"Mbah habis dari mana?", teriak Bejo dari arah belakang.

Mbah Saberang pun menoleh ke belakang, "ouh... ini lho, habis beli pasta gigi dari mini market", jawab Mbah Saberang.

"Ini dari mini market depan pasar ya, Mbah?. Seharusnya Mbah jangan belanja disana. Lebih baik belanja di warung tetangga saja", sergah Bejo dengan wajah keheranan.

"Iya... memangnya ada apa?. Apakah salah kalau saya belanja disana. Wong, diwarung Lek Giyem pasta giginya habis. Mau tidak mau, ya saya beli disana daripada tidak gosok gigi dan mulutku jadi bau, gimana?", Mbah Saberang balik bertanya lebih heran lagi kepada Bejo.

"Emmm... Mbah ini gimana ta?, masak tidak tahu", Bejo menyahut perkataan Mbah Saberang dengan cepat. "Sudah masuk dulu ke rumah. Biar kita enak ngobrolnya", ucap Mbah Saberang sembari membukakan pintu rumah dan mempersilahkan Bejo untuk masuk. Mereka berdua masuk ke rumah dan duduk dikursi ruang tamu yang pengap dan sempit.

"Benar nih... Mbah tidak tahu?", Bejo mengulangi lagi pertanyaannya tadi sewaktu diluar rumah. "Si Mbah kan sudah tua. Tidak seperti kamu, anak muda yang selalu super update. Coba jelaskan apa yang kamu tahu pada Si Mbahmu yang tua ini", pinta Mbah Saberang yang memang tidak tahu apa yang sedang dan akan diucapkan Bejo.

"Begini, Mbah..." Bejo memulai menjelaskan. "Berita yang sudah saya baca itu menginformasikan kalau ternyata donasi yang dipungut oleh pelanggan-pelanggan di mini market itu digunakan untuk dana kampanye Ki Lurah. Apakah Si Mbah rela donasi yang tidak jelas itu ternyata diselewengkan?. Mungkin saja tidak hanya untuk kampaye Ki Lurah saja, tapi bisa jadi ke hal-hal yang lain pula. Bisa juga donasi itu hanya dalih meraup keuntungan. Wong namanya donasi tidak jelas", penuh semangat Bejo menyampaikannya.

Mbah Saberang tidak menyahutnya dan tersenyum kecil saja. Ia malah menawari Bejo minum kopi atau mau teh. "Kopi saja, Mbah... ", kata Bejo setengah mengangguk. Tak berapa lama kopi sudah siap didepan mereka masing-masing. Terlihat Mbah Saberang masih mengaduk-aduk kopi miliknya lantas bertanya, "lalu masalahnya dimana?".

Bejo yang sedang asyik menyeruput kopi dengan cepat langsung meletakkan gelasnya. Tangannya kemudian merogoh kantong saku, mengambil smartphonenya dan membuka medsos "lihat ini, Mbah..." sembari menunjukkan status seseorang yang membagikan kabar kalau mini market tersebut melakukan pemaksaan bahkan menaikkan donasi. "Gila kan!, Mbah..?". Sudah donasi tidak jelas kemana perginya, eeee... malah menaikkan donasi", komentar Bejo terhadap apa yang sedang ramai dibicarakan.


Photo diambil dari sebuah akun facebook yang membagikan informasi terkait donasi di mini market
                   

"Coba Mbah lihat", pinta Mbah Saberang. Setelah melihat entah beberapa lama Si Mbah tertawa terpingkal-pingkal. "Mbok ya kamunya itu yang teliti sedikit, kenapa?", setengah tertawa Si Mbah tertawa. "Ini status, seperti yang tadi kamu keluhkan dan resahkan, yang kamu tuduh menaikkan donasi itu... Setelah Mbah melihatnya sendiri, ya... lucu. Bukti bayar itu, jika kamu mau melihatnya dengan seksama dan memperhatikan tanggalnya, seharusnya itu menunjukkan penurunan. Itu kalau... mini market benar melakukan pemaksaan donasi kepada pelanggan, jika tidak?. Wah... yang seperti itu pun bisa jadi fitnah. Yang Si Mbah tahu justru pihak kasir mini market itu hanya menawarkan mau didonasikan atau tidak?. Kalau, kamu setuju uang kembalianmu masuk donasi,  kalau tidak setuju pasti uangmu kembali. Jadi,  maaf Si Mbah tidak setuju dengan status ataupun kabar tentang itu..", Mbah Saberang semakin keras terbahak.

"Waduh... iya, ya... Mbah!. Kenapa aku tidak perhatikan  tanggalnya. Gimana nih?, sudah terlanjur aku bagikan pula", Kata Bejo yang wajahnya merah karena malu. "Hapus... hapus... hapus saja", ucap Mbah Saberang. "Makanya, kamu saat melihat status, membaca atau menerima kabar lebih teliti dan berhati-hati. Tempatkan otak dan hatimu ditempat yang netral. Bukan, sebab ikut-ikutan saja", kata Mbah Saberang menambahi.

Bejo yang masih canggung dan malu hanya diam saja. "Monggo... diminum dulu kopinya, biar tidak tegang", sergah Mbah Saberang memecah lamunan Bejo. "Pun, jika memang mini market itu donasinya tidak jelas dan kamu terlanjur yakin seperti itu. Tak usah berdonasi saat belanja disitu. Yang kamu permasalahkan adalah tentang donasi ta...?. Kalau itu masalahnya ya... tidak bisa kamu melarang aku belanja disitu, tapi kamu boleh melarangku berdonasi disitu, berdasarkan apa yang kamu tahu dan yakini mengenai mini market tersebut. Tapi, jika keyakinan saya terhadap donasi itu sebaliknya, maka jangan jadikan masalah ketika saya berbelanja ataupun berdonasi disitu", Mbah Saberang mendapatkan angin segar dari diamnya Bejo, sehingga ia berbicara panjang lebar.

"Jika, kamu tidak suka daun pohon yang sedang layu, jangan lantas kamu tebang pohonnya atau kamu cabut seakar-akarnya. Tapi, cukup ambil dan buang daun yang layu itu. Ini pelajaran. Harus teliti. Harus jeli. Harus hati-hati dalam membaca dan membagi informasi. Masalah ini, apakah kamu sudah tabayun terlebih dahulu?. Untuk apa?. Dan untuk siapa donasi itu? . Bila, tak bisa tabayun secara langsung, setidaknya cari informasi pembanding agar hatimu tidak bertambah kebenciaannya. Syukur-syukur bisa hilang kebenciaan dalam hati. Dan yang terpenting donasi tersebut tidak digunakan untuk membantu kegiatan-kegiatan terorisme", Mbah Saberang terus berbicara lebar dan panjang, sedang Bejo hanya menjadi pendengar setia.

Mereka berdua kini terdiam. Bejo nampak mengotak-atik hpnya. Setelah menemukan informasi yang dicari dengan segera berkata, "tapikan, kemarin pihak mini market sudah diminta untuk membuka ke publik terkait donasi itu. Menurut informasi yang saya baca, mereka -pihak mini market- tidak bersedia. Nah, dari situ bertambah keragu-raguan saya".

"Mbah tadi sudah bilang ke kamu ta?. Jika, yang dipermasalahkan adalah donasi, maka belanja disitu harusnya tidak menjadi masalah. Wong yang kering daunnya saja, maka tak perlu mencabut pohon dari akarnya", Mbah Saberang menyanggah informasi yang disampaikan Bejo.

"Baik, Mbah... O ya, Mbah... ngomong-ngomong soal mini market. Ada kabar gembira. Bahwa, akan dibuka supermarket dan mini market muslim diseluruh pelosok negeri. Tidak tentang kabar itu saja, kini pun tengah mempersiapkan launching roti al maidah sebagai ganti roti yang diboikot itu", kata Bejo mengalihkan pembicaraan. "Ini adalah kebangkitan ekonomi islam, Mbah... " imbuh Bejo yang wajahnya mulai cerah sumringah kembali.

"Wah... bagus itu. Asal sumber dananya jelas dan keuntungannya harus juga jelas. Diutamakan keuntungannya dishare tidak hanya untuk umat islam saja, tapi juga untuk kepentingan seluruh manusia Indonesia. Memang kita sudah saatnya dan mulai berfikir london, berhati masjidil haram. Melawan kapitalisme dengan kapitalisme. Kalau perlu bukan hanya supermarket atau mini market saja, tapi juga bisa merebut kembali kapling-kapling perumahan, membeli apartemen-apartemen, sawah-sawah dan pertambangan-pertambangan. Yang mana, yang boleh menempati perumahan, apartemen dan yang mengelola sawah ataupun pertambangan itu adalah rakyat pribumi agar tidak terjadi zaman dimana jowo tinggal separo, cino kari sejodo, londo gela-gelo. Namun, kalau sumber dananya dan keuntungan tidak jelas dan tidak transparan. Atau malah keuntungannya masuk dan mengalir ke kantong-kantong pribadi, ya.. sama saja. Itu mungkin bisa disebut hanya memanfaatkan momentum, mencari kesempatan dan memperalat umat saja. Semoga saja tidak", begitu Mbah Saberang menanggapi. "Dan... apa itu nanti yang dijual dan belikan produk-produk dari muslim saja atau juga dari yang lain?", tanya Si Mbah penasaran.
Bejo justru tersenyum, setengah tertawa, "ini kan masalah bisnis, Mbah.. tentu juga melibatkan produk-produk diluar muslim asal sesuai kaidah syariat", jawabnya.

"Kalau, memang masalah bisnis mengapa kemarin roti itu diboikot. Mereka kan hanya berbisnis. Karena, komitmen berbisnis itulah mereka melakukan klarifikasi. Apa karena sakit hati?, sudah terlanjur bilang itu roti gratis. Atau memang pemboikotan itu disebabkan adanya hal yang bertentangan dengan kaidah syariat halal haramnya?. Belum lagi, ucapan selamat natal. Itu kan juga bagian dari masalah keshalehan sosial semata, seperti halnya berbisnis. Kalau, mengucapkan selamat natal dan menggunakan atributnya dianggap sebagai bentuk penyerupaan, atas hal itu engkau lalu menuduh seseorang sebagai bagian golongan dari mereka. Lantas, bagaimana dengan bisnis yang sudah ada?, dan yang akan ada?, dimana produk-produk mereka dijual dan tersebar itu. Bukankah, itu berarti membantu mensejahterakan dan memakmurkan mereka. Kenapa tidak dikeluarkan fatwa tentang membeli produk-produk dari non muslim juga?.  Belum lagi nasi yang kita makan. Apakah itu memang hasil dari dalam negeri?, jika, ternyata nasi yang kita makan itu adalah hasil impor dari negara non muslim, bagaimana?. Belum lagi kendaraan yang engkau tunggangi, hp yang engkau otak atik itu, televisi itu, radio itu dan ini itu, banyak yang harus diboikot. Mungkin, bisa jadi kita tidak pakai pakaian lagi alias telanjang bulat. Ah... sudahlah. Mbah agak dan sangat kecewa saja, jika kekuatan persatuan umat disalah gunakan, dipakai untuk mengamini kebenciaan-kebencian, pemboikotan-pemboikotan, saling caci, kafir mengkafirkan, musuh memusuhi dan menajamkan sikap intoleran. Bila, itu terus terjadi maka kita hanya menunggu waktu untuk mengucapkan selamat tinggal ibu pertiwi", wajah Mbah Saberang mulai serius dan mimik mukanya memberi penekan bahwa ini bukan masalah sepele.

Mbah Saberang melanjutkan pembicaraannya, "Mbok ya... semestinya persatuan umat itu digunakan untuk kebaikan, bukan keburukan, yaitu menebar benih-benih cinta, mengayomi, melindungi dan menangkal faham-faham radikalisme. Bersama bersatu menjadikan islam yang rahmatan lil 'alamin. Sehingga, umat lain merasa iri melihat romantika cara beragama kita".

"Mbah ini... koq jadinya saya yang diomelin?. Si Mbah sedang khawatir atau sedang ngomel?", tanya Bejo. Mbah Saberang menjawab "dua-duanya. Dan siapa yang tidak ngomel dan khawatir. Makin hari, makin kesini terasa sangat gonthok-gonthokan-nya, sikap-sikap intoleran, merasa paling eksklusif dan benar sendiri itu yang tidak boleh terjadi".

"Maaf ini, Mbah... nampaknya urusan ini terlalu berat dan memusingkan untuk kita. Lebih baik kita cari saja om tololet om", seloroh Bejo yang sudah terasa bosan mendengarkan Mbah Saberang berbicara.

Mbah Saberang diam saja. Tidak menyambut ajakan Bejo. "Ah... Mbah jangan khawatir. Om tololet ini bukan bentuk pengalihan isu ataupun pendangkalan aqidah. Akan tetapi, ditengah-tengah tumpukan-tumpukan masalah yang datang om tololet om itu merupakan bentuk pesan agar kita tidak lupa bahagia", kata Bejo merayu Mbah Saberang.

"Tumben kamu cerdas, Jo... ", sahut Mbah Saberang sambil tertawa terbahak. "Kalau, begitu... hayo wae... ", Mbah Saberang meloncat kegirangan menyambut ajakan Bejo.

Bungo, 25 Desember 2016