"Mbah, akhir-akhir ini perbedaan membuatku semakin bingung saja. Diriku semakin tergiring dan terombang-ambing. Bagaimana kita ; sebagai seorang awam, wong deso harus menyikapinya?. Dan menurut si Mbah sendiri melihat pendapat-pendapat yang nyaris berlawan itu bagaimana?", tanya Bejo disuatu sore saat duduk-duduk santai diwarung kopi.

"Ya... kita kedepankan khusnudzon saja. Isi ndasku dan ndasmu itu hanya seputar penting besok bisa ngopi. Kalau mau jelas langsung saja sowan sekaligus tanya yang punya pendapat. Kewajiban orang sepertiku dan sepertimu adalah menghormati perbedaan-perbedaan yang terjadi. Tidak boleh menuduh kafir, munafik, bahkan murtad orang yang tidak sepakat dan sependapat dengan kita". Mbah Saberang memberikan penjelasan kepada Bejo.

"Tapi... perbedaan itu sedemikian ekstremnya. Terlihat kita saling bermusuhan terhadap sesama umat sendiri. Yang satu bilang begini, satunya bilang begitu. Pendapat mereka berseberangan dan sangat berlawanan. Nanti kalau sudah sedemikian ekstremnya memunculkan konflik perkelahian dan macam-macamnya. Ini sudah sangat terasa dari caci maki dan saling hujat.", Bejo protes terhadap situasi yang terjadi. Keningnya berkerut seolah menahan luapan kegeramannya. Wajar saja Bejo protes sebab ia memang wong deso yang pengetahuannya sangat minim. Tentu, persoalan perbedaan yang sedang hangat-hangatnya menciptakan keresahan tersendiri bagi Bejo.

"Itu kan menurutmu saja", dengan entengnya Mbah Saberang menjawab.

"Semua sudah jelas, Mbah... Dan terang benderang perbedaannya", Bejo berusaha meyakinkan. "Perbedaan yang saling berseberangan dan berlawan itu harusnya tidak perlu. Karena, memang tidak ada gunanya, yang ada malah memunculkan kerugian, membuat resah dan bisa memecah belah. Atau?, bahkan merembet ke hal yang lebih besar lagi", ucap Bejo dengan setengah nada emosi.

"Ya... jangan dibesar-besarkan toh... Makanya, kita harus menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. Tak pantas orang seperti kita ini menyalahkan. Mantapkan dan teguhkan hati. Ikuti pendapat mana yang engkau yakini, hormati dan jangan caci apa yang mereka yakini, meski berbeda", Mbah Saberang mewanti-wanti Bejo.

"Dan sangatlah salah, jika perbedaan itu tidak ada gunanya. Apalagi, memunculkan kisruh sampai memecah belah. Itu berlebihan namanya. Perbedaan itu indah. Saling melengkapi", kata Mbah Saberang cengengesan.

"Ya... sudahlah, kalau seperti itu intinya. Tapi, saya tetap tidak bisa memahami. Mengapa ada ormas islam yang melarang kita ikut turut serta dalam aksi?. Menghimbau agar menahan diri. Padahal, ormas itu adalah yang terbesar dinegeri ini, yang semestinya berada digarda terdepan memimpin aksi. Lha, ini malah diintruksi untuk tidak bereaksi. Justru, ormas-ormas diluar kita sibuk melakukan aksi dan asyik mengumpulkan kekuatan. Antara menahan diri dan melakukan aksi inilah yang saya sebut titik perbedaan terasa ekstrem. Tentu.... kebingungan dalam diri semakin menjadi. Nyatanya, kemarin aksi benar-benar super damai, tidak seperti yang dikhawatirkan", panjang lebar Bejo mengungkapkan kerisauannya.

Belum sempat Mbah Saberang mau berbicara, malah dicerca pertanyaan oleh kerisauan Bejo, "Menurut Mbah Saberang tentang perbedaan pendapat yang terjadi itu bagimana?, dan mengapa sikap yang diambil antara yang satu dengan yang lainnya sangat berbeda?".

"Wah... Mbah ini bukan pengamat untuk menjawab pertanyaanmu itu", jawab Mbah Saberang.

"Tidak apa-apa, Mbah. Yang penting saya mendapatkan jawaban", jawab Bejo.

"Saya juga tidak menguasai dalil-dalil agama", ujar Mbah Saberang

"Tidak apa-apa, Mbah. Siapa tahu kalau si Mbah yang menjawab saya jadi mudeng", timpal Bejo sambil merayu.

"Lhe... Mbah ini wong ndeso. Tidak pernah sekolah", Mbah Saberang tetap mengelak.

"Apa Mbah tega membiarkan cucumu ini dalam kebingungan terus menerus?", kini Bejo agak sedikit memaksa.

"Karena, kamu memaksaku, aku akan menjawab. Perbedaan itu harus dan memang harus ada yang berbeda. Kalau, sama semuanya, wah... bakal kacau dunia ini. Dunia membutuhkan perbedaan itu sebagai hukum alam. Sunnattullah. Dari perbedaan itu semua akan berjalan saling melengkapi. Perbedaan adalah kebutuhan. Jika, semua sama, seragam, kompak dan tidak ada perbedaan, ya... pasti kurang seru. Tapi, perbedaan jangan kita sikapi berlebihan, merasa diri paling benar dan yang lain salah. Kalaupun, ada yang tidak sesuai mengkritisi dan membantahnya boleh saja, asal tidak disertai dengan kebencian yang melahirkan caci maki. Niscaya, bila kita mampu menghormati akan tercipta warna warni keindahan", jawab Mbah Saberang.

"Tambah jadi bingung aku,  Mbah... Penjelasan si Mbah susah dicerna oleh otakku ini", sembari mengukuri rambut Bejo mengintrupsi.

"Baik, saya sederhanakan lebih ndeso lagi bahasanya. Kamu tahu motor? ", Mbah Saberang menanyakan balik ke Bejo. "Ah... Mbah ini ngece. Anak muda yang sudah kekinian masak tidak tahu motor. Ada-ada saja Mbah nih" Bejo setengah senyum menjawab.

"Kalau, tahu motor seharusnya kamu tidak menjadi kaum kagetan", sindir Mbah Saberang.

"Apa hubungannya, Mbah?. Perbedaan dan motor?. Si Mbah ini makin kemana-mana pembahasannya", agak bingung Bejo memahami maksud dari Mbah Saberang.

"Begini... Lho... cah bagus... dimotor itukan ada rem dan gas ta?", tanya Mbah Saberang. Bejo pun manggut-manggut. "Rem dan gaskan itu adalah perbedaan. Rem  itu menahan, memperlambat gerak, bahkan bisa pula menghentikan. Sedang, gas itu menjalankan, mempercepat gerak, bahkan mengencangkan laju. Formulasi penggunaannya tergantung penggunanya. Yang pasti adanya gas itu mempercepat kita untuk sampai dan rem itu untuk keselamatan. Jika, kita ngegas terus tanpa memperdulikan rem atau tak mau menggunakan rem ya... bisa nabrak-nabrak. Sebaliknya, jika kita rem terus, kapan sampainya?. Jika, kita ngerem pol dan gas pol, ya... jadinya cuma mbleyer-mbleyer. Jadi, yang kita tidak boleh mengatakan hanya butuh rem saja atau gas saja. Keduanya, kita butuhkan. Keduanya, mengantarkan kita agar sampai tujuan dengan selamat", kata Mbah Saberang pada Bejo.

Bejo yang mendengar penjelasan Mbah Saberang terdiam saja. Melihat itu Mbah Saberang bertanya, "mudeng? ". Mendengar pertanyaan itu Bejo langsung terhenyak kaget, sambil tersenyum kecil ia berkata "belum, Mbah... " selorohnya ringan.

"yo wes... Yang penting sekarang kita membuat acara maulidan saja. Kalau perlu kita adakan di Monas lagi seperti kemarin. Alangkah syahdu dan betapa damainya negeri ini, jika itu terjadi. Jutaan orang muslim berkumpul bershalawat kepada Baginda Nabi. Dan tentu itu didasari kecintaan yang membuncah kepada beliau, Nabi Muhammad SAW", ucap Mbah Saberang sumringah sembari membayangkan.

"Ah... Mbah ini?, memang kita ini siapa?. Wong, kaum abangan yang tak punya massa koq mau buat acara maulidan sebesar itu", sanggah Bejo.

"Harapan kan boleh saja. Siapa tahu terwujud. Siapa tahu dengan itu umat islam semakin terkukuhkan sebagai ummatan wahidah. Jika, tak terselenggara tahun ini, mungkin bisa tahun-tahun berikutnya", Mbah Saberang coba menangkis sanggahan Bejo.

Mereka berdua terdiam, saling pandang dan tersenyum , lantas serentak mengucapkan "Allahumma shollii ''alaa sayyidina muhammad... ".