong sampah mencari makanan sebagai pengganjal rasa lapar. Namun, secara batinnya ia telah tercukupi nilai-nilai agama yang didapatkan dari kakek dan neneknya. Sehingga, rasa lapar seperti apa pun yang membelit perutnya tak menjadikan panjang tangan.
Seminggu berlalu dari peristiwa ledakan hotel, saat Bejo mengais sampah mencari makan, ia menemukan sesobek koran dalam tong sampah. Ia mengambil sesobek koran itu karena ada photo pria yang setiap malam dengan sepedanya memberi sebungkus nasi untuknya. Bejo kaget bukan main setelah membaca koran itu yang menyatakan bahwa pelaku pengeboman hotel tersebut adalah seorang pria yang mengantar sebungkus nasi untuknya. Air mata Bejo kian deras menetes, kesedihannya bertambah berat saat ia tahu bahwa diantara daftar nama korban ada nama ibu dan ayahnya. Kedua orang tuanya yang selama ini ia cari. Demi untuk menemukan mereka ia rela menjadi gelandangan. Ia meremas koran yang dipegangnya, "lantas apa arti kebaikanmu selama ini, jikalau berperilaku keji. Tidakkah engkaulah orang yang sesungguhnya kelaparan itu?", teriak Bejo tubuh lemas. Dengan air mata kesedihan yang membasahi pipi dan sisa tenaga yang ia punya, Bejo berlari menuju rumah sakit. Tempat dimana tubuh kedua orang tuanya terbaring.
Bungo, 05 Desember 2017
0 Comments
Post a Comment