Sewaktu dulu media sosial sangat asyik-asyik dan baik-baik saja. Media sosial dijadikan tempat untuk mencari-cari hiburan, mengungkapkan kegalauan, bahkan lebay-lebayan. Disana masih ada canda tawa antara pembuat status dengan orang yang mengomentari status, meskipun antara status dengan komentar tidak nyambung, tapi tidak ada yang bilang kurang pengetahuan, apa lagi sok-sokan menggurui. Media sosial benar-benar menghubungkan antara satu teman dengan teman yang lainnya, walaupun terhalang sekat ruang dan waktu. Lewat media sosial itulah mereka membagi-bagikan kebahagiaan.

Seiring berjalannya waktu, media sosial yang seharusnya mengeratkan dan menghubungkan, dengan segala harapan orang-orang penuh jiwa sosialis, namun kenyataan selalu berbanding terbalik, orang yang kecanduan media sosial menjadi berubah individualistis. Mereka sibuk menyapa, ngobrol dan bercanda dengan teman mayanya ketimbang teman-temannya yang berada didekatnya. Rela duduk berjam-jam meladeni chat-chat. Ini adalah awal dari gejala penyakit media sosial.

Sebagian dari aplikasi media sosial. Diluar sana masih banyak lagi media sosial yang bertebaran (photo. mrsd) 


Tampaknya gejala penyakit media sosial itu semakin bertambah parah, selain menjadikan seseorang semakin individualistis, timbul gejala baru yaitu kriminalitas. Media sosial pun cukup potensial untuk dijadikan target oleh para pelaku kejahatan. Sehingga, muncullah berita kemana-mana tentang penipuan, pemerkosaan, penculikan serta pembunuhan yang kesemuanya dimulai dari bermain media sosial.

Yang merebut media sosial tidak hanya mereka para pelaku kriminalitas, namun para politikus pun ikut-ikutan merebut sosial media. Mengerahkan segala daya dan upayanya bersama para pasukannya untuk mempengaruhi dan menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Berbagi informasi disebarkan luaskan, terlepas benar ataupun tidaknya, tidak perlu dilihat, mereka hanya melihat seberapa berat bobot informasi itu mampu menghantam lawannya. Tidak peduli, apakah informasi itu abal-abal, hasil karya fiksi semata atau yang disebut hoax, seperti akhir-akhir ini telah mewabah.

Belum lagi ideologi-ideologi pun turut serta mengambil alih ruang-ruang media sosial secara masif dan terang-terangan. Media sosial telah dijadikan tempat menyemai benih-benih ideologi. Betapa ideologi yang ditawarkan tampil begitu sempurna wajahnya, tanpa cacat cela. Sehingga, tidak sedikit orang yang mudah terpengaruh dengan ideologi baru yang belum jelas juntrungnya. Otak mereka seolah sudah dicuci dan hati mereka sangat yakin bahwa ideologi itu adalah kebenaran. Pun setelah mereka telah sangat percaya dengan ideologi tersebut, mereka tidak segan-segan menuduh orang lain yang tidak sependapat serta tidak sepakat dirinya dianggap sebagai orang yang tidak paham, bahkan meskipun yang berbeda pendapat itu adalah orang tuanya sendiri dan para gurunya. Rasa ta'dzim mereka luntur, ungah-unguh mereka lenyap, etika mereka dikesampingkan, kata-kata mereka kasar menusuk hati orang untuk mempertahankan ideologi yang mereka yakini.

Kini media sosial pun disusupi propaganda-propaganda kebenciaan antara satu dengan yang lainnya. Mereka mengkotak-kotakkan diri, membentuk komunitas, grup dan meng-eksklusif-kan kelompoknya yang paling benar. Menuduh selainnya seperti musuh bebuyutan yang wajib untuk diserang, entah itu lewat pem-bully-an, fitnah ataupun kabar-kabar hoax dengan tujuan agar kelompok merekalah yang dianggap paling benar, mendapatkan dukungan, legalisasi, labelisasi dan simpati dari masyarakat banyak.

Media sosial memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan nyata. Ia sekarang bukan lagi sekedar dunia maya semata. Ia menjadi media paling cepat dan ampuh untuk menebarkan benih-benih kebenciaan. Fitnah, kabar hoax dan kabar yang benar hampir-hampir sukar dibedakan. Upaya penjernihan fakta-fakta seringkali dibelokkan. Dimanipulasi. Dibantah. Bahkan, mereka tega mengamputasi ayat-ayat Tuhan untuk melegistimasi fitnah ataupun kabar hoax tersebut. Tentu, karena hal itu kita sebagai orang awam begitu mudah percaya dan sesegera mungkin ikut menebarkan fitnah ataupun hoax, tanpa pikir panjang, menimbang dan menimangnya kembali.

Meskipun, sekarang sudah ada UU ITE terkait hate speech, patroli cybercrime, turn back hoax dan semua upaya untuk membendung kebencian belum menuai hasil yang memuaskan. Bagi mereka yang suka membuat kisruh, senang memancing diair keruh dan suka membuat orang bingung, tidak pernah berhenti mendramatisir, menulis kabar yang penuh kebencian dan memecah belah saudara-saudaranya sendiri. Seakan mereka belum puas, sebelum mendapatkan domba-domba tersesat yang setia dan loyal mendukungnya. Skenario mereka adalah menampilkan diri mereka sendiri tampak gagah berani dan suci sebagai peran utamanya, sedangkan yang lainnya ditampilkan sebagai sosok yang penuh lumuran dosa yang sudah tidak bisa dimaafkan. Ya... Skenario mereka adalah membuat para pemirsa percaya bahwa kebencian yang mereka tampilkan merupakan kebenaran yang tak boleh dibantah sepatah kata pun. Supaya misi mereka dengan cepat merambat, mereka tidak pernah lelah menggungah, menyebarkan luaskan dan selalu online menggunakan media sosial. Anehnya, dari kita pun banyak yang yakin dan percaya informasi dari sumber yang ternyata abal-abal.

Media sosial, riwayatmu kini... Dipenuhi oleh orang-orang ambisius yang benuh kebencian, yang merasa paling benar, yang merasa paling beriman dan yang merasa paling tahu dalam segala hal, termasuk masalah surga dan nerakanya seseorang. Mungkin, media sosial akan semakin penuh sesak dengan orang-orang egois yang mementingkan kelompoknya dan membenci kelompok lainnya. Dan itu akan semakin memuakkan bagi kita yang suka bermedia sosial sebagai wadah mencari hiburan, menambah pengetahuan, canda-candaan dan curhat-curhatan bersama teman atau bahkan, bersama sang mantan pacar.

Tidak ada solusi paling ampuh untuk menangkal segala bentuk efek negatif dari media sosial, kecuali diri kita sendiri. Upaya menyaring dan menjernihkan informasi yang kita terima sudah sepatutnya dilakukan. Tidak menelan mentah-mentah. Supaya kita tidak terperangkap, ikut-ikutan menebarkan dan penyebab dari timbulnya efek negatif media sosial. Syukur-syukur kita mampu menjadi orang yang memberikan dampak positif dalam media sosial.

Bungo, 26 Febuari 2017