Sumb Photo : unsplash.com


Dan, ah... aku terlalu khawatir pada dirimu. Aku takut terjadi apa-apa. Aku ingin marah, semarah-marahnya. Tapi, ku tahan... ku reda... ku redam...

Terkadang aku juga berkehendak memberitahukan semua apa yang engkau perbuat. Namun, terpaksa ku simpan... ku tekan... ku bungkam...

Ku tunggu tepatnya waktu. Ungkapan semua itu. Tapi, bila telah tiba waktu itu. Lidahku kelu. Bisu. Beku. Diam membatu dan terpaku.

Ku sempat-sempatkan kesempatan. Mengatakan. Membuka yang tersimpan. Melepas yang tertahan. Ah sayang... saat telah datang kesempatan. Aku tak punya kesanggupan. Keberanian. Kekuatan. Kemampuan.


Adinda... ku biarkan dirimu menemu jati diri. Ku biarkan engkau jatuh, agar engkau tahu cara berdiri lagi. Sengaja aku tak mencegah dirimu berlari. Berlarilah... sejauh yang engkau mau. Sampai engkau akan berhenti sendiri berlari. Lalu, kembali.

Adinda... ku biarkan engkau mengenal cinta, agar engkau tahu rasa sakit dikhianati dan dibenci. Aku tak mencegah dirimu mencintai. Cintailah... apa dan siapa yang engkau cintai. Sampai engkau akan berhenti sendiri mencintai. Lalu, engkau baru bisa memahami...

Adindaku... belajar dan pahami semua yang terjadi. Renungi kembali, apa yang telah engkau jalani. Tulislah ceritamu sendiri dengan caramu sendiri. 

Wahai adinda... ku biarkan engkau... karena ku yakin sejauh apa pun engkau berlari, pasti kembali.

Bungo, 16 September 2015