Gonjang-ganjing pemahaman Bejo sampai hari ini tampaknya belum juga tercerahkan. Hatinya panas, bertambah mendidih. Selautan kata hikmah pun tidak mampu menyejukkan hatinya. Ia kokoh dalam pendiriannya sendiri. Bejo tetap menganggap Ki Lurah jelas-jelas lambenya turah. Lambe yang menurut Bejo perlu disekolahkan agar tidak waton ngomong, asal berbicara. Bejo pun segera menyusun rencana, merekrut orang-orang dan menyiapkan mereka untuk berorasi menyeret, mengarak dan bahkan mengunduli Ki Lurah Tejo.

Tak butuh waktu lama untuk mengumpulkan masa. Bejo memang lihai dalam hal mempengaruhi. Memobilisir. Menggerakkan kaum tua maupun anak muda. Semua telah sepakat untuk bergerak mendatangi dan mengepung balai desa pada tanggal dan jam yang sudah ditentukan. Maka, terbentuklah barisan-barisan sakit hati yang didalangi oleh Bejo.

Dipagi itu... Pada tanggal yang mereka sepakati seusai subuh, mereka sudah datang ke rumah Bejo. Mereka berkumpul. Ada yang bawa spanduk-spanduk yang bernada mengecam dan mengancam Ki Lurah Tejo. Truk-truk bak terbuka sudah parkir rapi, siap mengangkut masa ke balai desa. Tak lupa deretan sound system untuk pengeras suara sudah mereka susun sejak kemarin diatas truk. Semua kebutuhan dipersiapkan dengan matang.

Sekitar jam delapan, truk-truk sudah dipenuhi dan dijejali masa. Mereka mulai bergerak menuju balai desa. Bejo berada diurutan truk terdepan memimpin gerombolan masa tersebut. Namun, sebelum sampai di balai desa, ditengah-tengah perjalanan mereka berhenti. Ada Mbah Saberang yang sedang menghadang. Tentu, Bejo dengan gerombolan masanya yang tidak sedikit itu tak berani melaju terus. Siapa yang mau membantah Mbah Saberang. Mbah Saberang  adalah tokoh, tetua desa mereka. Mereka pun sangat menaruh hormat terhadapnya. Senakal-nakalnya Bejo pun kehilangan akalnya, jika dihadapkan dengan Mbah Saberang.

"Turun...!!! ", teriak keras Mbah Saberang kepada Bejo. Bejo menurut saja dan turun dari truk. "Bilang kepada orang-orangmu juga, turun semua", pinta Mbah Saberang kepada Bejo. Bejo memenuhi perintah Mbah Saberang meski dengan wajah besengut. Semua orang pun turun dari atas truk. Lalu, berkumpul didepan Mbah Saberang.

"Kamu Man?", tanya Mbah Saberang kepada Lek Giman. "Mau kemana dan mau apa?", kata Mbah Saberang mulai menginterogasi. "Itu Mbah... ", dengan penuh was-was Lek Giman menjawab, "saya mau ke balai desa untuk ikut demo", tangan Lek Giman bergetar. "Lalu, dengan demo itu hasilnya apa?", bertanya kembali Mbah Saberang. "Hasilnya dari demo itu kan... lumayan... Mbah. Saya dapat uang lima puluh ribu, daripada saya capek-capek mencangkul disawah, belum tentu dapat segitu", rasa was-was Lek Giman sudah mulai mereda. Mendengar itu Mbah Saberang manggut-manggut, lantas menatap wajah Bejo. Bejo tersenyum kecil, kemudian menunduk malu dilihat Mbah Saberang.

Mbah Saberang kemudian bertanya kepada Dikin, pemuda kampung yang tampan sekaligus gagah. "Kalau, kamu Kin?", mendengar pertanyaan yang dilontarkan Mbah Saberang kepada Dikin membuat kegagahannya sejenak sirna. Dikin pun menjawab pelan, "Ya... daripada suntuk dirumah, ya... saya ikut demo. Ya... disitu nanti saya bisa sedikit memperbaiki asupan gizi, ya... walaupun mungkin sesekali. Ya... pas demo kan saya nanti... Ya... dapat jatah nasi kotak, Mbah", sambil tangan Dikin terlihat menggaruk-garuk perutnya yang mulai buncit. Mbah Saberang, tertawa lepas, lalu menoleh melihat Bejo. Tambah tertunduk lesu Bejo mendengar jawaban Dikin.

Mbah Tuk yang mewakili kaum tua -menurut Bejo- tak luput dari cecaran pertanyaan Mbah Saberang. "Lho, sampeyan ikut juga, kenapa Mbah?", begitu Mbah Saberang bertanya. "Sudah tahu sendiri saya jarang merokok yang enak-enak. Setidaknya, kalau saya ikut demo, Bejo memberikan rokok dan kopi untukku", jelas Mbah Tuk. Mbah Saberang, akhirnya... Mau tidak mau, meledak tawanya. Bejo pun bingung dan resah, karena mendengar jawaban-jawaban yang ngawur dan serampangan. Tapi, itulah jawaban apa adanya yang dibalut kepolosan-kepolosan khas orang desa. Mereka bukan orang politik yang berbicaranya dipenuhi intrik belaka.

Tak jauh dari Mbah Tuk, berdiri Kang Akli yang dalam hatinya berharap tidak ikut ditanyai Mbah Saberang. "Kang Akli?, gimana? dan apa tujuanmu ikut?", pertanyaan Mbah Saberang membuat kaget Kang Akli. Kang Akli terhenyak, dalam keadaan gugup ia menjawab, "eeee... anu, itu... Karena katanya orang-orang mengenai penistaan agama itu terang dan jelas. Maka, dengan dasar tersebut aku ikut demo ini". "Oooo...  Katanya ta?, jadi berdasarkan katanya itu kamu ikut-ikut demo ini?", Mbah Saberang kembali bertanya kepada Kang Akli. Kang Akli pun manggut-manggut.

"Wong... Hidup sekali koq pakai menurut katanya. Katanya ini yang justru bisa membuat keadaan semakin panas dan keruh. Seharusnya kamu jangan menggunakan katanya sebagai dasar. Kang Akli, semestinya menjalani hidup harus bisa jejeg dan teteg. Yakin.. serta berdirilah diatas keyakinanmu sendiri", ucap Mbah Saberang menjelaskan. Bejo bertambah pucat pasti tampak diwajahnya.

Kini giliran Bejo yang diinterogasi mengenai peristiwa itu. "Kamu ini, gimana? Jo... Bejo. Kemarin padahal sudah saya jelaskan. Dan telah saya ingatkan jangan menambah geger baru, memperkeruh serta memperbesar masalah", kata Mbah Saberang mengingatkan.

"Tidakkah berpikir, jikalau niat baikmu dengan demo itu adalah untuk membela agama dan negara justru malah menjadi sebaliknya yaitu merubuhkan tiang agama dan menghancurkan negara. Memicu pertengkaran antar warga. Membuat gaduh dan ricuh. Karena, ditunggai oleh kepentingan-kepentingan yang menginginkannya perpecahan diantara kita. Sudahkah engkau berfikir itu.. Dan sesungguhnya musuh yang paling berbahaya itu ada diantara barisan-barisanmu dan sangat dekat denganmu. Sudahkah engkau membaca itu?. Bahwa mereka adalah musuh yang tak terlihat. Menyusup secara rapi ditengah-tengahmu, lalu memprovokasi berbuat anarkisme. Sudahkah engkau lihat kemungkinan itu.. Musuhmu yang menggunakan persis seperti sorbanmu, pecimu dan jubahmu. Mereka yang akan mendorongmu dan memanasimu kedalam pertikaian yang bisa menimbulkan gejolak lebih besar lagi daripada perkara yang sedang engkau gugat itu", Mbah Saberang terus menasehati Bejo.

"Tapi, Mbah... Demo itu adalah hak kita sebagai warga untuk menyampaikan pendapat. Menginginkan penegak hukum bertindak tanggap dan cepat", Bejo pun mengungkapkan hal ihwal mengenai tujuan mereka melakukan demo.

"Kalau, engkau itu memang lanang tenan... Serta pendapatmu tentang lambe turah Ki Lurah salah. Semestinya tidak perlu ada demo yang mengajak orang-orang mendukung pendapatmu. Engkau harus berani ngluruk tanpa bolo. Menyatakan dan menyampaikan pendapatmu yang engkau anggap benar tersebut. Pun, jika engkau seorang yang taat hukum, hargai proses hukum yang sedang berjalan dan apa pun nanti hasilnya. Namun, alangkah mulia dan besar hatimu, apabila engkau mau memaafkan seseorang yang sudah meminta maaf itu dengan utuh-seutuhnya. Tidak memperpanjang masalah,, yang sudah, ya.. sudah. Karena, setiap manusia pasti pernah keseleo lidahnya. Sehingga, tampaklah wajah agama kita sebagai agama yang pemaaf dan ramah, bukan agama pemarah", begitu panjang Mbah Saberang menjelaskan.

Bejo kebingungan dengan nasehat Mbah Saberang. Ia hanya diam. Memikirkan dan berusaha untuk paham. Ditengah lamunannya, Mbah Saberang sudah tahu bahwa Bejo sedang bingung. Maka, Mbah Saberang mendekati dan... menepuk pundak Bejo. "Sudah, jangan pusing dan membingungkan masalah lambe turah ini. Sekarang pulang, pulang saja", pinta Mbah Saberang kepada Bejo.

Hari itu... Siang itu... Demonstrasi tidak jadi diadakan, semua kembali pulang ke rumahnya masing-masing.