Ku tinggalkan sejenak menulis cerpen. Ku mulai menulis tulisan yang anda baca ini. Kegelisahan hatiku menyeruak secara tiba-tiba. Tulisan ini tidak akan membahas tentang kehancuran tanah jawa yang jauh hari telah ditulis oleh Jayabaya, atau mengungkapan ramalannya Mama Laurent tentang hari kiamat. Saya juga tak punya kapabilitas untuk menguraikan tulisan indah Mbah Nun yang berjudul Lomba Ajal di Gerbang Perubahan. Karena, saya tahu diri, betapa awamnya diri ini..

Sekali lagi, ini hanya tentang kegelisahan hati dari orang yang hidup dikelilingi hutan sawit dan pohon karet ditanah Jambi, Muara Bungo. Hati yang begitu gelisah yang muncul dari kekhawatiran akan kehancuran sebuah negeri. Boleh dibilang itu terlalu lebay, kekhawatiran yang berlebihan dan tidak mendasar. Tapi, inilah wujud cinta seorang rakyat kepada negara dan bangsanya. Cinta yang tumbuh dari bawah atap seng, dibalik dinding-dinding kayu yang dikelilingi rimbunnya pohon sawit dan karet.

Kekhawatiranku bukan pada bocah angon yang sedang menek blimbing meskipun lunyu-lunyu. Tapi, kerja kerasnya bocah angon itu patut diberikan apresiasi, terlepas bagaimana cara meneknya yang pasti ia berusaha untuk memetik blimbing yang diinginkan rakyatnya, yang dahulu tidak pernah merasakan memakan blimbing tersebut. Menek blimbing meskipun sudah tahu lunyu, itu harus tetap dilakukan.

Ah.. pro kontra itu sebenarnya biasa, namun apa jadinya jika disisi lain bocah angon terus berusaha menek blimbing, akan tetapi disisi lain ada para gundul yang mulai gembelengan berusaha mengganggu sang bocah angon tersebut. Tentu, usaha meneknya bocah angon tersebut sangatlah rentan di lorot karena kondisinya memang sudah lunyu. Sehingga, usaha untuk mendapatkan blimbing itu gagal.

Para gundul dengan segala cara mempolitisir apa pun agar usaha me-lorot bocah angon tercapai. Para gundul benar-benar gelap mata dan terus saja gembelengan, apa yang dilakukan mereka seolah harus di legistimasi sebagai kebenaran dan sang bocah angon dicitrakan penuh kepalsuan, kebohongan dan sumber atas seabrek kesalahan. Mereka entah sadar atau tidak, cara tersebut kini memunculkan percikan-percikan kebencian dalam dada sebagian dari kita. Atau apakah mereka sengaja memasukkan muatan-muatan kebencian dalam dada. Jika para gundul tetap gembelengan dan justru membakar terus penuh kebencian, maka bukan hanya tidak mendapatkan blimbing semata. Sikap para gundul itu juga akan berimplikasi pada wakul guling segone dadi sak ratan.

Ups... jangan berprasangka saya sedang mendukung bocah angon atau benci kepada para gundul. Jujur jiwa, pikiran dan hati saya justru terombang-ambing. Kadang ke kanan, kadang ke kiri. Saya ini hanyalah buih yang tertiup angin ke sana sini. Saya hanya menyimak, melihat dan mendengarkan berita-berita, status-status yang berseliweran baik didunia nyata maupun maya. Yang pasti bukan hanya tentang kabar bocah angon vs para gundul yang gembelengan saja, yang setelah ku baca malah membuatku resah, khawatir dan gundah.

Ada hal yang membuatku lebih khawatir lagi daripada soal bocah angon dan para gundul, yaitu sebagian dari kita ada rasa ragu dalam berbangsa dan bernegara. Ada kebenciaan yang amat dalam dan juga ada cinta yang begitu buta. Jiwa kita merdeka, namun tersekat-sekat. Logika kita merdeka, akan tetapi kenyataannya logika justru terjajah oleh ideologi-ideologi yang terus mendiskritkan ideologi bangsa kita sendiri. Bicara kita merdeka, bebas berpendapat, boleh ngomong apa saja, tapi justru semakin banyak caci maki. Pada saudara sendiri saja sudah tak lagi ada rasa percaya dan saling curiga.

Bertengkar, saling cakar, saling jatuh menjatuhkan, saling membuka aib, hanya gara-gara ada satu hal yang kita tak sependapat dengan saudara sendiri. Entah? apakah karena cinta buta, atau sebab kebencian, yang pasti cinta buta kepada satu hal bisa melahirkan kebencian. Kebencian ada pun sebaba adanya cinta buta. Pertengkaran itu terus terjadi dari hari ke hari, seolah titik damai hanyalah mimpi. Lantas, bagaimana caranya menciptakan perdamaian dunia?.

Diantara jiwa yang tersekat, pikiran yang terjajah, hati yang terkotak-kotakan, sampai hari ini belum ada penengah. Orang yang bersedia berdiri ditengah-tengah sama sekali tidak ada. Sebagian dari kita memuji apa yang pas menurut selera kita, sambil mencaci maki yang tidak sependapat. Klaim kebenaran menjadi hak milik masing-masing kelompok yang dijadikan sebagai alasan kuat untuk saling bertengkar. 

Bila, ini terus terjadi dari hari ke hari, maka akan menjadi bola salju yang semakin membesar. Kehancuran bangsa pun tinggal nunggu waktu. Tidak perlu kita menggunakan ramalan, tapi cukup dengan membaca, mendengar dan menyimak keadaan yang menjadi sebuah indikator kehancurannya.



Butuh penegah yang bersedia hadir diantara kita. Sadar tidak sadar kita sendiri sama-sama gembelengannya, merasa wakul yang kita sunggi tersebut adalah mutlak kebenaran. Boleh kita mencintai sesuatu, tapi jangan jadikan alasan mencintai itu untuk membenci. Sebaliknya, jangan sampai kita membenci suatu hal, karena alasan mencintai sesuatu hal. Kita sungguh butuh seorang penegah yang tegap berdiri, tidak gembelengan yang mempertemukan titik temu antara satu dengan yang lainnya.

Bila tidak ada sosok penegah, jangan tanya apakah api akan segera padam. Api kecil itu malah akan semakin membesar, merembet kemana-mana tertiup oleh angin. Atau diri kita sendiri yang memadamkannya. Sayang beribu sayang kita sendiri justru menambah kobaran api tersebut semakin membesar. Adakah ini yang kita inginkan?. Gara-gara kita tidak sependapat dalam pandangan, lalu kita bertengkar dan membakar rumah kita sendiri.

Baca juga :


Sungguh dalam diri kita ada cinta buta dan kebencian yang membara yang bercampur aduk menjadi sebuah kebenaran mutlak yang tidak bisa dibantah, sehingga titik temu, kata sepakat sangat jauh. Bahkan, saking merasa benarnya diri kita, saudara sendiri saja dianggap musuh bebuyutan. Kita sama-sama gembelengan mengklaim diri masing-masing paling tahu, paling mengerti dan paling suci. Akankah kebencian dan permusuhan ini kita biarkan?.
                               
Ironis, jika kita yang dianugerahi kemerdekaan sebagai bangsa dan negara justru terpecah belah, saling sikut, saling pukul, saling gebuk, saling tendang dan saling rebut serpihan-serpihan yang dianggap sebuah kebenaran. Kita dibuat saling benci dan memusuhi sesama saudara sendiri. Padahal, ujung-ujungnya dari semua itu tidak lain hanyalah kuasa. Mereka yang begitu bernafsu akan kuasa begitu tega menggunakan cara-cara yang mempertaruhkan keutuhan dan persatuan bangsa.

Kebencian, pertengkaran dan saling curiga terhadap saudara itu menyeret negeri ini ketepian jurang kehancuran. Tiga setengah abad negeri dan bangsa kita dijajah. Sedangkan, kemerdekaan yang kita rasakan belum genap dan belum sampai seabad, namun kita sudah saling bertikai. Tidakkah?, ada kata sepakat diantara kita semua bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sebagai ideologi itu harga mati, serta sudah final. Akankah kita terus menerus gembelengan?, sehingga kemerdekaan yang kita rasa hanya seumur jagung, bilamana itu terjadi, itu ironi, karena kita lebih lama dijajahnya daripada menikmati merdekanya.

Negeri kita sekarang berada di zaman lunyu-lunyu terpeleset atau tidaknya tergantung dari kita semua. Apakah kita mensyukuri rahmat Tuhan Yang Maha Esa atas kemerdekaan?. Selain itu, apakah bocah angonnya mampu menek blimbing?, yaitu meredam dan memadamkan api kebencian dan permusuhan yang sudah terlanjur membara dan berupaya mengikis kesenjangan. Ataukah?, kita dan para gundul tetap saja gembelengan?. Tak peduli keutuhan dan persatuan.

Tulisan ini hanya berusaha merekam, mengamati dan menyimak situasi dari hari ke hari yang terus memanas dan semakin tumbuhnya rasa benci terhadap saudara sendiri. Serta, semakin terkikisnya nasionalisme, tergerusnya kepercayaan diri sebagai bangsa yang besar, bangsa yang merdeka dan bangsa yang berdaulat. Sekali lagi, tulisan ini bukanlah sebuah ramalan, tapi hanya membaca indikasi-indikasi yang bisa menimbulkan kehancuran, jika indikasi tersebut tidak segera diredam dan dibiarkan akan menjadi bom waktu yang siap meledak.

Bung Karno pernah berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Maka, sesulit apa pun, se-lunyu apa pun jalan yang harus dilalui, kita harus menjaga keutuhan dan persatuan bangsa ini. Sehingga, esok ataupun lusa kita tidak perlu bercerita kepada anak cucu tentang akhir sebuah bangsa.

Bungo, 30 Juli 2017