"Bukan lautan hanya kolam susu

Kail dan jala cukup menghidupimu

Tiada badai tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu


Bukan lautan hanya kolam susu

Kail dan jala cukup menghidupmu

Tiada badai tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman


Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman"

Sejak sekolah dasar, aku dahulu sering mendengarkan lagu kolam susu dari Koes Plus. Betapa bangga dan senangnya diriku kala itu. Hidup di negeri yang gemah ripah loh jinawi siapa yang tak senang. Pikirku, kita tidak perlu takut dan khawatir hidup di negeri yang ijo royo-royo. Negeriku, negeri yang makmur serta negeri yang tanahnya adalah tanah surga. Semua yang dibutuhkan ada. Negeriku yang kekayaannya melimpah ruah.

Didaratan dan di lautan kekayaan alam negeriku bukanlah isapan jempol belaka. Kekayaan itu benar-benar ada. Pertanian yang subur dan makmur. Nelayan yang hasil yang tangkapannya melimpah ruah. Hasil kebun yang sangat menjanjikan. Sektor pertambangan yang begitu menggiurkan. Seolah rasanya sangat mustahil ada penduduk di negeriku yang kelaparan. Kekhawatiran untuk mencukupi kebutuhan hidup di negeri khatulistiwa semestinya tidak menjadi sebuah ketakutan.

Saya melihat sendiri bukti nyata didepan mata, tatkala pertama kali sampai di Muara Bungo. Pandangan pertama daerah ini tampak sangat sepi. Hanya kebun sawit dan karet yang terbentang luas dari ujung timur ke barat, dari ujung utara ke selatan dan di segala penjuru arah mata angin yang ku lihat tidak ada kecuali hutan perkebunan sawit dan karet. Rumah penduduk di kanan kiri pun masih sepi, masih banyak semak belukar.

Pandangan pertamaku nyatanya salah. Memang dipinggir jalan rumah-rumah masih jarang. Rumah penduduk di Bungo sudah ramai, namun rumah mereka harus masuk ke dalam, tidak berada ditepian jalan raya. Entah nanti sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang?. Bisa jadi di Bungo yang sekarang masih terlihat sepi, justru di masa depan banyak gedung-gedung pencakar langit yang menjajah kebun-kebun sawit atau karet. Entah?.

Apakah itu mungkin?. Tidak ada yang mustahil, asal pemerintah daerah Bungonya bijak dan amanah dalam membangun serta meningkatkan perekonomian masyarakat. Tentu, harapannya di masa yang akan datang bila saja Bungo menjadi kota besar yang dipenuhi gedung-gedung, para masyarakatnya tidak tersingkir dan mereka yang pertama kali mendapatkan kesejahteraan dari geliat perekonomian yang semakin maju.

Ini bukan tentang harapan kosong dari pemuda rantau yang ada di Bungo. Sebab, melihat potensi Bungo yang memiliki segalanya semestinya menjadi sebuah kota maju dan masyarakatnya sejahtera adalah merupakan keniscayaan. Aku pun yakin akan hal itu. Bungo punya potensi yang sengat besar.

Seperti saat aku pertamakali melihat ibu-ibu di belakang rumah Pak Dhe . Diantara semilir angin yang mengoyangkan ranting-ranting dedadaunan pohon karet. Ilalang turut melambai-lambai mengikuti irama yang dibawa semilir angin. Meski, terik sinar matahari disiang hari tidaklah sampai menyentuh kulit, karena terhalang lebatnya dedaunan karet, sehingga siang itu terasa rindang. Aku duduk dibawah pohon karet sembari melihat ibu-ibu mencari emas di parit yang tidak begitu lebar dan dalam. Ibu-ibu dengan perkasa mencangkul tanah dan ibu-ibu yang lainnya mulai meletakkan tanah bercampur air diatas alat dulangnya. Ibu-ibu itu menggoyang-goyangkan, memutar-mutar alat dulang  untuk memisahkan antara batu kerikil dan biji emasnya. Kemudian, biji emas itu ditaruh kedalam ember yang berada disisi kanannya.

Kata Bu Dhe ku yang waktu itu ikut juga melihat, ibu-ibu yang mendulang emas ini hanya sekedar membantu setelah segala hal urusan rumah telah selesai. Mereka mencari sungai-sungai kecil, parit, pinggiran sugai atau bekas galian emas yang telah lama ditinggal oleh para penambang. "Terus untuk para suaminya memang kerjanya, apa?", tanyaku pada Bu Dhe. Jawaban Bu Dhe sungguh mengagetkanku, kalau ternyata para suami juga melakukan hal yang sama yaitu mencari emas. Malah skalanya lebih besar.

Bu Dhe memberitahuku bahwa hampir seluruh keluarga di dusun dimana aku tinggal ini mata pencahariannya adalah mendulang atau mencari emas. Sampai-sampai pemerintah daerah Bungo melegalkan pertambangan emas rakyat ini. Dulu, sebelum di legalkan, mereka harus sembunyi-sembunyi dan kejar-kejaran dengan aparat keamanan saat dilakukan razia. Pelegalan ini mungkin dikarenakan pemerintah daerah sadar belum bisa membuka lowongan pekerjaan untuk mereka.

Masih dibawah rerimbunan teduhnya pohon karet, aku duduk para ibu-ibu yang tengah asyik mendulang emas. Pikiranku pun asyik menembus ruang dan waktu, berandai-andai, " untuk apa susah-susah mencari kerja. Jika, dibawah langit biru ini, ditanah yang ku pijak ini, adalah hamparan tanah emas. Hanya butuh sedikit tenaga saja untuk mendapatkannya", gumamku dalam hati.

Hari semakin beranjak siang, tak sadar entah sudah berapa lama aku duduk menyaksikkan ibu-ibu pendulang emas itu. Negeriku memang sungguh kaya, tanahnya tanah surga, kekayaan alamnya bukanlah dongeng dan juga bukan isapan jempol belaka. Aku menyaksikan sendiri, aku melihatnya sendiri, aku percaya bahwa Tuhan telah menganugerahi negeriku ini.

Pikiranku terus melayang membayangkan ibu-ibu pendulang emas yang ku saksikan hari ini. Dalam benakku selalu terlintas akan hamparan tanah surga yang dimiliki negeri ini. Sehingga, ketika malam tiba ku beranikan diri untuk bertanya kepada bapakku, mengapa beliau lebih memilih membuat batu bata ketimbang mendulang emas?. Hasilnya pun tentu lebih besar dan menjanjikan.
Ternyata bapakku sudah mempunyai jawaban tersendiri. Beliau menceritakan sisi lain dari para pendulang emas. "Hasilnya memang besar, tapi resikonya juga besar, yaitu nyawa jadi taruhannya", kata bapakku.

"Entah sudah berapa orang yang kehilangan nyawanya, sudah tak terhitung lagi. Entah berapa banyak ibu-ibu yang harus rela menjada karena ditinggal mati suaminya. Mereka tertimbun longsoran galian tambang emas dan nyawa tak lagi terselamatkan. Membuat batu bata atau mendulang emas adalah sebuah pilihan pekerjaan. Dan terus terang aku tidak berani mengambil resiko yang teramat besar, aku belum sanggup serta tidak bisa mengambil resiko tersebut sebab kalian, anak-anakku. Aku masih ingin melihat kalian tumbuh dewasa hingga saatnya nanti, entah?, yang pasti aku ingin terus melihat senyum kalian, anakku", ucap bapakku dengan nada lemah.

Mendengar jawaban dari bapakku, aku hanya terdiam dan tidak ingin melanjutkan membahas hal itu. Aku pun belum sanggup jika terjadi apa-apa pada beliau. Ku urungkan niat dan ku hapus andai-andai dalam benakku agar bisa ikut mendulang emas. Setiap pekerjaan memang ada resikonya, hidup dan mati memang urusan Sang Penguasa, sedang kita sebagai manusia hanya bisa berusaha semaksimal mungkin agar terhidar dari musibah maupun kecelakaan kerja. Termasuk dengan cara menimbang dan mengukur seberapa mampu diri kita  dengan pekerjaan yang telah kita pilih. Saya yakin para pendulang emas itu pun telah benar-benar matang saat diri mereka memilih mendulang emas. Mereka adalah orang-orang hebat yang mengelola dan mengambil nikmat serta anugerah yang Illah hamparkan di muka bumi Indonesia ini.

Bungo, 27 Mei 2018