Sumber photo : unsplash.com


"Is.... terus, terus saja berisik setiap hari. Kapan sih bisa damai hidup di negeri ini. Tingkah laku konyol para pejabat publik terus dipertontonkan setiap hari", geram rasanya Sudrun membaca berita yang lewat di beranda instagramnya.

" Namanya juga negeri demokrasi ya wajar aja, bising setiap hari. Kecuali, negeri ini berubah menjadi negara kerajaan yang bersifat monarki absolut. Tentu kita enggak perlu dengar ribut-ribut lagi tenteng kelakuan para pejabat dan rakyatnya", dengan santainya sambil memakan singkong rebus, Bejo menyahut perkataan Sudrun.

"Bener juga katamu, tapi kenapa para pendahulu kita lebih memilih bentuk negara republik daripada kerajaan?", mendongak keatas Sudrun seolah mencari jawabannya.

" Yaa... karena rakyatnya seperti kamu, susah diatur, ngeyelan, lebih parah lagi kita ini gampang diadu domba. Mau kembali masa kelam, dimana antar kerajaan saling serang?", masih saja Bejo menjawab sembari melahap nikmatnya singkong rebus.

"Jawabnya yang serius dong, aku meskipun cuma lulusan SD ingin tahu jawaban yang benarnya", memasang muka kesal Sudrun berkata.

Bejo tak bergeming, dia tetap saja menikmati singkong rebusnya dan meneguk teh hangatnya. Sudrun masih saja ngomel makin tidak karuan.

" Coba saja negeri ini bentuknya kerajaan, pasti enggak ada tuh tiap hari berita gaduh. Enggak ada lagi tuh berisik-berisik. Enggak ada lagi yang berani protes-protes, semua pasti ngikuti sabda pandita ratu", ucap Sudrun membayangkan kehidupan yang sejahtera, damai dan makmur.

"Uhuk.... uhuk... ", Bejo tersedak mendengar ucapan Sudrun.

" Emang kenapa?", tanya Sudrun penuh keheranan.



"Bukannya damai, mungkin malah kita saling serang, saling berperang antar kerajaan, atau... mungkin tanah kita ini bisa jadi dimiliki lagi oleh para penjajah. Makanya, bentuk terbaik negari ini yaa... negara kesatuan. Hanya dengan kesatuan tekad untuk hidup bersama dalam bingkai negara yang merdeka inilah yang akhirnya kita mampu memberi perlawanan sengit saat agresi militer Belanda. Jika, tidak... jika... tanpa persatuan... sudah dipastikan ibu pertiwi direbut oleh Belanda ", Bejo tampaknya serius sekali memberikan pencerahan kepada Sudrun. 

" Bentuk negara kesatuan dan sistem demokrasi adalah jalan terbaik untuk bangsa ini. Mengingat bangsa ini dihuni beragam suku, beragam bahasa dan beragam budaya, dengan begitu tidak ada yang paling unggul dan semua punya kesempatan yang sama bisa menjadi pemimpin negeri ini. Jadi, lewat negara kesatuan dan demokrasi, bangsa ini menjadi milik bersama, jadi milik semua warganya yang beraneka ragam, bukan hanya milik satu keluarga saja seperti sistem kerajaan, yang kekuasaannya diberikan turun menurun", sangat semangat sekali Bejo menjelaskan dan Sudrun terlihat manggut-manggut saja mendengarkannya sambil bersandar dibawah pohon jengkol malam itu.

"Aku setuju saja dengan pendapatmu, tapiii... aku enggak suka berisiknya, gaduhnya, ributnya, pokoknya demokrasi itu bising sekali, beda dengan sistem kerajaan yang lebih damai, enggak ada tuh saling rebutan kekuasaan hingga rakyatnya terbelah"

"Itu menurutmu... memangnya kamu pernah hidup di zaman kerajaan? ", Bejo kini agak jengkel, tidak biasanya Sudrun membantah.

" Tuh... Brunai Darussalam, negaranya damai, rakyatnya makmur dan sejahtera. Coba pikir saja, sistem kerajaan tidak perlu ada pemilihan presiden dan wakil presiden, apalagi pemilihan legislatif yang membutuhkan biaya yang sangat besar sekali, jadi biaya itu bisa dihemat dan dialihkan untuk kemakmuran rakyat. Ini kita demokrasi, sudah kita yang milih, mereka juga yang tidak mendengar suara kita, kan jadinya percuma, keluar biaya sangat besar untuk pemilihan, mereka yang terpilih malah korupsi pula, ruginya berlipat-lipat kita sebagai bangsa dan negara kita ini", gerutu Sudrun.

"Memang benar, tapi untuk situasi di Indonesia sangat tidak mungkin diterapkan, melihat kondisi geografis sekaligus masyarakatnya yang beraneka ragam. Makanya, kita harus berisik jadi rakyat. Demokrasi itu wajib berisik, bising, kalau diam-diam dan adem ayem saja kita sebagai rakyat keenakan mereka yang diatas, makin seenak udelnya, setiap melihat kesewenang-wenangan, yaa... kita wajib teriak. Pro dan kontra dalam demokrasi memang sebuah keharusan. Beda memang jika bentuk kerajaan apalagi monarki absolut, tidak ada ruang untuk berbeda pandangan. Memang lho mau dan siap kebebasan berpendapat dihilangkan?"

"Enggak mau juga, tapiii.... kapan kita bisa damai hidup dinegeri ini?, tiap hari ada aja gaduhnya, ada aja berisiknya, mulai dari kenaikan tunjangan pejabat, soal ijazah, soal KUHP yang disahkan secara sembunyi-sembunyi, soal keracunan MBG yang disalahkan malah petaninya, soal undang-undang perampasan aset yang macet tidak masuk prolegnas, soal ketimpangan pembagunan infrastruktur maupun sumberdaya manusia antar daerah, ahhhh.... pecah rasanya kepala ini setiap nonton berita", Sudrun sampai garuk-garuk kepala seolah otaknya sudah overload.

"Memang seperti itu negara demokrasi, resikonya berisik dan bising, semua orang boleh berbicara menyampaikan pendapat. Semua orang boleh mengkritik. Meski, kadang ada juga yang kebablasan menyampaikan pendapat atau kritiknya. Yaa... inilah resiko demokrasi. Bukan kamu aja yang muak Drun... Aku sebenarnya juga sama muaknya", kata Bejo sambil menghela nafas panjang.

"Jadi, kamu setuju dengan sistem kerajaan?", tanya Sudrun dengan penuh penasaran. Tapi, yang ditanya hanya sibuk mengunyah singkong rebusnya sembari memandangi bulan sabit. Mungkin Bejo juga sudah muak dengar pertanyaan Sudrun, pertanyaan mengenai hidupnya sendiri saja masih belum mendapatkan jawaban. 

Jawaban yang pasti dari seluruh pertanyaan Sudrun maupun pertanyaan Bejo mungkin ada dalam lagu Hindia, Besok Mungkin Kita Sampai:  menjadi negara demokrasi yang memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya, sehingga tak ada lagi pertanyaan "besok makan apa kita".

Bungo, 24 November 2025