“Saya kira ke depan kita juga harus tambah tanam kelapa sawit, tidak usah takut katanya membahayakan (karena menyebabkan) deforestasi. Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Ya dia menyerap karbon dioksida, darimana kita dituduh, yang mboten-mboten aja orang-orang itu,” ungkap Prabowo dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, di Jakarta, Senin (30/12/2024).
![]() |
| Sumb photo : geosurveypersada.com |
Masih ingat pidato dari pemimpin negeri ini?, sehingga wajar saja jika diawal kepemimpinannya data deforestasi menunjukkan peningkatan dari 145.439 Ha ditahun 2023 menjadi 216.216 Ha pada tahun 2024, meski ditahun 2025 turun menjadi 166.450 Ha berdasarkan dari katadata.co.id.
Angkanya memang menurun pada tahun 2025, namun itu bukan sebuah prestasi, sebab pemerintah masih gagal mencegah deforestasi. Korporasi-korporasi besar sepertinya masih leluasa melakukan ekspansi membabat hutan, menambah luas kebun sawit, maupun merusak alam untuk mengeruk hasil tambang mereka. Apalagi, mereka seolah mendapat lampu hijau dari pemimpin negeri ini.
Pernyataan pemimpin negeri ini seolah menjadi legistimasi bagi orang-orang tamak yang mementingkan keuntungan korporasinya sendiri. Bukan, hanya ditingkat korporasi, diakar rumput pun bergejolak, seperti kasus wilayah konservasi gajah di Tesso Nilo, rumah bagi gajah Sumatera. Banyak warga masyarakat yang protes bahkan berlaku anarkis melawan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), padahal mereka jelas-jelas menduduki wilayah hutan. Mereka merasa berhak atas tanah itu, mereka sudah tinggal lama disana, bahkan sudah ada yang bersertifikat.
Tentu, ini bukan kesalahan warga yang menduduki wilayah hutan semata, namun salah negara yang tidak tegas dari awal dan terkesan membiarkan. Bahkan, sampai dibuatkan sertifikat tanah adalah bentuk ketidakbecusan pemerintah. Wajar saja jika sekarang warga mengamuk diusir dari tempat yang sudah bertahun-tahun didiami. Mereka juga menolak relokasi.
Sikap warga yang melawan sesungguhnya tidak bisa dibenarkan. Karena, jika hutan rusak dan terjadi bencana yang dirugikan masyarakat sendiri, seperti yang sekarang terjadi di Aceh, Sumatera Utara maupun Sumatera Barat. Ini bukan bencana alam, tapi bencana ekologis -lebih tepatnya. Negara sendiri yang mempersilahkan korporasi-korporasi melakukan deforestasi mengantikannya dengan sawit dan mengeruk semua isinya. Negara sendiri yang melakukan pembiaran pembalakan liar, pengundulan hutan, dan bahkan tutup mata saat wilayah konservasi perlahan-lahan di jamah dan eksploitasi.
Saat bencana ekologis terjadi, semua sibuk cuci tangan. Sibuk saling menyalahkan. Datang bak pahlawan kesiangan, padahal mereka sendiri yang membuat kebijakan. Mereka sendiri yang menikmati hasil deforestasi hutan.
Baca Juga :
Tentu, ini bukan hanya kesalahan pemerintah Prabowo saja, namun bencana ekologis yang terjadi di Sumatera adalah akumulasi kebijakan dari pemerintah sebelumnya juga. Hutan dari tahun ke tahun areanya semakin menipis, sehingga saat cuaca ekstrim datang, kita tak siap menerima konsekuensinya. Hutan tak lagi bisa membantu meminimalisir bencana yang terjadi.
Sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh Muhaimin Iskandar, kita harus taubat ekologis. Tidak hanya pemerintahnya, tidak hanya korporasinya saja, tapi warga masyarakat juga ikut taubat ekologis, dengan taubatan nasuha, tidak merasa benar seperti halnya warga yang berkonflik dengan Taman Tesso Nilo, jelas-jelas mereka salah merambah area hutan sampai mencapai luas 81.793 Ha.
Menjaga alam, menjaga hutan adalah tugas bersama. Pemerintah jangan asal lagi membuat kebijakan yang serampangan hanya melihat angka-angka, korporasi-korporasi juga jangan hanya mencari cuan semata, dan warga masyarakat tidak hanya karena kepentingan semata merambah hutan seenaknya. Banyak yang bisa di lakukan untuk menjaga alam mulai dari hal kecil, misal pemerintah mendidik masyarakat untuk menanam pohon, atau tidak buang sampah sembarangan, apalagi disungai, supaya kedepan kita tidak lagi mendengar adanya bencana ekologis kembali terjadi.
Yang terjadi, jangan biarkan berlalu. Yang terjadi, jangan biarkan terus terjadi. Bencana ekologis ini, menjadi pengingat sekaligus pemantik, dan juga pembelajaran berharga untuk tidak berbuat semena-mena kepada alam. Karena, amukan alam lebih dahsyat dari apa yang kita perkirakan.
Hutan yang gundul harus segera di reboisasi, masyarakat yang menjamah hutan, harus sadar relokasi dari kawasan hutan merupakan kebaikan untuk diri sendiri, untuk kepentingan masyarakat lebih luas, untuk kepentingan keragaman flora dan faunanya juga. Saat kita masih ngotot terus melakukan deforestasi dan suatu saat jika bencana ekologis terjadi, yang tersisa hanya puing-puing penyelasan.
Belajar lah.... pada Mbah Sadiman, wahai pemangku kepentingan, wahai kalian pemegang kekuasaan. Belajar lah pada Mbah Sadiman, kalian warga masyarakat yang sibuk mempertahankan tanah hutan. Pemerintah sudah memberi kalian jalan tengah untuk direlokasi, bukan digusur habis tanpa kompensasi.
Semoga kita semua bisa menjadi Mbah Sadiman, Mbah Sadiman berikutnya. Kita semestinya malu pada Mbah Sadiman, dan sudah sepatutnya untuk Taubat Ekologis bersama ajaran Mbah Sadiman yang bukan hanya menjaga dan merawat alam, namun mengembalikan hutan yang gersang menjadi hijau kembali.
Bungo, 09 Desember 2025

0 Comments
Post a Comment