Hampir disetiap sudut kampung Mertani dari bapak hingga anak, dari kakek hingga cucu, dari ibu sampai anak mantu semuanya membicarakan tentang Ki Lurah Tejo yang perawakan besar tinggi berwibawa disanding-sandingkan dengan Si Bejo yang kecil, kurus dan ceking serta penampilannya pun semerawut. Si Bejo yang dikenal sejak kepindahannya setahun lalu dari kampung sebelah selalu membuat geger warga dan cenderung suka mencari ribut.

Gegernya warga bukan karena ulah Si Bejo yang mencuri ayam atau mangga tetangga. Pencurian ataupun sikap kriminal tidaklah berkelas baginya. Sikap menteng kelek kepada Ki Lurah Tejo lah yang membuat warga geger. Selama ini tidak ada satupun warga yang berani pada Ki Lurah. Warga takut urusan mereka menjadi susah. Dari sinilah warga mulai bercerita tentang Ki Lurah dan Si Bejo yang semakin hari semakin santer.

Sore itu dipojok sawah pak dhe Dikin dan pak lek Legi duduk dipematang sawah sambil melihat padi yang menguning sedang asyik ngobrol membicarakan Si Bejo yang sangat berani -entah kemasukan mahluk apa- memberhentikan mobil Ki Lurah Tejo yang melintas didepan rumahnya. Setelah mobil berhenti, Ki Lurah Tejo diomeli "Turun...!!!, kamu enak aja naik mobil. Lihat warga desamu itu, masih banyak dari mereka yang makan saja susah". Tidak itu saja, Ki Lurah Tejo juga diminta untuk berjalan kaki menuju kantor balai desa padahal jaraknya masih jauh. Yang lebih aneh lagi Ki Lurah Tejo mengikutinya. "Koq berani-beraninya Si Bejo itu dan Ki Lurah koq ya mau", seloroh pak lek Legi, sedang pak dhe Dikin sibuk mengipas-ngipas kegerahan menggunakan caping hanya menjawab, "He'em...".

Tentu, obrolan yang menjadi topik hangat bukan persoalan itu saja. Ibu-ibu tak kalah seru berbincang didepan teras rumah tentang Si Bejo yang tidak mau datang menghadap ke Ki Lurah Tejo. Berkali-kali diundang untuk datang baik tertulis atau lewat utusan Ki Lurah selalu ditolak. "Eh... Si Bejo malah bilang, harusnya Ki Lurah Tejo yang datang ke rumahku sini, bukan aku yang kesana. Diakan yang seharusnya melayani warga, bukan warga yang melayani dia", tiru seorang ibu mengucapkan kata-kata Si Bejo. Salah seorang ibu menyahut, "Dasar gemblung, Si Bejo itu".

Dikalangan remaja pun Si Bejo juga diperdebatkan. Ada membenarkan kenyelnehannya, tapi ada yang tidak setuju. Karena, pernah terjadi kejadian didepan mata remaja saat akan dibentuknya karang taruna oleh Ki Lurah Tejo. Si Bejo berteriak-teriak, "Ki Lurah kakean lewo. Untuk apa ada karang taruna. Remajanya saja tidak pernah peduli, jika ada anak tetangganya tidak bisa sekolah. Mereka diam saja". Karang taruna pun akhirnya gagal dibentuk. Kang Sobri, yang datang dari perantauan hanya geleng-geleng kepala mendengar cerita dari remaja-remaja yang sebaya dengannya duduk diwarung kopi malam itu.

Sebenarnya masih banyak keanehan dan kenyelnehan Si Bejo dikampung Mertani. Sekaligus, yang membuat warga lebih terheran lagi adalah Ki Lurah Tejo yang tidak pernah mau membantah, namun justru lebih memilih diam dan mengikuti. Warga masih bertanya "Mengapa Ki Lurah Tejo tidak begini, malah begitu".

Sampai sekarang pun persoalan Si Bejo dan Ki Lurah Tejo tidak pernah berubah. Mereka tetap saja aneh dan nyelneh. Meski begitu, kini tidak ada lagi warga yang kelaparan dan anak-anak sudah mulai bersekolah. Serta, Ki Lurah Tejo bertambah rajin blusukan. Dan Si Bejo tetap saja suka menteng kelek.