![]() |
Sumber photo : unsplash.com |
Beberapa hari ini Bejo terlihat merenung di pos ronda. Sehabis shalat isya' bukannya pulang, Bejo malah duduk di pos ronda sembari memandangi masjid. Sekilas dari kejauhan Bejo sedang mengamati kubah masjid. Namun, saat didekati teenyata tatapan matanya kosong. Entah apa yang sedang Bejo pikirkan?.
Sudrun merasa heran melihat diamnya Bejo beberapa hari ini. Walaupun, Sudrun sangat dekat sama Bejo, tetap saja ia tak berani bertanya. Sudrun takut kalau ditanya justru Bejo bertambah level kesedihannya atau akan semakin naik pitam. Oleh sebab itu, Sudrun memilih diam saja.
Dalam diam, Sudrun berpikiran liar, menerka-nerka. "Jangan-jangan lagi diputusin. Tapi, tidak mungkin. Dia kan?, jomblo", begitu Sudrun berpikir. Lantas perkara apa yang menimpa Bejo, sampai-sampai sudah hampir seminggu ia irit bicara.
Malam ketujuh, menjelang bulan purnama. Seperti biasa selepas isya' Bejo mampir di pos ronda. Kalau biasanya ia duduk termenung dengan tatapan kosong, kali ini justru tiduran berselimut kan sarung. Melihat Bejo seperti itu, timbul rasa khawatir dihati Sudrun. Penuh ketakutan Sudruns menghampiri Bejo.
"Sakit kamu, Jo..?", begitu Sudrun bertanya.
Bukannya menjawab Bejo memalingkan wajahnya dengan tetap diam beribu-ribu bahasa yang semakin menimbulkan berjuta tanya. " Begini, Jo.. enggak usah khawatir masalah biaya, yang terpenting yuk.. berobat dulu. Sedih aku, Jo.. lihat kamu seperti ini. Jika, nanti terjadi apa-apa denganmu, aku yang bersalah, sebagai teman karibmu tidak bisa membantumu, Jo..", Sudrun mencoba merayu.
"Ayo.. Jo, ke dokter", Sudrun masih merayu.
"Ra usah, wong badan aku enggak sakit. Batinku iki seng loro. Ngerti ora sampeyan, Drun?", agak naik satu not nada bicara Bejo.
Sudrun tersenyum senang Bejo menjawabnya, meskipun bicaranya dengan nada tinggi. " Malah tersenyum kamu, Drun ?. Bahagia melihatku seperti ini ?", giliran Bejo yang kini heran dengan Sudrun.
"Bahagia aku, Jo. Seneng aku. Tapi, senangku itu bukan karena melihatmu yang sedang gundah gulana. Kamu sudah mau menyahut pembicaraanku dan sekerang bisa mengobrol seperti ini, ini yang buat aku bahagia", wajah Sudrun terlihat berseri-seri bahagia.
" Iya, Drun.. Aku berpikir lebih baik diam sembari menunggu bulan purnama tiba, daripada aku katakan apa yang aku pikirkan. Menunggu bulan purnama jauh lebih indah ", Bejo mulai terbangun dari tidurnya, lantas duduk disamping Sudrun.
" Sebentar.. sebentar, kamu tidak sedang menuntut ilmu hitamkan ?", tanya Sudrun dan Bejo menggelengkan kepala. "Kalau enggak ilmu hiiiitam.. Apa kamu keturunan serigala?, yang berubah jadi serigala saat bulan purnama tiba, auuuuu...", plak, kepala Sudrun kena pukul gulungan kertas koran bekas oleh Bejo.
" Drun...Drun... Aku tidak sedang memikirkan diriku sendiri",
"Lantas memikirkan siapa?", sanggah Sudrun tidak sabaran.
Baca Juga :
"Pertanyaan sampeyan salah, ini bukan tentang siapa, tapi apa dan kenapa", terlihat Sudrun melongo saja mendegarkan perkataan Bejo.
"Beginiii...Drunnn", Bejo mengawali. "Beberapa hari ini aku dihantui pertanyaan buat apa manusia beragama?, kenapa manusia yang mengaku beragama justru menciptakan konflik?, di Timur Tengah perang tidak dielakkan. Lihat Irak, Suriah, Libya dimana mereka bukannya tidak paham agama. Israel yang ingin menguasai Palestina juga bukannya mereka tak punya agama. Eropa sama saja, peristiwa di Prancis tentang kartun nabi sebagai pemicu konflik, itu bukan satu-satunya penghinaan ataupun pelecehan yang terjadi. Sejarah India Pakistan juga sama, bahkan beberapa tahun lalu hal itu sempat tersulut kembali. China dengan Ighurnya, Myanmar dengan Rohingnya, Indonesia dengan paham takfiri nya", berapi-api Bejo berkata, seolah dia sedang berorasi pada lautan manusia dihadapannya. Sedang Sudrun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
" Buat apa beragama, Drun?. Bila, manusia yang mengaku beragama, bertindak atas nama agama, berbuat atas dasar pemahaman ajaran agama yang diyakininya, yang justru memunculkan polemik, konflik dan bahkan menganggap orang diluar agamanya menjadi seperti musuh. Atas nama agama pula manusia ingin menguasai dunia. Semua harus dibawah payung kuasa satu agama saja. Mengapa agama seperti dijadikan kompetisi?, menang dan kalah. Mengapa agama dijadikan doktrin untuk bertindak ekstrim?, sehingga mereka yang telah terdoktrin dalam pikiran mereka seperti berjuang di medan perang. Beda pendapat diluar pemahaman mereka pun bisa dituduh musuh yang telah keluar dari nilai-nilai yang diajarkan. Maka, jangan heran jika kita menemukan didunia nyata maupun maya, obrolan di warung kopi maupun status dan kolom-kolom komentar banyak caci maki, kata-kata tidak pantas, olok-olok dan merasa pendapatnya paling benar".
"Sek sek ta", Sudrun tiba-tiba menyela. " Ndasku... puyeng, ndak ngerti aku. Sampeyan ngomong opo?, wes ngene wae daripada mumet, mikir yang ruwet-ruwet, lebih baik sampeyan fokus ngurus jodohmu, itu lebih penting ", kata Sudrun protes.
" Plaaak" suara koran yang dipukulkan Bejo pada kepala Sudrun. Meskipun, begitu Sudrun tidak marah dengan kelakuan Bejo. Justru, ia cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
"Ehhhemmm... ", Bejo mulai ancang-ancang menjelaskan. " Begini, Ndrun... masalah jodoh itu urusan pribadiku, toh baik buruk, untung ruginya aku sendiri yang menanggungnya, taaapiii... masalah agama itu menyangkut banyak orang. Bisa untuk para pemeluknya atau pemeluk agama lainnya. Jadiiiii, ini penting. Pertanyaan dan keresahanku sangatlah penting. Buat apa beragama?, bila manusia seperti kita mengaku bahkan meyakini punya agama, tapi perilaku kita tak mencerminkan manusia yang beragama. Kita masih suka mencaci, menuduh golongan diluar kita salah, menjadikan dalih untuk mendapatkan kuasa, sebagai alat untuk menghabisi manusia lainnya, genosida, menyerang dan menghancurkan tempat agama, pengusiran, diskriminasi mayoritas terhadap minoritas selalu bisa kita temui, meskipun itu di negara maju sekalipun, agama juga dijadikan doktrinisasi dan propaganda untuk melakukan aksi yang tidak terpuji, seakan berdiri didepan medan pertempuran yang hanya ada kawan dan lawan, bom bunuh diri, pembantaian dan aksi kekerasan lainnya atas nama agama tidak dapat dibenarkan", penuh energi Bejo menjelaskan.
"Buat apa beragama?, jika ternyata manusia beragama lupa kemanusiaanya, Drun?. Lihat saja, Drun, singa yang liar, buas dan tak beragama itu, mereka tidak saling memangsa antara singa satu dengan lainnya. Singa juga tidak rakus, ia hanya berburu makananya secukupnya, tidak memangsa sekaligus saat bertemu kawanan kijang, singa hanya memangsa salah satu atau dua sudah cukup mengenyangkan perutnya dan membiarkan kawanan kijang lainnya pergi. Lah, manusia Drun?, dunia saja ingin digenggam", Bejo diam dan merenung sejenak.
" Ah... mungkin jawabannya begini, Drun , pakai jurus logika terbalik. Manusia yang meyakini dan mengaku beragama saja belum bisa menundukkan sifat liarnya, rakusnya, buasnya dan ketamakannya, apalagi bila didunia ini tanpa agama, bisa ngeri dan lebih tak terkendali lagi. Itu pentingnya agama bagi manusia, minimal bisa mengontrol sifat kebinatangannya dan..." Bejo berhenti berbicara dan menoleh ke arah samping kiri sumber suara.
"Ssssrrroook...grrrrrok", Bejo kesal melihat Sudrun terlelap pulas dengan suara ngorok yang kencang.
"Jammmmmmbuuu alas", teriak Bejo sambil menggedor lantai pos ronda yang terbuat dari papan kayu.
"Dyyyyaaarrr..", suara gedoran Bejo sangat kencang yang membuat Sudrun bangun dan terkaget-kaget.
"Ono opo iki, ono opo iki?", setengah sadar Sudrun bertanya dengan panik dan ketakutan.
" Ono bintang jatuh, Drun", jawab Bejo terkekeh-kekeh. Mendengar jawaban itu Sudrun malah lari pontang penting yang membuat Bejo semakin terkekeh-kekeh.
Bungo, 11 April 2021
0 Comments
Post a Comment