Masing-masing pribadi punya hak untuk berpendapat. Kran reformasi sudah terbuka lebar, semua bisa bebas berekspresi. Semua memiliki hak untuk mendebat. Mengungkapkan ide tanpa ada bayang-bayang ancaman. Hak menyampaikan pendapat dijamin dan dilindungi oleh undang-undang.
Berbeda pendapat adalah hal yang sangat wajar. Namun, sayangnya diera yang serba blak-blakan ini, kita sebagai manusia yang hidup diera reformasi tidak cukup siap untuk menerima perbedaan pendapat. Hanya sepercik masalah perbedaan pendapat yang mencuat menimbulkan saling hujat menghujat. Inilah yang paling ditakutkan. Bukan, perbedaan pendapat yang ditakutkan, akan tetapi hujat menghujat, caci maki, sumpah serapah yang bisa menimbulkan kebencian. Yang pada ujungnya nanti memunculkan konflik, bahkan perpecahan.
Bejo pun ikut larut dan hanyut dalam kasak kusuk mengenai lambe turah Ki Lurah Tejo. Ia merasa bangga, meski kemarin dihadang Mbah Saberang saat akan melakukan unjuk rasa. Ia gagal, tetapi saudara-saudaranya berhasil menggelar aksi unjuk rasa. Ia pun lantas mengungkapkan kegembiraannya itu pada Mbah Saberang, "Bagaimana Mbah... unjuk rasa kemarin?. Saya merasa bangga dan gembira melihatnya. Semua berkumpul menyerukan hal yang sama dengan tertib dan lancar, tidak seperti yang Mbah khawatirkan. Dikarenakan hal ini, kita bisa bersatu menjadi ummatan wahidah".
"Yang bangga bukan kamu saja, ngger... Mbahmu yang tua ini, belum pernah melihat hal yang seperti itu. Namun, saya juga tetap khawatir, kalau-kalau ternyata kita ini hidup diakhir zaman. Dimana umat islam seperti buih. Secara kwantitas, boleh banyak. Tapi, secara kwalitasnya masih sedikit yang mengerti apa itu islam. Ah... semoga saja kita ini tidak hidup diujung akhir zaman itu. Semoga tidak. Dan kita benar-benar, sungguh-sungguh menjadi ummatan wahidah yang kwantitas serta kwalitasnya tidak diragukan. Semoga juga tidak sesaat saja bersatunya", jawab Mbah Saberang dengan disertai menghela nafas.
Bejo sedikit cengengesan mendapatkan jawaban Mbah Saberang seperti itu, "Mbah, ini khawatir terus. Nyatanya prediksi si Mbah gagal bahwa kita akan berbuat anarkis dan arogan. Kita membuktikan dengan penuh tertib dan kesantunan".
"Khawatir itu perlu dikedepankan dalam rangka waspada. Siap antisipasi segala kemungkinan yang terjadi", dengan santai Mbah Saberang menjawabnya.
"Tapi, mengapa Mbah kemarin melarang kami ikut unjuk rasa?", Bejo memprotes Mbah Saberang.
"Tidak perlu semua terjun ke jalanan. Masing-masing punya cara tersendiri untuk membela agama. Setiap orang punya pendapat yang berbeda-beda dalam menyikapi satu persoalan. Jika, kamu tidak turun ke jalan itu tidak akan menjadikan dirimu sebagai golongan orang munafik atau pembela kafir. Seperti, hari-hari ini terlihat dan terdengar saling caci maki, hujat menghujat dan saling tuduh menuduh sesama saudara sendiri yang seiman hanya gara-gara beda sikap. Ada kebencian disitu yang tersirat dan itulah hal yang paling Mbah takutkan", terang Mbah Saberang kepada Bejo.
"Padahal, semuanya kan sudah jelas keputusan MUI sebagai majelis tertinggi dinegeri ini. Harusnya tidak perlu ada perbedaan", kata Bejo menyanggah.
"MUI itu terlalu sempit, kurang luas untuk menampung ikhtilafiyah dalam masalah agama kita ini", seloroh Mbah Saberang.
"Jadi, keputusan MUI itu tidak bisa jadi rujukan?, apakah MUI itu kurang kompeten maksud, Mbah... ?", Bejo kembali menyanggah.
"Saya tidak sedang bermaksud seperti itu. MUI itu tetap bisa menjadi rujukan, akan tetapi bukan satu-satunya rujukan", jawab Mbah Saberang.
"Maksud Mbah, ini gimana toh?. Mau meremehkan majelis para ulama? ", Bejo menjadi marah.
"Sekali lagi, saya tidak bermaksud demikian. Yang saya maksudkan tidak semua ulama berada didalam MUI. Masih banyak juga para ulama yang berada diluar MUI yang mana kita pun tidak boleh meremehkan mereka pula. Keputusan MUI belum tentu representasi seluruh para alim ulama seantero nusantara. Maka, disitulah MUI tidak serta merta harus dijadikan rujukan satu-satunya. Ada banyak para ulama yang juga zuhud, tidak tergiur harta, kedudukan dan sudah selesai dengan dirinya yang berada serta tidak ikut dalam MUI", jelas Mbah Saberang.
"Maksudnya gimana?, Mbah... Mbok dikasih contoh ", Bejo masih juga tak paham.
"Begini, misalnya orang-orang di MUI shalat subuhnya tidak pakai qunut. Lantas apakah saat kita melakukan shalat subuh dengan qunut menjadikan shalat subuh itu tidak syah dan qunutnya haram?. Tentu, tidak. Shalat subuh kita tetap syah baik pakai qunut ataupun tidak. Ikhtilafiyah ini tidak perlu kita besar-besarkan permasalahannya dengan menganggap diri sendiri paling benar dan yang selainnya salah. Ya.. silahkan yang pakai qunut, monggo... yang tidak pakai qunut. Yang penting jangan gontok-gontokan. Gitu aja koq repot...", Mbah Saberang memberi contoh yang diminta oleh Bejo.
Bejo masih juga belum mengerti dengan contoh yang diberikan oleh Mbah Saberang, "Ini kan yang sedang kita dibicarakan adalah soal penistaan. Mbah... justru berbicara soal shalat subuh pakai qunut atau tidak".
"Itu kan contoh. Qunut ini pintu masuk kita untuk memahami perbedaan. Jika, dalam beribadah shalat saja ada perbedaan. Apalagi, masalah keshalehan sosial dan kepemimpinan. Jelas menimbulkan perbedaan juga. Oleh karena itu, memunculkan reaksi yang berbeda pula. Kita bisa menyimak peristiwa tempo hari, ada yang bereaksi menggelar unjuk rasa secara besar-besaran kemarin itu dilakukan agar islam tidak direndahkan, dianggap remeh dan jadi bahan olok-olokan. Ada juga reaksi yang menyatakan perkataan Ki Lurah hanya menyinggung perasaan dan menerima dengan lapang permintaan maaf itu dikarenakan supaya islam itu adalah agama yang ramah dan pemaaf kepada siapa saja. Ada juga yang menyatakan sikap bahwa Ki Lurah tidak salah, itu disebabkan karena yang berpendapat seperti itu mengedepankan ayat-ayat pluralitas. Maka, jangan heran jika ada perbedaan sikap. Kita boleh mengikuti salah satu pendapat ataupun sikap, namun tidak boleh terlalu fanatik. Menyatakan apa yang kita ikuti yang benar sendiri. Sedangkan, pendapat yang lain salah lantas mencaci makinya. Bahkan, menganggap munafik dan kafir. Alangkah baiknya, kita menghargai dan menghormati perbedaan pendapat dan ataupun sikap para alim ulama tersebut dan tidak perlu dibesar-besarkan. Kalau, kita suka membesarkan masalah jangankan tentang permasalahan penistaan ini. Mengenai qunut saja kita bisa berantem dan bermusuhan jika kita besar-besarkan. Maka, dengan dasar qunut itulah bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang tak terelakkan dan perlu kita hormati serta hargai", Mbah Saberang menerangkan begitu panjangnya, sehingga Bejo sedikit terlihat bosan.
Tiba-tiba Bejo menyergap, "Lantas, pendapat mana yang harus kita ikuti?".
"Semua benar dan memiliki dasar. Boleh, mana saja yang engkau ikuti. Asalkan, jangan fanatik dan merasa benar sendiri. Pun ingin menang sendiri. Dan berhati-hatilah dalam mengikuti dan mendukung suatu pendapat. Jangan taklid buta. Selain itu, jangan pernah ikuti pendapat yang atas nama agama mengajak untuk menebarkan kebencian, bersifat arogan, radikal dan anarkis. Karena, hal itu sudah keluar dari ajaran agama", jawab Mbah Saberang sekaligus berpesan.
"Entahlah, Mbah... sekarang saya jadi tambah kebingungan. Menurut Mbah, permasalahan ini apa untungnya?", walau agak sedikit mengantuk Bejo belum puas bertanya.
"Tidak ada untungnya. Kecuali, orang-orang yang mau belajar dari permasalahan ini. Kalau pun, Ki Lurah gagal jadi dipenjara, itu bukan berarti umat kita kalah. Jika, Ki Lurah berhasil dipenjara, bukan berarti pula umat kita menang. Biarlah, proses hukum berjalan sebagaimana mestinya", Mbah Saberang menghela nafas. Lantas melanjutkan penjelasannya "Perjalanan kita masih sangatlah panjang...Mungkin kita justru akan merugi, jikalau kita menuruti ego sendiri. Menyatakan bahwa pendapat yang kita ikuti adalah yang benar sendiri. Karena, dari situlah awal mula api kebenciaan", jawab Mbah Saberang tegas.
Belum sempat Bejo berkata. Mbah Saberang sudah dahulu berkata, "Namun, yang mendapatkan berkah durian runtuh adalah lawan politiknya".
Bejo menyanggah, "Ini kan masalah agama, Mbah...bukan politik". "Yang berbicara politik siapa?. Meskipun ini bukan masalah politik akan tetapi permasalahan ini mau tidak mau berdampak juga ke politik. Mereka yang sedang dan akan berebut kursi kecipratan berkah mendapatkan durian runtuh. Memakan nangka tanpa harus kena getahnya. Sebab, Ki Lurah sudah dibunuh secara karakternya ", Mbah Saberang coba memberikan pemahaman.
"Jadi, kita sebagai orang awam harus gimana, Mbah? ", tanya Bejo mencari kesimpulan.
"Kita bisa belajar banyak dari peristiwa ini. Mulai menjaga mulut kita agar tidak terpeleset. Menerima perbedaan-perbedaan pendapat dengan mengedepankan khusnudzon. Saling hormat menghormati. Karena, kita Bheineka Tunggal Ika. Pun tidak melulu soal perbedaan suku, agama dan ras saja yang harus kita hargai dan hormati perbedaan itu. Tetapi, juga mampu menghargai dan menghormati perbedaan pendapat diantara kita. Selain itu, perjalanan perjuangan masih sedemikian terjal dan panjang. Perjuangan kita belum usai, ngger... Yaitu berjuang melawan kebenciaan, kekafiran, kemunafikan dan segala bentuk kejahatan yang ada dalam diri kita sendiri. Semoga kita benar-benar menjadi ummatan wahidah. Menjadi Bhenika Tunggal Ika dalam bingkai NKRI. Terletak disitulah kemenangan yang sesungguhnya", setelah berbicara panjang lebar, Mbah Saberang dan Bejo pun menuju warung kopi untuk sejenak melepaskan diri dari tawanan kasak kusuk yang terjadi.
0 Comments
Post a Comment