Sumb photo : unsplash.com |
"Ini resiko negara yang menganut sistem demokrasi" begitu para pengamat bilang. Bila genderang politik telah ditabuh, maka muncullah suara gaduh. Riuh rendah. Hiruk pikuknya terkadang menimbulkan gelisah. Sesama saudara sendiri seperti seteru. Padahal, masih satu.
Berseliweran di media sosial dan disebarkan dengan cepat oleh media media mainstream yang berkaitan hasil survey dari kedai kopi pada tanggal 16-24 November 2021 menunjukkan bahwa 61% responden survei mengaku ingin memilih calon bukan dari suku Jawa jika tersedia pilihan suku lainnya.
Kebanyakan atau 43,1% responden survei beralasan ingin memilih presiden
bukan Jawa karena percaya semua suku sama saja. Lalu, 26,9% responden
menjawab semua suku seharusnya memiliki kesempatan yang sama. Data ini kami kutip dari sumber katadata.co.id.
Hasil survey ini sangat bagus untuk kemajuan bangsa ini yang mencerminkan siapa pun, darimana pun, suku atau etnis apa pun punya kesempatan yang sama untuk memimpin negeri ini. Bukan orang yang berasal dari etnis jawa saja yang mutlak menjadi Presiden dinegeri ini.
Sayang data ini pun juga bisa dijadikan senjata negatif untuk memframing para pemilih nantinya. Data ini bisa saja diolah dan dibesar-besarkan menjadi emosionalitas, menjadi sumbu pemicu isu isu SARA yang akhirnya para memilih memilih bukan berdasarkan rasionalitas namun emosional semata.
Sejarah bangsa ini memang tidak bisa dibohongi, sejak negeri ini berdiri dipucuk tertinggi kepemimpinan didominasi oleh orang jawa. Hal ini menurut para pengamat karena jumlah orang jawa paling besar sehingga yang terpilih lagi dan lagi adalah orang jawa.
Pandangan seperti itu merupakan pandangan yang sangat sempit. Seolah orang jawa hanya memilih pemimpin hanya berdasarkan emosionalitas kesukuan semata. Padahal, hal itu salah besar dan sudah terjawab melalui survei kedai kopi bahwa semua suku sama saja. Maka, kedepan tak ada lagi yang berkata pemimpin yang terpilih karena orang jawa, namun pemimpin dinegeri ini terpilih sebab memang layak untuk menjadi pemimpin negeri ini.
Baca Juga :
Ada banyak hal yang semestinya dibenahi dari sistem demokrasi di negeri ini, agar seorang yang terpilih memimpin negeri tidak tertuduh terpilih hanya karena sukunya saja. Mungkin dimulai dari partai politik yang semestinya memberikan opsi yang luas dan menjaring calon pemimpin dari mana saja asal muasal sukunya.
Membenahi sistem pemilu bukan hanya berpatokan hanya berdasarkan siapa yang banyak mendapatkan suara. Mungkin kedepan bisa menggunakan sistem berdasarkan persentase perolehan suara dari masing-masing wilayah patut juga dipertimbangkan karena jumlah penduduk disetiap wilayah berbeda.
Meskipun si A mendapatkan suara terbanyak 51% misalnya, sedang si B hanya memperoleh 49% dari keselurahan suara, namun ternyata si A hanya mendapatkan suara banyak di wilayah Hijau saja yang memang banyak jumlah penduduknya disitu, akan tetapi si A ternyata kalah di wilayah kuning maupun merah atau tidak merata perolehan suaranya, jika menurut sistem pemilu yang hanya jumlah menghitung berdasarkan suara paling banyak si A akan terpilih. Sebaliknya, jika berdasarkan persentase wilayah maka si B yang semestinya terpilih.
Bila dipikir lebih jauh rasanya memang masih ada yang kurang pas dari kedua sistem tersebut. Bisa saja ketika kedua sistem itu dirasa kurang ideal, para pengambil kebijakan bisa membuat undang-undang yang mensyaratkan keduanya harus terpenuhi, yaitu suara terbanyak dan persentase atau persebaran suara disetiap wilayah harus merata.
Kedua hal tersebut jika tidak terpenuhi, untuk menentukan terpilih pemimpin negeri ini bisa mengadopsi sistem pemilu negeri Paman Sam yaitu electoral collage. Jadi, tidak perlu melakukan pemilihan ulang untuk menentukan siapa yang terpilih, hanya para wakil rakyat atay para dewan yang akhirnya menentukan. Akan tetapi, jika jumlah suara maupun persentase persebaran suara berdasarkan wilayah keduanya terpenuhi maka otomatis terpilih siapa pemimpin negeri ini tanpa perlu ada electoral collage untuk menentukan siapa yang terpilih.
Apa pun sistem pemilu yang dipilih tak akan ada yang sempurna tentu ada kekurangan dan kelebihan masing-masing, semua bertujuan untuk kebaikan bersama. Siapa pun yang nanti terpilih memimpin negeri ini, entah dari suku mana pun, semoga amanah dan menjalankan tugasnya dengan baik. Jadi, tak perlu lagi ada pertanyaan apakah presiden Indonesia harus dari orang jawa? dan sistem pemilu sudah mengakomondir, membuka seluas-luasnya kepada seluruh putra terbaik bangsa ini.
Pun sebagai masyarakat biasa setelah usai pemilihan dan terpilih yang memimpin negeri ini apakah jagoan kita ataupun tidak, kita tidak perlu fanatik, apalagi menghujat dan memaki. Kedawasaan dalam berdemokrasi itu sangat penting untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan negeri tercinta kita ini. Tak terkecuali para elit politik harus dewasa dalam membela jagoannya, jangan hanya bermodalkan SARA yang membakar emosionalitas masyarakat untuk memilih orang tertentu.
Bungo, 30 Januari 2022
0 Comments
Post a Comment