![]() |
Sumb. Photo : unsplash.com |
Untuk pertama kalinya aku tidak ingin lekas memasuki awal bulan Februari. Kalau perlu setahun menjadi bulan Januari. Bagaimana aku bisa menyambut bulan Februari dengan senyuman?. Bila, ternyata di awal Februari adalah awal sebuah perpisahan dengan mereka. Mereka bukan sekedar rekan, bukan hanya teman, ini tidak hanya tentang persahabatan semata, akan tetapi melampaui itu semua.
Februari menjadi titik terendah sepanjang perjalanan karirku. Aku kehilangan orang-orang disekitarku, dimana mereka selalu mendukung dan membantuku dengan tulus. Satu per satu mereka meninggalkan ku. Aku tahu setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Hanya saja aku belum siap menerima perpisahan.
Pandemi memang merombak total tatanan kehidupan sosial masyarakat yang sudah mapan. Dampaknya sangat terasa. Mulai cara bersekolah sampai cara bekerja berubah. Kekhawatiran masyarakat terhadap pandemi yang belum tahu ujungnya, membuat sebagian besar masyarakat mengurangi pola konsumsi dan cenderung menyimpannya, membuat perekonomian berjalan lambat.
Melamahnya daya beli masyarakat inilah yang mendorong perekonomian melambat. Efek dari perlambatan ekonomi tentu dirasakan oleh perusahaan baik besar, maupun skala kecil perumahan. Hal ini memaksa perusahaan melakukan efisiensi. Salah satu dampaknya adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Apa mau dikata perusahaan sudah tidak mampu membayar gaji mereka dan para pekerja juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Inilah hal tidak menyenangkan dari pekerja swasta. Berapa lama, seberapa besar prestasi, loyalitas dan sebagus apa jasanya untuk perusahaan, toh itu tidak menjamin pekerja diangkat menjadi pegawai tetap, ditengah pandemi yang sulit seperti ini banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya. Sedang, yang tidak terkena pemutusan hubungan kerja mau tidak mau harus double gardan, merangkap sana sini, menutupi ini itu, meskipun double tenaga yang dikerjakan tetap harus dikerjakan. Itulah balada pekerja swasta, double tenaga, tapi gaji tetap sama dan kalau tidak sanggup silahkan resign.
Baca Juga :
Maka, menjadi manusia terakhir yang bertahan itu bisa dibilang menyenangkan, juga bisa dibilang menyengsarakan. Hal menyenangkannya yaitu ditengah ketidakpastian pandemi kapan berakhirnya, aku masih diberi kesempatan. Hal menyengsarakannya, kita sebagai manusia tidak bisa mengurusi semua hal dalam satu waktu.
Semua yang duduk diatas hanya tahu beres, tidak peduli bawahannya pontang panting. Sebanyak apa pun pekerjaannya harus selesai. Meskipun, pekerjaannya itu secara normal butuh dua atau tiga orang orang yang mengerjakannya harus tetap bisa dikerjakan oleh satu orang.
Menjadi spartan, begitu para atasan maunya. Kerja mati-matian, penghasilan pas-pasan. Semua jenis pekerjaan dikerjakan, namun penghasilan, ya sudahlah. Kata Pak Lo Khe Hong, "karyawan adalah mereka yang tidak punya waktu dan juga tidak punya uang". Benar sekali kata Pak Lo, sebagai seorang karyawan memang benar adanya setelah dapat gaji, entah kemana gaji pergi. Numpang lewat saja.
Begitulah hal yang tidak mengenakkan sebagai seorang pekerja swasta. Suka dan duka dalam masalah pekerjaan merupakan hal yang lumrah. Meskipun berat dan harus pontang-panting menyelesaikan pekerjaan, seorang pekerja swasta harus tetap mengerjakannya, mereka tak punya banyak pilihan. Mereka berpikir realistis, apa yang ada didepan mata, itulah kenyataannya. Mensyukuri apa pekerjaannya dan berapa pun penghasilannya.
Semoga saja pandemi yang sudah satu tahun lebih kita jalani segera diangkat dari dunia ini. Bagi mereka yang wafat karena pandemi ini diberikan tempat terbaik disisi Tuhan, yang sembuh dari pandemi ini menjadi manusia yang lebih baik lagi, bagi kita yang masih diberikan kesehatan jangan sampai kita terkena dengan ikhtiar mengikuti protokol kesehatan yang ada. Semoga pandemi ini segera berakhir, sehingga semua bisa kembali bekerja secara normal dan yang kehilangan pekerjaannya mendapatkan ganti yang lebih baik lagi. Aamiin.
Bungo, 15 Mei 2021
0 Comments
Post a Comment