Ku tutup telinga agar tak ada lagi suara ketidakadilan. Namun, tetap saja terdengar ratapan. Jeritan. Kian lama,  kian lantang memilukan. Benarkah kita masih hidup dizaman penjajahan?.

Ku bungkam mulut supaya tak lagi berkata keluh kesah. Tetapi, masih saja hati gudah gelisah. Membuncah. Semakin hari, semakin suram terkisah. Betulkah kehidupan kita tetap terjajah?.

Ku berusaha memejamkan mata agar tak lagi mendengar, melihat dan membicarakan hal-hal yang ternyata tak kunjung berubah. Justru semakin parah. Tujuh puluh satu tahun negeri ini merdeka malah dipenuhi orang-orang serekah. Penghisap darah. Lalu,  sudahkah kita bebas tak lagi terjajah?.

Drumband-drumband selesai ditabuh. Sayup-sayup suaranya kian lama menjauh. Meski begitu, masih tergiang gagap gempita perayaan kemerdekaan negeri yang sedemikian riuh. Terekam jelas dibenak kita dan utuh. Lantas, untuk siapa drumband-drumband itu ditabuh?.

Setelah perayaan itu, orang-orang kembali  ke rumah mereka yang tetap saja kumuh. Bahkan, hampir rubuh. Sesudah perayaan itu, mereka masih sama berteriak mengeluh. Sedang, mereka yang para elite pun kembali ricuh. Menabuh genderang membuat gemuruh. Berlenggang menikmati derita rakyat yang penuh peluh. Maka, untuk apa dan siapa perayaan yang sebegitu riuh?.

Tujuh puluh satu tahun kesejahteraan belum juga merata. Justru terkumpul dan menggunduk diperut buncit mereka. Entah kapan negeri ini akan berbenah?.  Entah sampai kapan negeri ini dipenuhi lintah-lintah?. 

Mungkin, diperayaan yang akan datang dan seterusnya masih saja kita melihat, mendengar dan menceritakan hal yang sama yaitu kisah keluh kesah. Seperti nasib si Bejo,  yang tak kunjung menemui bejo. Tetap nasibnya tidak berubah.

Bungo,  31 Agustus 2016

A.  Marsudi