Posko ronda diperempatan jalan desa Meranti begitu riuhnya, padahal jam sudah menunjukkan satu dini hari. Tawa mereka memecah keheningan malam. Dinginnya malam pun seakan tak menusuk tulang belulang mereka. Mereka adalah Bejo, Bedul, Badrun dan Mbah Rame yang malam itu sedang melaksanakan piket ronda sampai subuh. Maka, agar mata mereka tetap terjaga, disamping minum kopi, ngemil dan jebal-jebul merokok, tidak lengkap rasanya tanpa bermain kartu gaple. Permainan kartu gaple itulah yang membuat mereka riuh dan tertawa, karena siapa yang kalah harus dicoret wajahnya memakai arang, tak terkecuali Mbah Rame, jika kalah harus mau dicorat-coret wajahnya, meskipun beliau orang paling tua diantara mereka. "Gak masalah dan jangan sungkan, yang penting seru", kata Mbah Rame sesaat sebelum mulai bermain.
Bermain gaple itu hanya sebatas media lek-lekan bagi mereka, bukan digunakan sebagai media untuk berjudi. Jika, mereka berjudi, tentu mereka tidak akan tertawa lepas, mungkin suasana malah berubah jadi hening, karena mereka serius berfikir dan sangat ambisius untuk memenangkan permainan. Tapi, bagi Bejo dan kawan-kawannya yang sedang ronda malam, tidak peduli kalah atau menang. Mereka yang kalah pun tidak akan marah, yang kalah pun cekikan tertawa bersama mereka yang menang. Alangkah bahagianya mereka semua bermain gaple.
Ditengah-tengah permainan gaple itu, dimana mereka duduk bersila, berputar, saling hadap berhadapan, bahkan terkadang sambil jongkok, tidak hanya bermain saja. Mereka juga bercerita dan mengobrol tentang apa saja. Bejo berseloroh, "memangnya yang bisa main kartu itu mereka saja. Kita juga bisa juga bermain kartu".
"Mereka itu siapa?", tanya Bedul
"Mereka yang ingin atau sedang menjadi pemimpin?", Badrun menegaskan pertanyaan Bedul. "Plek... " terdegar Badrun membanting kartu domino. "Hayo... Mbah Rame... giliranmu sekarang. Jangan bengong saja, keluarkan kartunya", pukas Badrun.
"Oke... Mau kartu apa kamu?, kartu anti miskin?, atau kartu anti sakit?, biar saya keluarkan untuk kamu, nich... ", jawab Mbah Rame sembari mengeluarkan kartu sepur nya -enam kembar/balak-. Mereka yang dipos ronda spontan tertawa mendengarkan jawaban dan melihat kartu yang dibanting Mbah Rame. "Wah... wah.. itu bukan kartu anti sakit, Mbah... tapi kartu penderitaan", ucap Bejo menanggapi. Permainan kartu gaple yang diselingi canda semakin riuh saja, meski waktu semakin mendekati adzan subuh.
"Sekarang giliran saya kan?. Sudah tidak usah banyak omong dan enggak perlu lagi janji-janji, nich... Saya kasih kartu sakti", Bejo bersemangat sekali membanting kartu terakhirnya. Ini berarti Bejo memenangkan game, sedang yang lain harus menghitung jumlah kartu yang tersisa. Semakin besar nilai kartu yang tersisa, dialah orang yang terkena coretan arang dimukanya. Bukan itu saja, dia juga yang mengocok kartu dan membagikan kembali kartu-kartunya kepada setiap pemain. Kali ini yang sedang apes adalah Bedul, karena jumlah kartunya lebih besar daripada Mbah Rame dan Badrun.
"Kena lagi dah gua. Tapi, tidak apa-apa. Biarkan muka ini dicorat-coret atau tercoreng karena arang, asal muka gua tidak tercoreng sebab korupsi, suap, berbuat nista, apalagi tercoreng disebabkan gagal memperoleh kursi lurah, jangan sampai... ", Bedul santai saja menanggapi. "Lho...kenapa bisa tercoreng mukanya, hanya gara-gara gagal mendapatkan kursi" protes Badrun kepada Bedul. "Bagaimana mungkin tidak malu?, sudah habis harta benda, eee... malah tidak jadi. Sudah jatuh, ketimpa lemari. Berbulan-bulan mengumbar janji-janji, tapi ternyata tidak ada yang peduli, apa namanya itu tidak mencoreng muka? ", dengan tenang Bedul menjawab.
"Ya.. Tidak ta... Lhe... Itu kalau kamu yang jadi calon lurahnya. Kecuali, calon lurah yang kalah itu menarik sumbangan-sumbangan yang ia berikan sewaktu kampaye, itu baru mencoreng muka sendiri", Mbah Rame terkekeh menimpali pernyataan Bedul.
"Sudah, ayo... Cepat bagikan kartunya", sahut Bejo. Bedul pun segera mengocok kartunya, lantas membagikannya. Masing-masing mengambil kartu mereka, sedang Bedul masih sibuk melihat kartu-kartunya, yang mana kartu pertama harus dikeluarkan. Karena, terlalu lama kartu tidak dikeluarkan, Badrun geram dan menggertak, "Tidak usah banyak mikir, keluarkan saja kartumu. Lama banget mikirnya, kayak mikir negara saja". Bedul pun langsung membanting kartunya. Permainan kembali dimulai, suasana keheningan malam pecah oleh gelak tawa mereka.
Ditengah-tengah permainan Bejo kembali bertanya, "tapi, kenapa ya?, sekarang banyak dari para calon lurah didesa kita, semuanya senang bermain kartu. Didebat kemarin, kita lihat sendiri para calon lurah menawarkan kartu ini, kartu itu. Seolah mereka punya kartu yang bagus, hebat dan sakti untuk orang-orang seperti kita ini" Bejo berhenti berkata, lalu menyerobot pisang goreng diatas piring yang tinggal satu. Setelah, berhasil meraih pisang goreng, Bejo berucap, "kalau dipikir-pikir koq sama seperti kita-kita yang senang bermain kartu dipos ronda".
"Kamu itu lho... Mbok tolong, jangan disamakan. Kita main kartu seperti ini apa manfaatnya?. Kalau, kartu-kartu mereka kan bermanfaat bagi banyak orang", Mbah Rame tidak terima dan memberikan penjelasan. "Kata siapa, Mbah...?!, permainan gaple ini tidak ada gunanya bagi orang banyak. Justru, kartu ini sangat bermanfaat. Jika, kita tidak bermain ini, mungkin kita semua sudah tepar duluan. Kalau sudah tertidur, kita lalai dan para pencuri leluasa mencuri dirumah-rumah warga. Maka, dari situlah bermain kartu gaple ini bisa bermanfaat bagi banyak orang. Selain itu, manfaat untuk kita sendiri, kita bisa tertawa bahagia" sanggah Bejo.
"Menurutku, dipandang dari segi manfaat tetap tidak bisa disamakan. Namun, dipandang dari segi permainan kartu, ya... mungkin bisa disamakan, wong jelas-jelas bermain kartu. Seakan mereka berjudi dengan kartu-kartu yang mereka punya. Mereka percaya kartu merekalah yang paling ampuh, sehingga mereka bisa memperoleh kemenangan. Cuma, bedanya, siapa yang kalah wajahnya tidak dicoreng pakai arang", Badrun ikut mengomentari pernyataan Bejo.
"Itu yang ku maksud...Seperti pemegang kartu nasib orang-orang miskin, layaknya kita-kita ini", seolah Bejo mendapatkan angin segar dengan dukungan pendapat Badrun. "Ah... mosok begitu??, tenang, Mbah... Saya juga tidak setuju dengan pandangan Bejo dan Badrun itu. Kartu yang dijanjikan para calon lurah itu tidak sama dengan berjudi. Mereka hanya menawarkan produknya, tergantung kita mau memilih membeli yang mana", Bedul yang tadi diam, mulai ikut-ikutan mengomentari.
"Ya sudah... Kalau enggak setuju dengan pendapatku dan pendapat Badrun. Tapi, kalian setuju kan kalau mereka juga bermain kartu?. Entah kartu apa itu? dan gunanya untuk apa pun itu?. Saya tetap tidak setuju dengan pemberian kartu-kartu tersebut. Nanti, saya dan Bedul jadi pemalas, tidak mau kerja keras. Lebih baik kartu tersebut hanya dijadikan stimulan saja. Bantuan yang sifatnya sementara. Orang seperti kita, seyogyanya diajari mandiri, bukan menjadi orang yang selalu menggantungkan nasibnya lewat kartu-kartu. Coba para pemimpin itu memikirkan bagaimana caranya orang kecil, miskin dan melarat diubah menjadi seorang yang berjiwa entrepreneur. Atau minimal saya dan Bedul nasibnya tidak mentok jadi buruh tani saja, tapi jadi pak taninya yang mengelola sawahnya sendiri secara mandiri. Kan keren... Sehingga, nantinya keuangan desa tidak terbebani lagi membiayai kita-kita ini. Karena, yang dahulu tak berdaya, menjadi berdaya", ternyata Bejo tak kalah sigap menangkis serangan Bedul. Badrun hanya senyum mungil mendengar kegelisahan Bejo, yang memang sudah dibicarakan kemarin dengannya.
"Omonganmu, lhe... Kayak orang kulihan saja", Mbah Rame sedikit menahan tawa geli. "Untuk masalah orang tak berdaya, menjadi berdaya dan mampu mandiri itu saya sangat setuju denganmu. Kenapa kamu kemarin tidak ikut jadi calon lurah?, padahal kamu punya ide yang brilian. Kalau kamu maju jadi calon lurah, pasti kita-kita yang ada disini memilihmu", ucap Mbah Rame sembari melihat atap pos ronda.
"Mana mungkin Bejo lulus seleksi jadi calon lurah, Mbah... ", serobot Bedul. "Lho, kenapa? ", Mbah Rame ingin tahu. "Iya...Mbah... Bejo itu kan tidak pernah sekolah ta... Wong dia tahunya main gaple sama warna duit saja koq", Badrun tak kalah ligat menambahi. Maklum, Mbah Rame belum tahu hal itu, sebab ia baru sebulan pindah ke desa mereka. Bejo yang tadinya semangatnya berkobar-kobar, tiba-tiba redup dan tertunduk agak malu. "Sudah... Lupakan saja soal calon lurah itu", pinta Mbah Rame yang merasa tidak enak hati pada Bejo. "Masih banyak kebaikan-kebaikan yang bisa kita lakukan selain menjadi lurah yang tak perlu ijazah. Banyak kebaikan yang bisa kita perbuat meski tanpa kartu ini dan itu, pun orang akan mengenal kita, walaupun tanpa perlu melihat kartu identitas kita ta... Cukup kebaikan kita yang berbicara dan menyentuh hati mereka. Seperti itu, pula... ketulusan dan kebaikan dari lurah yang terpilih nantinya, kita tidak boleh buruk sangka kepada mereka. Apalagi tentang program-programnya, entah itu lewat kartu-kartu, atau apa pun itu... Biarkan waktu yang membuktikan setulus apa? dan sebaik apa niat baik mereka?. Kepada kita, orang-orang yang tak berdaya", kata Mbah Rame memberikan semangat kepada anak-anak muda seperti Bejo, Bedul dan Badrun.
Seketika suasana menjadi hening dan sunyi. Mereka pun diam, tak saling melontarkan kata-kata lagi. Kartu gaple mereka pun tidak dimainkan dan berhenti ditangan mereka sendiri. Seolah mereka seketika itu, menjadi patung. Namun, keheningan dan kesunyian itu pecah, karena Mbah Saberang tiba-tiba dari arah belakang bertanya pada mereka, "dengar-dengar ada yang tidak setuju dengan program calon lurah tentang kartu-kartu?". "Itu, Mbah.. Bejo yang tidak setuju", Bedul menjawab terbata-bata. "Kalau, tidak setuju, apalagi kalau ada yang tidak sudi menerima kartu bantuan-bantuan, biarkan saya bilang sama lurah yang nanti jadi, tidak usah dikasih orang-orang tersebut. Biar jatah kartunya untuk orang lain yang lebih membutuhkan", jelas Mbah Saberang kepada mereka berempat yang jaga pos ronda.
"Jangan, Mbah... Pendapat saya itu kan hanya mengkiritisi. Dan saya juga tidak bilang, jika tak sudi menerima. Orang seperti saya ini perlu banyak dibantu, Mbah... Tidak hanya lewat kartu pintar, kartu sehat dan kesejahteraan saja. Tapi, berikan juga pekerjaan yang layak, agar saya jadi mandiri, tidak jadi pemalas yang selalu bergantung pada bantuan-bantuan saja. Jujur, saya memang orang tak punya, tapi kami tak mau jadi beban desa, Mbah... ", bibir Bejo bergetar saat berusaha menjelaskan pendapatnya kepada Mbah Saberang yang ia kenal sebagai sesepuh desa.
"Yo wes, kalau begitu... Cepat rapikan, kita bareng sholat subuh di Masjid", ajak Mbah Saberang kepada mereka berempat, karena adzan subuh pun sudah berkumandang dari seluruh pelosok masjid-masjid, surau-surau dan mushola-mushola disetiap sudut desa. Mereka pun segera bergegas dan mengikuti langkah Mbah Saberang ke Masjid, bersama itu pula waktu piket ronda mereka sudah habis.
Bungo, 01 Februari 2017
0 Comments
Post a Comment