Sumb Photo unsplash.com


Panas terik matahari hari disiang bolong menyengat kulit hitam Bejo yang sedang mencangkul di tengah sawah. 

Berkaus warna putih dengan gambar seorang berpeci hitam memakai setelan jas necis dan ada logo partai disisinya. "Berjuang untuk wong cilik", begitu slogan tertulis di kausnya.

"Istirahat dulu, Jo... sudah tengah hari", ujar Kang Sukirman yang ikut serta bekerja sebagai kuli cangkul bersama Bejo.

Kang Sukirman dan Bejo leyeh-leyeh digubuk kecil pinggir sawah. Meneguk air putih dari botol bekas air minum mineral yang mereka bawa dari rumah masing-masing. 

"Kang... siang ini kita makan apa?, aku sudah lapar sekali", kata Bejo. 

" Enggak perlu ditanya lagi, itu singkong yang kita cabut kemarin masih ada. Tinggal bakar, matang, lalu santap. Kenyang. Beres ta?".

Bejo mengangguk, sembari mengumpulkan kayu kering untuk membakar singkong sebagai menu makan siang ini.

Tak butuh lama, singkong bakar pun telah matang dan siap disantap. "Huft... Panas", teriak Kang Sukirman. 

"Sabar... Ojo geragas, masih panas", Bejo menyahut

"Wes lesu, hahaha", Kang Sukirman malah tertawa terbahak.


"Kapan kita bisa hidup enak ya, Kang?. Kerja apa saja sudah dilakoni, tapi nasib koq ya masih begini, begini aja. Bisa untuk makan aja sudah syukur alhamdulillah".

Kang Sukirman yang sedang menikmati singkong bakar tidak menjawab. Mungkin karena perutnya yang sudah sangat lapar, jadi fokusnya hanya pada makanan saja. 

"Kang... ", Bejo memanggil, ingin mendapat jawaban. 

"Ngene lho...", sembari menelan singkong yang penuh dimulut, "kita ini hanya wong cilik, kita orang-orang kecil. Koalisi kita ini Koalisi Perut Lapar. Bisa kerja untuk makan ya sudah disyukuri saja. Enggak perlu mikir aneh-aneh. Pusing", Kang Sukirman kurang semangat menanggapi.

Namanya Bejo, merasa jawabannya kurang memuaskan, dia protes, "memang kita Koalisi Perut Lapar. Bekerja hanya untuk sekedar dapur ngebul saja selama ini, yang terpenting keluarga tidak kelaparan. Tapi, masak kita enggak kepengen naik-naik kelas?".

"Mau gimana lagi, Jo?. Memang nasib kita jadi wong cilik. Kerja keras, kerja tekun dan kerja apa pun sudah, tapi ternyata untuk makan siang aja kita kepayahan, harus bakar singkong. Siapa yang peduli pada nasib kita?, orang yang ada digambar kausmu itu?, yang katanya berjuang untuk wong cilik?. Kan enggak juga ta.. Tetap aja kita bergelut, berjuang untuk nasib kita sendiri-sendiri", Kang Sukirman menanggapi. 

Bejo diam sambil berpikir, bahwa benar apa yang dikatakan Kang Sukirman. Sesekali Bejo mengunyah singkong bakar, lantas meneguk air putih. 

"Memang semestinya orang yang dibajuku ini merealisasikan janjinya. Toh, dia sudah ke pilih lebih dari dua tahun lalu. Setidaknya orang yang mengaku berjuang untuk wong cilik, jika benar dilaksanakan janjinya pasti kita naik kelas, iya kan Kang?", Bejo seolah minta persetujuan.

" Iya.. ", Kang Sukirman menjawab lirih

"Janji tinggal janji, Kang. Mereka pasti sudah lupa pernah bagi baju partai ini. Saat kampanye, bagi ini itu, janji ke sana kemari, bagi mereka sebatas formalitas. Memilih mereka tidak mengubah apa-apa nasib kita wong cilik, tapi mengubah nasib mereka yang kita pilih jadi sejahtera dan makmur".

"Ya.. memang begitu. Setelah jadi dan duduk mendapatkan kuasa, yang dipikirkan pertama kali jelas koalisi mereka. Bagi kue, bagi jabatan, bagi proyek dan bagi-bagi apa yang bisa dibagi ke koalisi. Kalau kita ya cukup dibagi kaus, mana mereka peduli pada kita?, yang diingat ya koalisi mereka, bukan koalisi perut lapar yang sebenarnya harus mereka prioritaskan", Kang Sukirman mengeluarkan unek-uneknya.

"Jika dipikir-pikir kebalik jadinya, Kang.. Harusnya yang kita pilih mensejahterakan kita, eh.. malah yang kita pilih justru yang lebih sejahtera".

" Ha ha ha" Bejo dan Kang Sukirman tertawa bersama dibawah gubuk beratap jerami.

Bungo, 03 Juni 2023