Manusia itu memang makhluk yang aneh. Manusia bisa menjadi pemangsa manusia lainnya. Manusia juga menjadi tameng pelindung bagi manusia lainnya. Ada juga jenis manusia yang melakukan pengrusakan, tetapi ada juga manusia lainnya yang dengan tulus memperbaiki kerusakannya. Ada yang berlaku rakus semena-mena menghancurkan apa saja, ada juga yang siap mati sebagai penjaga. Begitulah manusia, jika ada manusia yang jahat, selalu ada manusia lainnya yang menjadi penolong.

Manusia adalah khalifah dimuka bumi, yang mendapatkan mandat mengelola segala isi dibumi. Baik buruk dalam mengelola bumi tergantung tangan-tangan manusianya. Bumi akan baik-baik saja, jika dikelola dengan baik tentunya, namun bisa berubah menjadi dampak buruk yaitu bencana bagi manusia itu sendiri. Itu karena, kelalaian, kesewenang-wenangan dan kerakusan manusia didalam mengelola alam. Jadi,  jangan buru-buru menuduh Tuhan memberikan bencana sebagai bentuk ketidakadilan. Tapi, koreksi terlebih dahulu perbuatan tangan-tangan kita sebagai manusia. Bencana alam adalah sebab akibat, dimana alam sendiri tersebut sedang menyesuaikan diri guna menanggapi respond dari perbuatan manusia.

Apa salahnya?, kalau ada orang yang mencoba mengingatkan, menegur, bahkan menolak pengerusakan  ataupun pengerukan alam dengan skala yang masif. Meskipun, pengerusakan atau explorasi alam tersebut dijadikan dalih untuk pembangunan, meningkatkan kesejahteraan dan segala tetek bengeknya. Dalih tersebut bisa jadi dibenarkan, akan tetapi segala bentuk explorasi alam selalu menjadi kutukan dahsyat yang sangat memilukan bagi warga yang berada disekitarnya. Yang tempat tinggalnya jauh dari tempat explorasi tentu akan dengan entengnya berkomentar sinis terhadap orang-orang yang melakukan penolakan, karena mereka tidak terkena dampaknya secara langsung. Orang-orang yang berada disekitar explorasi itulah yang merasakan dampak dan imbasnya, sehingga wajar saja jika mereka menolak agar alam tetap lestari. Apalagi, jika warga yang menolak tersebut mata pencahariannya adalah bertani.

Mungkin, bila kita percaya pengerusakan alam tidak berimbas apa-apa, cobalah tebang satu pohon disekitar rumah. Kalau, ingin imbasnya lebih dahsyat, rubuhkan semua pohon-pohon disekitar rumah. Apa yang akan terjadi?, yang terjadi rumah itu akan kehilangan keasrian dan kesejukannya. Panas mentari akan terasa lebih terik lagi. Pun pada saat kita didalam  rumah menjadi tidak betah, karena gerah. Lantas bagaimana kalau hutan ditebang?, pegunungan yang asri diratakan?, secara otomatis pohon-pohon yang ada dipegunungan juga ikut dirubuhkan. Imbasnya tentu lebih dahsyat lagi, sumber air pastinya akan ikut surut. Cuaca disekitarnya akan lebih panas lagi. Bagaimana lahan-lahan pertanian yang berada disekitarnya?, bisa dibayangkan sendiri imbasnya. Itulah salah satu pertimbangan, mengapa mereka menolak explorasi atau pengerusakan alam jenis lainnya?, supaya alam lestari dan tidak menimbulkan bencana. Walaupun, ongkos untuk menjaga alam tetap lestari itu sangat mahal, yaitu harus dibayar dengan nyawa.

Tentu, masih segar dalam ingatan kita tentang pembunuhan Salim Kancil yang menolak adanya tambang pasir didaerahnya Lumajang. Ia berjuang sampai kehilangan nyawanya agar alam tidak dirusak dengan seenaknya. Ia berjuang untuk alam yang lestari. Menguburkan keuntungan yang sifatnya sesaat,  demi kelangsungan kehidupan anak cucu nantinya. Ia menolak bukan sebab kepentingan dirinya sendiri. Tapi,  karena ia memikul tanggung jawab masa depan anak cucunya, sekaligus menghindarkan dari segala mara bahaya berupa bencana.

Begitupun yang dilakukan para petani Kendeng. Mereka tidaklah egois dan rakus memikirkan kesenangan hidupnya sendiri. Jika, mereka tidak memikirkan anak cucu, lebih mementingkan hidup sendiri saat ini, mungkin pengunungan Kedeng pohon-pohonnya sudah dijarah, tanah lempungnya telah dikeruk, batu gampingnya sudah diangkut dan segala yang ada digunung Kendang habis tak tersisa. Mereka bertindak dan berfikir bukan hanya untuk saat ini, tapi sudah melampaui zamannya, yaitu meloncat jauh ke masa depan.

Apa jadinya nanti?, bila pengeprasan pengunungan Kendeng tetap berlanjut. Ditengah-tengah dunia yang disibukkan dengan global warming, justru sebagian diantara kita malah asyik merusak tatanan alamiah alam. Ikut menambah peliknya permasalahan yang dihadapi dunia. Masalah dampak kerusakan alam akan menjadi petaka bukan hanya bagi warga sekitar saja. Akan tetapi dampak itu akan mempengaruhi lebih besar lagi. Sedang, untuk memulihkan alam dibutuhkan waktu yang panjang. Sebelum, santernya masalah global warming yang dihadapi dunia, warga pengunungan Kedeng sudah terlebih dahulu tahu dan mengerti tentang dampak kerusakan alam. Oleh karena itu, mereka selama ini mengelola alam secara arif dan bijak agar tetap lestari.

Namun, secara mendadak, pengunungan Kendeng yang mereka jaga kelestariannya direbut oleh korporasi-korporasi melalui tangan besi penguasa. Berpuluh-puluh tahun, dari generasi ke generasi mereka merawat dan menjaga supaya alam tetap lestari, dengan gampangnya kini pihak korporasi berdalih atas nama kesejahteraan rakyat datang untuk melakukan pengerusakan. Mulai dari Blora, Grobogan, Pati, Rembang dan Tuban melakukan pengerukan pengunungan Kendeng. Ya... mereka seperti bancakan memutari tumpeng.

Segala usaha mereka telah lakukan. Mulai dari proses hukum dan menang di pengadilan ternyata tidak menyurutkan langkah korporasi-korporasi untuk segera memotong tumpeng. Bahkan, korporasi mulai beringas saat usaha penolakan dari masyarakat sekitar Kendeng tidak surut. Tenda perjuangan  dan mushola mereka dibakar . Berbagi cara sudah mereka lakukan, namun hasilnya terus nihil, karena mereka tetap kalah dari korporasi yang berkolaborasi dengan para penguasa.

Maka, jika ada yang nyiyir berkata, "mbok... kalau demo tidak dengan cara mengecor kaki?". Tidakkah mereka yang berkata seperti itu tahu?. Bahwa berbagai usaha petani Kendeng melakukan penolakan telah dilakukan, bahkan gugatan mereka menang di pengadilan, tapi para penguasa tetap saja tidak memalingkan wajahnya. Aktivitas korporasi pun tidak berhenti. Padahal, dari mulut para penguasa negeri ini adalah negeri hukum dan hukum sebagai panglimanya. Kenyataannya?, keputusan dari pengadilan yang punya kekuatan hukum tidak jua tegak dan dilanggar. Oleh sebab itu, mengecor kaki merupakan bentuk perlawanan terakhir petani Kendeng mengetuk pintu istana, agar yang duduk disinggasana mendegar ratapan, jeritan dan tangisan mereka.

Usaha pertama menemu titik temu, pihak istana mendengarkan jerit ratap mereka. Kedua pihak sama-sama bersepakat menunggu hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis ( KLHS ). Selama menunggu proses kajian itu pihak korporasi dilarang melakukan aktivitas, namun ditengah penantian tersebut justru perjuangan mereka seperti dikhianati dengan keluarnya izin baru. Sehingga, mau tidak mau mereka melakukan aksi serupa untuk kembali mengetuk pintu istana. Bahwa, kesepakatan mereka diaksi pertama dirusak oleh penguasa dibawahnya. Mereka tahu, semestinya harus protes terlebih dahulu ke penguasa daerah, tapi kesepakatan yang dulu itu disepakati di istana.

Setidaknya, pihak istana mau menegur penguasa daerah yang telah merusak kesepakatan, bukan malah melempar bola panas atau diping pong ke penguasa daerah yang jelas-jelas tidak mendengar suara serak para petani Kendeng. Inilah yang membuat para petani Kendeng kecewa . Tidak sabarkah pihak-pihak korporasi pengepras pegunungan kapur itu menunggu hasil KLHS?, yang telah disepakati di istana. Para petani Kendeng hanya ingin memastikan alam mereka tidak dirusak seenaknya. Bukan, hanya menghitung untung sendiri dengan cara merugikan para petani. Korporasi bisa merasakan enaknya hasil dari mengepras pengunungan kapur, disisi lain petani yang mendapatkan dampak penderitaannya. Maka, mereka pun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjuangan. Mereka, tidak berhenti memperjuangkan apa yang diperjuangkan Mbok Patmi. Memang Mbok Patmi telah pergi mendahului, namun semangatnya telah mengobarkan nyala api dihati para petani Kendeng agar alam senantiasa lestari.

Nanti, setelah keluarnya KLHS semoga saja perjuangan para petani Kendeng membuahkan hasil. Tentu, tidak hanya memenangkan para petani, tapi juga pihak korporasi. Ya... sesuai janji pihak istana yang akan mengambil keputusan setelah keluarnya KLHS. Hal yang terpenting adalah keputusan itu dapat diterima oleh petani dan korporasi. Jika, hasil dari KLHS itu menyatakan bahwa pengeprasan pegunungan Kendeng tersebut merusak alam, maka korporasi harus legowo berhenti dan biarkan pegunungan itu tetap lestari. Kalaupun, hasil KLHS sebaliknya, yaitu tidak akan merusak lingkungan alam dan tidak menimbulkan dampak bagi petani, maka para petani pun harus bisa juga legowo.

Toh, selama ini mereka tidak berhenti menginginkan agar Kendeng tetap lestari. Suatu saat nanti, jika ternyata pengeprasan tersebut menimbulkan bencana, setidaknya para petani kendeng telah berusaha mengingatkan dengan segala daya dan upaya, bahkan harus kehilangan nyawa. Syukur-syukur tidak terjadi.

Bungo, 30 Maret 2017