"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan nemen-nemen. Bisa lepas kepalamu itu...", kata si Mbah memecah lamunanku. Aku yang dari tadi duduk termenung sendiri, segera menoleh dan melihat wajah si Mbah tersenyum.

"Mbok ya... jangan anggap enteng persoalan hidupku ini to Mbah", ucapku mencoba menjelaskan.

"Lho?, siapa to yang menggangap enteng atau beratnya beban persoalan seseorang itu?. Itu kan tergantung orangnya sendiri", sambil tertawa lebar si Mbah mengakhiri ucapannya.

"Iya, tergantung orangnya. Termasuk saya yang menganggap berat persoalan hidupku ini. Maka, Mbah tidak usah tertawa saja, tapi tolong dibantu meringankan", jawabku pada si Mbah.

"Diseruput dulu.. kopinya", tutur si Mbah sambil menyodorkan segelas kopi. Aku pun langsung menyeruputnya segera. Belum selesai menyeruput kopi si Mbah langsung tanya, "Gimana kopinya?".
Ku selesaikan menyeruput kopi dan dengan perlahan meletakkan gelas diatas meja, lalu ku jawab, "Mantab... Mbah kopinya".

"Mesti mantab to kopi buatan si Mbah. Wong gulanya pas dan kopinya juga pas sesuai takarannya. Tidak terlalu kurang dan tidak terlalu lebih. Nah, sama seperti kita manusia ini. Tubuh kita adalah wadah, layaknya gelas. Kalau kita ingin merasakan nikmatnya hidup seharusnya tidak usah terlalu dalam menanggapi persoalan. Tidak terlalu dimasukkan pikiran, mundak ngelu. Tidak terlalu dimasukkan hati, supaya tidak mudah galau", si Mbah mulai ceramah pikirku.

Aku pun gelisah dan mengungkapkan isi hati, "Persoalannya ini sudah terlalu masuk dihati. Aku terlalu mencintai dirinya. Dirinya pun menyakini hal yang sama, yaitu terlalu mencintaiku. Bagaimana aku tidak menganggap persoalan ini berat?. Orang tuanya menjodohkan dirinya dengan pria yang lain. Coba kalau si Mbah diposisiku, bagaimana?", ku berikan penjelasan apa yang sedang terjadi pada si Mbah.

Diam si Mbah sejenak, lantas menyeruput kopi sebelum menjawab,"Kalau, aku jadi kamu, ya... aku akan menyakinkan dia. Bahwa, itu surganya. Karena, surganya ada dibawah telapak kaki ibunya".

Aku tersentak, "Maksud Mbah, aku harus merelakannya dinikahkan sama orang lain?".
"Ya... iya. Terus maunya kamu kawin lari?", si Mbah balik bertanya padaku.

"Tapi, ini bukan zaman Siti Nurbaya. Dia juga tidak mencintainya. Itu pasti membuatnya tidak bahagia", sanggahku.

"Bukannya cinta itu jalaran songko kulino. Dan kamu koq sudah bisa menebak dia nanti tidak bahagia?", si Mbah malah bertanya lagi.

"Ya... bisa", suaraku keras menjawab. "Karena, dia lebih mencintaiku", tegasku pada si Mbah.

"Apa hanya karena cinta itu bisa menjamin bahagia?. Kalau, nantinya justru dia lebih bahagia dengan pilihan orang tuanya?. Dan jika ternyata denganmu malah sengsara, bagaimana?", pertanyaan si Mbah semakin banyak saja, seperti tetesan air hujan yang turun.

"Kenapa? Si Mbah bilang denganku malah membuatnya sengsara, tidak bahagia?", aku tidak menerima apa yang dikatakan si Mbah.

"Karena, kamu tidak mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Restu itu adalah wujud ridho kedua orang tuanya. Bukankah, pernikahan itu tidak hanya menyatukan kalian berdua, namun menyatukan kedua belah pihak keluarga. Antara keluargamu dan keluarganya", jawab si Mbah dengan lugas, tak kalah tegas.

"Jadi, aku harus bagaimana?. Harus merelakan dirinya?, ku coba menarik kesimpulan.

"Lepaskan, dan relakan. Yakinkan pada dirinya untuk mengambil surganya. Untuk tetap berbakti pada orang tuanya", jelas si Mbah padaku.
"Lha, nanti aku dengan siapa?", tanyaku membayangkan sepi.

Si Mbah menepuk pundak ku, "Insyaallah, padamu Allah akan mengirimkan bidadari surga yang jauh lebih indah".

Selepas bertutur itu, si Mbah langsung saja pergi tanpa permisi, meninggalkan diriku sendiri lagi. Dan meskipun aku sudah diceramahi panjang lebar dihati semakin bertanya-tanya. Bertanya bukan tentang si dia lagi, tapi tentang siapa bidadari itu nanti?.