Orang bilang tahun ini, tahun politik. Entahlah?, bagi calon pejabat atau sudah jadi pejabat, tahun ini adalah tahun berebut. Bagi para pendukungnya tahun ini, tahun saling ribut dan sikut. Sebagian lagi tahun ini merupakan tahun pesta demokrasi. Tapi, entahlah...?. Nyatanya bukan pesta demokrasi yang terasa, namun caci maki muncul dimana-mana.
Fanatisme buta telah mewabah sedemikian rupa. Asal beda, mereka cerca. Hoax menjadi senjata utama untuk mengaburkan hal baik yang ada dilawan. Hoax merupakan hal penting yang mereka harus ciptakan untuk membakar kebencian. Seoalah mereka dicurangi, padahal mereka sendirilah yang curang.
Ah... entah siapa yang harus dipilih?. Keduanya saling perang. Keduanya sama-sama memiliki kekurangan. Pun keduanya punya kelebihan. Berdasarkan retorika masing-masing ala mereka, menunjuk diri sendiri paling sempurna, sedang lawan penuh cacat cela. Namanya, juga kampanye... Namanya, juga sedang ingin meraup suara supaya mendapatkan kuasa.
Sebagai rakyat jelata hanya bisa menontonnya, sesekali sembari mengelus dada. Tingkah mereka terkadang gemesin, lucu sampai level ngeselin. Tapi, ya sudah... Kata mereka semua demi memperjuangkan hak rakyat dan menjadikan negara berdaulat.
Sudahlah, rasanya lelah dengan segala gimmick dan intrik politik yang membuat masyarakat terusik. Tak perlu berteriak-teriak untuk wong cilik, jika nyatanya hanya ingin kuasa untuk pribadi, golongan dan orang-orang yang disekitarnya yang berjasa.
Hey... Mengapa setiap lima tahun sekali kalian memanggil-manggil kami?, Kenapa kalian menyeret-nyeret kami untuk datang ke tempat pemungutan suara dan mencoblos gambarmu?. Hey... para perebut kuasa kami hanya rakyat jelata, mengapa tiba-tiba kalian sembuh dari amnesia?. Bukankah, kalian sudah lupa dengan kami, rakyat jelata?.
Tak perlu khawatir, kami pasti datang memilih salah satu yang tidak terlalu amatir dari para perebut kuasa yang amatir. Meski, hati kami selalu getir. Walau, nasib kami selalu terpinggir. Padahal, kami tahu setelahnya kuasa kalian raih, kalian selalu bisa berdalih.
Mengapa kami harus memilih?. Padahal, siapapun yang kami pilih nasib tetap saja sama. Kalau tidak bekerja ya tidak makan. Karena, kami rakyat jelata masih punya setitik harapan dan memilih merupakan usaha kami sebagai wong cilik, sebagai rakyat jelata agar negeri ini tidak dikuasai oleh para perampok negeri dan para elit yang licik serta para pengadu domba.
Woi... kalian yang sedang berkompetisi menjadi pemimpin negeri. Kenapa kalian tebar hoax?, membuat narasi-narasi penuh fitnah dan kebencian?. Itu sama halnya kalian merendahkan kami sebagai wong cilik atau rakyat jelata sebagai objek yang mudah dibohongi, diprovokasi dan suka mencaci maki. Stop !. Kami tidak serendah itu. Jika ingin berantem, berdebat kusir dan saling sindir, please... jangan ajak kami. Hidup kami sudah susah, biarkan kami mencari sesuap nasi dengan tenang.
Cukup... cukup... cukup... mengompori kami, menjejali kami dengan hoax yang datang secara bertubi-tubi, narasi penuh fitnah dan kebencian yang terus diulang-ulang berkali-kali. Berikan ruang pada kami untuk bertanya kepada nurani, siapa yang pantas kami pilih nanti?, agar yang jadi pemimpin negeri ini nanti benar-benar berdasarkan pilihan nurani, bukan sebab topeng manipulasi hasil hoax, fitnah, caci maki yang diliputi hati penuh benci. Apalagi, karena fanatisme buta.
Muara Bungo, 16 Januari 2019
0 Comments
Post a Comment