"Engkau bisa menghitung, tapi belum tentu bisa memperhitungkan. Engkau bisa membaca, namun belum tentu mampu membaca makna dibalik tanda-tanda".

                    *************************

Ki Lurah Tejo dan Bejo merupakan saudara seperguruan. Akan tetapi slogan "tunggal guru, ojo ganggu", nampaknya tidak berlaku untuk mereka berdua. Mereka ibarat air dan minyak yang sulit melebur jadi satu kesatuan. Lebih cocoknya mereka seperti "anjing dan kucing" yang mustahil akan akur. Berselisih paham diantara mereka adalah kepastian. Tidak pernah setuju pendapat masing-masing yang berujung kemarahan sudah sangat biasa. Tunggal guru, bedho ilmu merupakan gambaran pasnya bagi mereka.

Sebenarnya, Ki Lurah Tejo merupakan pribadi yang baik dan tak suka ribut berselisih. Ini tercermin dari sikapnya yang lemah lembut, wajahnya berwibawa, perawakan tinggi besar dan gaya bicaranya yang santun, sangat tidak mungkin Ki Lurah Tejo mempunyai musuh. Ia juga Lurah yang dekat dengan rakyatnya. Apa saja keluhan masyarakat selalu ditangani hingga selesai. Namun, namanya hidup didunia, sebaik apa pun orang, akan tetap selalu ada yang memusuhi. Justru, karena sikap Ki Lurah Tejo yang kalem itulah yang akhirnya membuat Bejo berani melawannya. Dimata Bejo seakan Ki Lurah Tejo adalah musuh bebuyutan.

Pagi itu warga datang berduyun-duyun ke balai desa untuk menghadiri pelantikan bendahara desa yang baru. Bejo dari emperan rumahnya plonga-plongo, dihatinya timbul tanda tanya besar. Ia pun berteriak kepada Lek Giman yang kebetulan lewat, "Lho?,  Lek sampeyan ajeng tindak pundi. Sajake koq keseso sanget". Mendengar teriakan pertanyaan yang dilontarkan  Bejo, mana mungkin Lek Giman memberitahu hal yang sebenarnya. "Waduh,,, ciloko iki", hati Lek Giman bergumam. Ia tidak ingin kalau Bejo tahu hal sebenarnya ada acara pelantikan dibalai desa pasti akan geger.

Hari itu Lek Giman sedang apes bertemu Bejo. Padahal, ia sudah melangkahkan kakinya cepat-cepat. "Woy... ditanya malah mlongo", sergah Bejo. Dan Lek Giman hanya garuk-garuk kepala, berkata terbata-bata, "Annnnuuuu.... anu,  itu, itu, tu... mau ke pasar. Ada yang mau dibeli". Mendengar jawaban itu Bejo mulai curiga. Namun, anak Lek Giman yang berumur sekitar dua puluh lima tahun dengan polosnya menyahut, "Pak... kita tidak jadi ke balai desa". Bejo pun tersenyum kecil. Tapi, Lek Giman langsung pergi berpamitan.

Sesampainya dibalai desa Lek Giman was-was. Takut Bejo datang dan membuat gaduh acara, sehingga tidak jadi terlaksana. Acara demi acara pun terlaksana sesuai yang diharapkan. Hingga bubar Bejo tidak tampak batang hidungnya. Kini giliran Lek Giman yang tersenyum. "Syukurlah... ", kata Lek Giman yang merasa sangat lega, karena Bejo tidak datang. Tapi, Lek Giman tetap merasa aneh. Tidak biasanya Bejo datang membuat onar. "Ah... Sudahlah", ia pun bergegas pulang menggendong anaknya.

Saat berjalan pulang Lek Giman melewati kembali rumah Bejo. Ia melihat pintu rumah Bejo yang tertutup. Lek Giman pun terheran-heran. Ia merasakan keanehan lagi. Biasanya rumah Bejo tidak pernah tertutup, walaupun ditinggal pergi jauh. Dimalam hari pun tidak ditutup. Lek Giman ingin mendekat dan menegok, namun niatnya ia batalkan. Ia takut tiba-tiba digertak oleh Bejo. Lek Giman akhirnya melanjutkan berjalan pulang.

Hari terus berganti.  Tiga hari pun telah berlalu, namun Bejo tak muncul-muncul. Rumahnya pun masih tertutup rapat. Tidak ada satu pun warga yang tahu kabar beritanya. Dan memang tidak ada yang ingin tahu. Seluruh warga justru bergembira ria, karena sudah tidak ada lagi yang membuat gaduh. Bahkan, warga mendo'akan agar Bejo tak lagi datang. Hilangnya Bejo menjadi perbincangan hangat dirumah-rumah warga, warung dan disawah-sawah.

Ki Lurah Tejo pun sumringah berangkat ke balai desa. Seluruh perangkat benar-benar santai bekerja. Tidak khawatir dan tidak takut dilabrak Bejo. Selama masih ada Bejo mereka diliputi was-was jika bekerja. Padahal, Bejo tidak memiliki jabatan apa-apa. Tapi, yang ditakuti dari Bejo itu adalah kebiasaannya memprotes.

Seluruh warga sungguh bahagia kehilangan Bejo. Dihari keempat Bejo masih tidak muncul dan rumahnya tertutup. Melihat itu, Lek Giman berfikir bahwa Bejo sudah tak lagi berani protes, akalnya pun sudah menyempit. Bukan, Lek Giman saja yang berfikir seperti itu. Warga pun berpendapat bahwa Bejo sudah menyerah menghadapi dirinya sendiri. Para perangkat desa  pun berfikir jika Bejo sudah tak kuasa mempertahankan kegemblungannya.

Namun, dihari kelima menjelang tengah malam suara kenthongan saling bersahut-sahutan dari pos ronda. Semua warga langsung ke luar dari rumah mereka masing-masing. Mereka pun bergegas berkumpul dibalai desa. Setelah semua kumpul tampillah bendahara baru yang memberikan informasi tentang diculiknya Ki Lurah Tejo. Dan pastilah yang dituduh pertama kali adalah Bejo.

Maka, bendahara Gito memimpin warga menuju rumah Bejo. Pintu rumah Bejo yang masih terkunci didobrak dan seluruh sisi rumah digeledah, namun tidak ditemukan tanda-tanda satu pun yang melakukan penculikan ialah Bejo. Karena, tidak berhasil menemukan petunjuk apa pun. Mereka langsung bergerak kesudut-sudut kampung mencari Ki Luruh Tejo. Namun, sampai subuh mereka tetap tak bisa menemukan, membaca dan memperhitungkan siapa pelaku penculikan itu.

Pencarian Ki Lurah Tejo sudah masuk hari keempat. Seluruh sudut desa telah disisir. Hutan dipinggir desa juga disusuri. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda jejak yang mereka temukan. Warga desa hampir putus asa. Mereka pulang kerumahnya masing-masing dengan raut wajah pucat pasi dan kekecewaan. Pikiran, tenaga dan segala cara sudah dilakukan, termasuk bertanya kepada sesepuh desa yang mampu menerawang, melihat ulang kembali peristiwa yang sudah terjadi. Namun, untuk permasalahan penculikan ini tidak ada gambaran sedikit pun yang mampu dilihat atau diterawang.

Ditengah-tengah keputusasaan tersiar kabar bahwa Ki Lurah Tejo sudah kembali dan tiba dirumahnya dengan selamat. Kembalinya Ki Lurah Tejo pun sama sekali tidak ada yang mengetahui. Bahkan, keluarga Ki Lurah juga tidak tahu dengan cara apa dan bagaimana ia tiba-tiba berada didalam kamar. Tapi, ah... persetan bagi warga serta keluarganya yang penting Ki Lurah sudah kembali dengan selamat.

Keesokan harinya, Ki Lurah Tejo langsung mengundang seluruh warga ke balai desa. Semuanya pun berkumpul dengan suka cita, karena pemimpin yang mereka cintai sudah kembali. Dihari itu, selain senang, tapi juga terheran-heran. Bendahara yang baru dilantik dicopot dari jabatannya. Semua warga tidak tahu alasannya kenapa. Namanya warga tidak berani yang protes, itu adalah hak Ki Lurah Tejo mengangkat dan memberhentikan para pembantunya. Warga hanya bisa menghormati keputusannya. Yang membuat kaget lagi adalah anak Lek Giman yang justru ditunjuk untuk menduduki jabatan bendahara desa. Tentu saja, Lek Giman sebagai orang tuanya kagetnya melebihi kagetnya warga. Lek Giman sampai pingsan, tak sadarkan diri anaknya dijadikan bendahara.

Setelah kejadian penculikan, pencopotan dan pelantikan yang terjadi didesa berlalu. Keadaan desa sudah kembali normal, adem ayem, tentrem dan kondusif. Tetapi, itu tak berlangsung lama, karena Bejo sudah kembali ke rumahnya. Bejo justru nyanyi-nyanyi sendiri, yang sudah pasti sangat mengganggu. Bagaimana tidak mengganggu, ia bernyanyi pakai toa speaker sambil meloncat kegirangan, seolah-olah ia sedang merayakan kemenangan.

Dibalik itu semua sebenarnya Mbah Saberang sebagai gurunya tahu, Bejo sedang merayakan apa. Namun,  Mbah Saberang enggan berbicara. Ia tahu mengapa Bejo menghilang begitu saja?. Hilangnya Bejo adalah tipuan belaka untuk memuluskan rencana penculikan Ki Lurah Tejo.

Mbah Saberang pun tahu mengapa Pak Gito yang baru menjabat sebagai bendahara desa dicopot dan digantikan Mas Supeno anak Lek Giman. Itu adalah rencana Bejo. Ia menculik Ki Lurah Tejo karena memang Bejo tidak setuju dengan posisi Pak Gito sebagai bendahara. Alasannya, Pak Gito bukanlah warga dari desa sendiri. Bejo justru menghardik dan menyalahkan Ki Lurah Tejo. Padahal, Ki Lurah Tejo sudah menjelaskan bahwa Pak Gito merupakan orang yang mampu dan ahli dibidangnya. Namun, alasan itu ditolak dan disalahkan. Bejo malah bilang kepada Ki  Lurah Tejo, "kalau dari seluruh warga engkau anggap tidak ada yang mampu itu salahmu. Engkau sebagai pemimpin desa gagal memberikan pendidikan kepada warga. Meskipun mereka kau anggap tidak mampu, sebenarnya mereka mampu dan ada yang lebih jujur serta ahli dibidangnya. Cobalah cari dan beri kesempatan kepada wargamu sendiri". Itulah yang dilakukan Bejo saat menculik Ki Lurah Tejo.

Setiap langkah Bejo sebenarnya sudah diawasi oleh Mbah Saberang. Dan Bejo juga tidak tahu kalau sedang diawasi. Bejo benar-benar merasa menang, karena ia menganggap rencananya tidak ada yang mengetahui seorang pun. Padahal, Mbah Saberang jelas-jelas tahu. Disaat Bejo nyanyi-nyanyi dan joget-joget, Mbah Saberang datang membawa seember air lantas diguyurkan ke tubuhnya. Sontak saja, Bejo kaget,  saat menoleh mau marah kepada orang yang menyiramnya ternyata adalah gurunya, nyalinya langsung ciut. Bejo hanya tersenyum kecil saja. Dan tangan Mbah Saberang dengan cepat menjewarnya. "Dasar nakal... ", ujar Mbah Saberang kepada Bejo.