Adalah dua hal berbeda antara sandal jepit dan sepatu kulit, meskipun keduanya sama-sama disebut alas kaki. Kedua alas kaki ini menjadi dua hal yang berbeda manakala menjadi simbol-simbol strata sosial masyarakat. Sandal jepit identik dengan orang-orang desa, orang-orang terpinggir, tak terpelajar atau lebih umumnya yaitu masyarakat digaris paling bawah. Sedangkan, sepatu kulit tidak hanya berfungsi sebagai alas kaki semata, ia bukan hanya dipakai untuk perlengkapan kerja saja, namun ia berubah menjadi sebuah gaya hidup, menunjukkan status sosial masyarakat kelas menengah sampai atas yang tentu terdidik dan terpelajar atau bisa kita lihat sendiri diseluruh kota-kota.
Demikian juga Bejo yang bekerjanya sebagai tukang jahit sepatu keliling menyusuri jalan-jalan, gang-gang dan lorong-lorong kota dengan sandal jepit yang selalu menemani disetiap langkah kakinya. Sandal jepit itu sudah entah berapa lama ia pakai, karena terlihat menipis dan mulai berlubang dibagian tumitnya. Dipundaknya terselempang tali yang membawa kotak kayu isi peralatan untuk menjahit sepatu. Rumah ke rumah Bejo menawarkan jasanya, namun ternyata sekarang ini orang-orang lebih suka membeli sepatu baru ketimbang memperbaiki sepatu lamanya, sehingga terkadang seharian ia keliling tak mendapatkan orang yang membutuhkan jasanya.
Hari itu, tatkala mendung menyelimuti langit, petir menyambar-nyambar diiringi gerimis rintik-rintik, Bejo berteduh dihalte. Ia duduk mengistirahatkan kakinya yang telah menempuh jalan berkilo-kilomer jauhnya. Jarum jam menunjukan pukul tiga sore, namun belum satu pun orang yang menggunakan jasanya. Ditengah hujan yang mengguyur dalam hatinya berdo'a, "dengan kuasa-MU, semoga usahaku dalam mencari nafkah menemu kemudahan jalannya rezeki yang Engkau ridhoi untukku dan keluargaku".
Bejo yang duduk selonjoran dilantai halte menunggu hujan reda, sedang asyik membetulkan sandal jepitnya yang hampir terlepas. Orang-orang disekitarnya, yang juga berteduh memandangnya sebelah mata. Mereka ada yang sibuk memainkan smartphone, ada juga yang serius berbicara dengan temannya. Bagi Bejo situasi semacam itu sudah biasa ia hadapi, malah justru ia tak malu ataupun canggung untuk menawarkan jasanya menjahit dan memperbaiki sepatu. Sayangnya orang-orang dihalte pun tidak sedang membutuhkan jasanya.
Baca juga tulisan lainnya :
Hujan mulai reda, orang-orang yang tadinya berteduh satu persatu mulai meninggalkan halte. Tak terkecual Bejo, mulai melangkah menyusuri jalan pulang, karena hari sudah semakin sore. Meskipun, langkah kakinya terasa berat, ia harus tetap pulang untuk keluarganya. Berharap sepanjang perjalanan pulang ada orang membutuhkan jasanya. Rasa optimisme tetap tidak pudar, langkah kakinya tegar dan senyumnya pun tetap melebar. Orang yang melihatnya pasti mengira Bejo memperoleh rezeki yang besar. Meskipun, sesungguhnya Bejo tak memperoleh satu pun yang menggunakan jasanya, namun itulah wujud dari rasa sabar yang menghimpun segenap duka lara menjadi rasa syukur, lantas berubah dalam bentuk optimisme, ketegaran dan senyuman.
Perjalanan menuju rumahnya semakin dekat, tapi belum jua satu pun pelanggan didapat. Bejo terus berjalan dan tidak berhenti menawarkan jasanya setiap bertemu dengan orang. "Hari ini belum rezekku", gumam hati yang sudah memasuki rumah. Sang isteri langsung menyambut dengan senyuman dan mengambil kotak peralatan yang terselempang dipundak Bejo. "Istirahat dulu Pakne, biar saya ambilkan air putih", ucap sang Isteri. Sedang anaknya yang berumur empat tahun menggelanyuti tubuh Bejo. " Pak... esok li obil ya", celoteh si buah hati yang belum lancar mengucapkan kata, si kecil itu bernama Ebi.
"Ya... Insya Allah", jawab sang ayah dengan lirih sambil mengusap-usap kepala putranya, lantas mencium pipinya yang tembem.
"Besok jika bapak dapat rezeki pasti Ebi dibelikan mobil main", sang ayah berucap.
" Ini diminum dulu air putihnya, pakne", kata sang isteri menyodorkan segelas air putih. "Ebi...sini...!!!, ikut mamak, bapak capek biar istirahat dulu", ucap sang isteri, Emi. Ia pun lantas menggendong Ebi dan masuk kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Setelah Bejo beristirahat sejenak, lantas segera pergi untuk membersihkan diri dikamar mandi. Selang beberapa menit kemudian kumandang adzan maghrib bersahut-sahutan dari langgar-langgar maupun masjid. Bejo sendiri telah bersiap diri menggunakan kopiah hitam, baju koko putih yang mulai menguning dan sarungnya yang sedikit ngelinting, berangkat ke langgar dekat rumahnya untuk sholat maghrib berjama'ah. Ebi pun ikut bersamanya ke langgar, karena seharian tidak bertemu dengannya.
Emi, sang isteri sedang berhalangan, maka seusai memasak ia langsung menyiapkan makan malam dimeja untuk sang suami. Ia pun menunggu kedatangan sang suami dan si kecil putranya, agar bisa makan malam bersama.
Beberapa saat kemudian yang ditunggu pun tiba. Sang isteri melihat suami dan anaknya dari dalam rumah. Sang isteri tersenyum bahagia melihat mereka berdua. Apalagi, si tembem anaknya yang terus bertanya mencecar sang ayah dari saat berangkat ke langgar, sehingga sepanjang jalan pulang dari langgar. Seolah tidak ada habisnya pertanyaan sang anak. Rasa keingintahuan sang anaklah yang membuatnya terus bertanya, terkadang baik Bejo maupun Emi, sang isteri kewalahan menjelaskannya. "Anakmu ya, seperti itu.. cerewet", si Emi tersenyum menyambut mereka berdua didepan pintu.
Mereka pun menuju ruang tengah menuju tempat makan. Ebi juga tidak ketinggalan ikut makan, seperti biasa ia sebelum makan selalu bilang, " mam.. ma tempe", rengeknya. Hati Bejo tersayat mendengar rengek anaknya. Sepotong tempe saja ia tak mampu membeli untuk anaknya. Emi, sang isteri hanya bisa berjanji dan merayu, "iya.. besok kalau bapak dapat rezeki pasti dibelikan. Sekarang Ebi makan dulu sama ini", sambil menunjuk gorengan brambang uyah. " Ya... Ebi mau sama itu", coletehnya dan kepalanya manggut-manggut. Ebi memang sudah terbiasa makan nasi dengan brambang uyah tanpa lauk pauk. Cara makannya yaitu antara nasi putih dengan brambang uyah diaduk menjadi satu. Tentu, melihat pemandangan itu, dada Bejo semakin sesak. Disisi lain ia bersyukur mempunyai isteri dan anak yang mampu nerimo.
Jangan tanya soal kemewahan kepada Bejo. Ia hanya seorang penjahit sepatu. Ia hanya seseorang bekerja beralaskan sandal jepit, bukan orang berdasi yang memakai sepatu kulit. Keesokan harinya, sebelum berangkat keliling menawarkan jasanya, ia terlebih dahulu sholat dhuha dan berdo'a dengan sepenuh hatinya, "Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha itu adalah dhuhamu, keagungan itu merupakan keagunganmu, keindahan itu merupakan keindahanmu, kekuatan itu adalah kekuatanmu, kekuasaan itu adalah kekuasaanmu, dan penjagaan-penjagaan adalah penjagaanmu".
“Ya Allah, jika rezeki aku masih di langit maka turunkanlah, jika ada di dalam bumi maka keluarkanlah, jika sulit maka mudahkanlah, apabila itu haram maka sucikanlah, jika jauh maka dekatkanlah”.
“Demi kebenaran dhuhamu, keagunganmu, keindahanmu, kekuatanmu dan kekuasaanmu, berikanlah kepadaku sebagaimana apa yang engkau berikan kepada hambamu yang sholeh”.
Selepas shalat dhuha Bejo bersegera menyiapkan peralatannya. Sang isteri pun sudah mempersiapkan sarapan untuknya, yaitu sisa nasi semalam yang dihangatkan lengkap dengan brambang uyahnya. Begitu pun bekal yang akan dibawa Bejo untuk keliling mencari orang yang mau menggunakan jasanya. Bejo sarapan sangat lahap ditemani isteri juga putranya.
Maka, berpamitanlah Bejo kepada sang isteri yang menggendong anaknya dan tak lupa mengingatkan, " do'akan, semoga suamimu ini dapat rezeki".
Tangan Bejo lantas mencubit pipi tembem si kecil, "bapak berangkat dulu, ya...semoga bapak bisa beli tempe untukmu hari ini", lalu mencium pipinya lagi. Bejo melangkahkan kaki, sesampainya di halaman depan rumah ia berdiri sejenak, dalam hatinya kembali berdo'a, " Ya Allah... aku berniat mencari penghidupan untuk keluargaku karna-MU, maka Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (Q.S : Thoha : 25-28)
Begitulah kehidupan keluarga kecil Bejo yang menjadi tukang jahit sepatu keliling. Meski, kakinya beralaskan sandal jepit, ia selalu tak pernah menyerah untuk terus melangkah. Sepotong tempe sangat berharga bagi keluarga mereka, karena tidak setiap hari mereka bisa menyantapnya. Memang banyak pekerjaan yang lainnya, tapi ia tetap memilih menekuni pekerjaanya. Pekerjaan yang ia geluti sedari remaja. Jatuh bangun, itu pasti. Namun, optimismenya tidak pernah pudar, ia percaya bahwa hasil kerjanya bisa mencukupi, asal tidak terjerumus "gengsi". Ia pun bertekad agar anak-anaknya nanti bisa mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan setinggi-tingginya, serta menjadi anak yang sholeh dan sholehah. " Insya Allah.. ada jalan", lirihnya do'anya dalam hati. Biarkan saja, hari ini Bejo bekerja dengan hanya beralaskan sandal jepit, siapa tahu anak-anaknya bisa bekerja beralaskan sepatu kulit.
Bungo, 27 Juli 2017
0 Comments
Post a Comment