Tugu Bunga Raflesia yang terletak diperempatan jalan pasar bawah Muara Bungo (doc.mrsd)



Setelah lelahku pulih menempuh perjalanan dari Jawa ke Muara Bungo, aku segera menyiapkan surat lamaran kerja. Aku menulisnya cukup banyak, karena niatku merantau selain ikut orang tua, aku juga harus mencari kerja. Hitung-hitung tidak lagi merepoti orang tua, syukur-syukur bisa membantu keperluan dapur.

Saat pagi mulai merekah, aku bergegas berbenah. Memasukkan surat lamaran ke dalam amplop-amplop coklat. Aku menyiapkan beberapa berkas lamaran sebelum berangkat. Meskipun, aku sendiri tak punya bekal informasi lowongan kerja, kenalan satu pun tak ada jua. Banyak yang bilang "kalau tidak punya kenalan orang dalam, jangan harap dapat kerja". Ada juga yang berkomentar "cari kerja itu gampang, asal ada uang". "Mbuyak... ", gumamku dalam hati. Memang modalku cuma niat dan tekad bulat. Iku thok !. Apa hanya sebab itu aku lantas menyerah?.

Sebagai orang baru dan masih ingusan, tidak mungkin aku melawan setiap komentar tetangga orang tuaku yang terus menyudutkan. Saat itu aku memang hanya punya dua pilihan, mau cari pekerjaan atau jadi pengangguran. Cari pekerjaan, pasti selalu dijadikan bahan tertawaan, jadi pengangguran pasti juga dapat perkataan yang tak mengenakkan. Ah... untung saja Bapakku bisa memberiku motivasi yang tinggi melebihi motivator yang super itu. Sehingga, aku tak lagi mengeluh. "Apapun yang kau lakukan, akan selalu mendapatkan kritikan. Tapi, jangan dihiraukan. Berusahalah semampumu, Gusti Allah mboten sare le... Ia Maha Tahu. Mana mungkin Ia mengabaikan do'a dan ikhtiarmu, jika engkau memang benar-benar bersungguh-sungguh", kata Bapakku menasehati.

Semangatku sudah menyala-nyala, aku harus berusaha. Setelah segala sesuatu yang melemahkan berhasil ku singkirkan, ku mulailah sebuah perjalanan. Perjalanan baru dalam hidupku, dari anak nakal yang selalu merengek minta uang jajan, berproses mencari dan mengais sendiri pundi-pundi recehan.

Dari sini aku mulai menyusuri jalan-jalan di Muara Bungo demi mendapatkan sebuah pekerjaan. Aku harus berjalan pelan-pelan. Mengamati tulisan-tulisan spanduk didepan ruko yang berjajar rapi di kiri kanan jalan. Disini memang belum ada gedung-gedung pencakar langit, bahkan perkantoran ataupun bank-bank masih memakai ruko-ruko. Dari situ siapa tahu ada lowongan?. Tak mudah memang mencari pekerjaan, tanpa kenalan. Terkadang aku tidak menemukan sama sekali spanduk yang menginformasikan lowongan pekerjaan, meskipun sudah mutar-mutar seharian. Aku terpaksa sebelum pulang harus membeli koran dengan harapan ada kolom lowongan pekerjaan.

Baca juga :



Dua bulan berlalu, aku tak kunjung jua menemu lowongan pekerjaan. Entah sudah berapa surat lamaran yang ku buat, akan tetapi pekerjaan belum juga ku dapat. Berbagai macam cara ku coba, namun masih sia-sia. Baik surat lamaran yang ku antar langsung atau ku kirim lewat kantor pos, semuanya nihil. Ada panggilan untuk interview, sehabis itu aku tak tahu, diterima atau ditolaknya tak diberitahu. Putus asa, wajar aku sebagai manusia. Pikirku sudah tak perlu pekerjaan dikantoran, apa pun itu asal halal akan ku kerjakan. Tak peduli jadi penjaga toko, bahkan kuli bangunan. Karena, itu adalah kemuliaan daripada terus berpangku tangan.

Bulan ketiga?, aku sudah mulai berhenti menulis surat lamaran. Aku berhenti mencari pekerjaan. Bukan, karena aku menyerah, tapi aku sudah pasrah, lillah. Nenekku yang di Jawa mendapati kabar aku belum juga mendapatkan pekerjaan, lantas memintaku segera pulang, balik ke Jawa. Ibuku dan Bapakku pun diam-diam merencanakan memulangkan aku ke Jawa, tanah dimana aku dilahirkan.

Adakah aku bersedih akan hal itu?. Jujur perasaanku campur aduk antara sedih dan bahagia. Jerih payahku selama tiga bulan tidak menuai hasil sama sekali. Itulah yang membuatku sedih. Yang sedih lagi selama ini bukannya membantu orang tua, namun malah membebaninya. Belum bisa aku membuat mereka tersenyum. Melihat anaknya bisa mandiri. Bahagiaku, tentu aku bisa pulang ke Jawa, bertemu dengan nenek yang mengasuhku sejak kecil. Tapi, tetap saja kesedihan mendominasi hatiku, karena jika aku pulang  ke Jawa harus berpisah lagi dengan orang tua. Dimana sejak kecilku dulu merindu hidup bersama mereka. Aku yang merindu seperti anak-anak lainnya, yang bisa memanggil, Ayah.... Ibu.... Bergelanyut manja pada mereka. Hal yang langka dan tak bisa ku lakukan sejak kelas satu SD, sehingga wisuda.

Ah..... daripada aku terus bersedih, lebih baik aku jalan-jalan menikmati Muara Bungo yang beberapa hari lagi akan ku tinggalkan. Mumpung masih disini, aku ingin tahu tentang Muara Bungo. Ya... supaya nanti aku bisa bercerita sesampainya di Jawa. Hal yang membuat rasa penasaranku sangat besar adalah tugu bunga raflesia yang terletak dibeberapa titik diperempatan jalan Muara Bungo. Sesuatu yang iconik dan menarik. Disamping itu, aku ingin tahu mengapa harus bunga raflesia yang dipilih sebagai icon atau tugu di Muara Bungo. Kalau, di Kabupaten lainnya kan menggunakan sosok patung Arjuna Wiwaha, tokoh-tokoh pahlawan nasional atau sebuah tugu yang sudah lazim dikenal oleh orang banyak.

Aku pun segera bergegas menaiki motor menuju titik keramaian di Muara Bungo. Aku ingin tahu dan mencari informasi alasan mengapa harus bunga raflesia?, apa historisnya?, atau nilai sejarahnya?.

Rasa penasaranku, terbayar setelah mendapatkan informasi tentang historis penamaan Muara Bungo. Alkisah, nama Muara Bungo merupakan pemberian Sri Sultan Mangkubumi. Pada saat itu beliau melintasi dan melihat sungai yang dipinggir kanan dan kirinya tumbuh bunga-bunga raflesia nan elok. Karena, sungai tersebut  belum punya nama, maka oleh beliau diberi nama Batang Bungo. Dari sungai Batang Bungo inilah nama Muara Bungo (Muara Bunga) diadopsi. Wajar saja disetiap perempatan, bahkan ditaman kotanya kita temui tugu bunga raflesia. Selain, diambil dari sisi historisnya, tentu nama Muara Bungo dengan simbol bunga raflesia itu punya nilai filosofis tersendiri bagi masyarakatnya.

Hari-hari terakhirku semakin indah saja. Menyusuri sudut-sudut kota, ku temukan banyak cerita. Aku semakin betah dan jatuh cinta, tuk tinggal di Muara Bungo berlama-lama. Semakin ku telisik, semakin menarik. Tapi, apa daya... aku tak bisa... aku tak berdaya... Aku tak punya satu alasan untuk tinggal lebih lama. Aku hanya seorang perantau yang mencari kerja, jika tinggal lebih lama akan menyusahkan kedua orangtua. Hari kepulanganku ke pulau Jawa semakin tampak didepan mata, sedang surat lamaran yang telah ku kirim belum jua menampakkan tanda-tanda. Menitih asa, memang tak semudah yang kita kira.

Bungo, 02 Juni 2017