Jam 12:30 tepat lonceng di sekolah Madrasah Ibtidaiyah Al-jadid berbunyi sebagai tanda berakhirnya pelajaran dan anak-anak kelas 2 sampai kelas 6 waktunya untuk pulang. "Baiklah, anak-anak pelajaran bahasa indonesia untuk hari ini saya rasa cukup. Silahkan, berkemas-kemas", terdengar suara ibu guru memberitahukan kepada muridnya. Maka, anak-anak merespon dengan bahagia, berteriak kompak "Horrrrrrreeeeee....!!!". "Tapi, ingat jangan lupa belajar dirumah", imbuh ibu guru yang namanya adalah Suminem. "Irdam..", panggil ibu guru sambil menunjuk kepadanya. "Pimpin do'a pulang", ibu guru menambahkan.
Dengan kedua tangan ada didepan, Irdam memimpin do'a siswa kelas lima, "Berdo'a, mulai..." penuh semangat ia memberi aba-aba. Semua anak-anak kelas lima pun serempak berdo'a "Wal 'ashri, innal insaana lafii khusrin illaa, illal ladziina aamanuu wa 'amilus sholihaati wa tawaashow bil haqqi wa tawaashow bis shobr. Aamiin ya rabbal 'alamin". Setelah do'a selesai kedua telapak tangan mereka pun mengusap wajah.
Anak-anak kelas lima sebelum keluar dari kelasnya satu persatu berjabat tangan, serta mencium tangan ibu guru Suminem. Mereka berlarian keluar sambil berteriak-teriak kegirangan. Sama halnya Irdam, seperti anak-anak yang lain. Biasanya Irdam mencari kawan satu kampungnya yaitu As'ad, karena mereka berdua sama-sama jalan kaki pulang ke rumah. Irdam dan As'ad sebelum pulang terlebih dahulu berunding mengenai jalan yang mana yang harus dilalui.
"Lewat mana kita, Dam..!!, hari ini?", ujar As'ad
"Lewat jalan sawah saja kita. Biar cepat sampai rumah. Lagian, kalau kita lewat jalan raya telapak kaki panas. Kita kan sama-sama nyeker ayam", tukas Irdam menjelaskan. Memang pada saat itu mereka belum punya sepatu. Sepatu bagi mereka merupakan barang mewah. Ini terlihat banyak dari anak-anak dikelas lima hanya ada tiga orang yang bersepatu. Jangankan kelas tiga, kelas empat sampai kelas enam pun masih satu, dua, tiga orang yang bersepatu.
Dari pembicaraan antara Irdam dan As'ad akhirnya memutuskan untuk jalan kaki pulang melalui jalan tanah menerobos pematang sawah-sawah. Sambil berjalan mereka berdiskusi, "Nanti kita mengambil rumputnya dimana?", tanya Irdam.
"Kita mending disawah sebelah utara rumah saja. Kemarin sawah disana rumputnya lebat-lebat", jawab As'ad
"Sawah yang mana?, Sawah siapa?", Irdam ingin tahu. Mereka terus berjalan. Terkadang mereka harus melompati pematang sawah yang memang diputus agar air bisa mengalir.
"Itu sawah yang ada gubugnya", seloroh As'ad setelah selesai meloncat.
"Oalah...", Irdam merasa sudah tahu sawah yang dimaksud, "itu kan sawahnya Lek To, kayaknya?", tambah Irdam menebak-nebak. Dan As'ad hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban bahwa tebakan Irdam itu benar.
"Jadi, nanti sehabis makan kita langsung kesana ya...", Irdam bersemangat. "Tapi, mampir dulu ke rumahku seperti biasanya", pinta Irdam sembari menepuk pundak As'ad. "Oke...!!!", jawab As'ad tak kalah bersemangat.
Setengah jam berlalu, mereka berjalan menyusuri pematang sawah. Tak terasa sudah sampai didepan rumah As'ad. "Aku sampai duluan, yeah..", begitu senangnya As'ad. "Mampir dulu, Dam?", As'ad mencoba menawari. Tapi, justru Irdam berlari sambil berteriak, "Besok, besok saja. Jangan lupa, ku tunggu dirumah. Cepat ya...". "Ya...ya...", jawab As'ad dengan berteriak juga.
Tidak kurang dari sepuluh menit Irdam sudah sampai rumah. Kemudian meletakkan tasnya dikamar yang memang digunakan Irdam bersama neneknya. Dengan cepat Irdam berganti baju koko, sarung dan kopiah. Lantas, mencari-cari sandal jepit dikolong ranjang. Setelah, sandal ketemu langsung saja dia mengambil air wudhu dan menunaikan shalat dzuhur.
Usai shalat, Irdam makan siang terlebih dahulu. Menu biasanya yang disediakan nasi, sambal goreng dan krupuk. Tidak ada istilah makan siang bersama-sama nenek. Irdam selalu makan sendirian. Sebab, selama dia kecil, neneknya selalu tidak ada dirumah. Neneknya harus bekerja buruh tandur, buruh icir jagung -buruh tani-. Kalau pun tidak ada yang menggunakan jasa neneknya, bukan berarti nenek santai dirumah. Ada saja pekerjaan yang dikerjakannya, entah itu membuat pawon atau ke hutan mengambil rencek.
Dengan lahapnya Irdam menyantap makan siang. Sehabis, makan Irdam juga langsung mencuci piringnya sendiri. Sedari kecil memang dia diajari neneknya seperti itu. Pun dengan cepat dia berganti baju dinas -baju kaos yang ketiaknya sudah bolong-untuk mengambil rumput. Sesegera mungkin dia menyiapkan keranjang, sabit dan pengasahnya.
Tidak begitu lama suara As'ad memanggil-manggil dari luar rumah, "Ayo...Dam..." terdengar lantang. "Ya..aku sudah siap", jelas Irdam bergegas. Irdam mengambil keranjang. Tali yang mengikat dikeranjang dia gantungkan ke pundak kiri. Memasukan pengasah sabit ke sakunya, ini dipakai jika nanti sabit tiba-tiba tumpul. Tangan kanannya, tentu memegang sabit. Dan bertemulah, dia dengan As'ad.
Irdam dan As'ad lantas berjalan melewati pematang sawah yang padi-padinya mulai menua. Sepanjang perjalanan menuju sawah Lek To yang ada gubugnya itu, mereka bercanda ria. Seolah pekerjaan mengambil rumput tidaklah membebani mereka.
Hanya butuh lima menit berjalan kaki, mereka berdua sampai disawah yang dituju. Mereka berdua tertawa, "ha...ha... asyiiiiiiiiiikkkkk...", hampir serempak mereka berkata. Mereka meloncat kegirangan. "Untung belum ke dahuluan orang", ucapan As'ad. Irdam hanya tertawa bahagia.
Keranjang mereka letakkan dipinggiran sawah. Penuh semangat mereka jongkok mengayunkan sabitnya. Sesekali Irdam berdiri memandangi rumput-rumput yang menghijau sambil mengasah sabit. Tangan kiri memegang sabit dan tangan kanan menggosok-gosokan asahan disabit, sehingga berbunyi "cring... cring...". Lantas, jongkok lagi mengayunkan sabit. As'ad sesekali juga seperti itu.
Cukup disatu sawah saja keranjang mereka berdua sudah penuh. Inilah yang membuat mereka bersorak kegirangan. Karena, mendapatkan rumput yang lebat dan hijau itu jarang sekali. Dari itu, mereka bergegas pulang ke rumah membawa keranjang yang penuh rumput itu diatas kepala. Dengan cepat Irdam dan As'ad sampai dirumah mereka masing-masing.
Oleh Irdam rumput langsung dikeluarkan semuanya, sebagian disimpan sompok, sebagian lagi dikasihkan langsung ke kambing-kambingnya yang berada dibawah rindangnya pohon bambu. Pohon bambu tersebut tepat berada dibelakang rumah. Irdam memang harus mengeluarkan semua rumput dari keranjang. Karena memang dia harus kembali lagi mengambil rumput, sedangkan keranjangnya cuma ada satu.
Mereka, Irdam dan As'ad kembali lagi mengambil rumput disawah Lek To. Tentu, tidak lupa As'ad yang berteriak-teriak dahulu mengajak berangkat. Mereka berdua selalu bersama. Baik berangkat sekolah, pulang sekolah, berangkat ambil rumput dan pulang ambil rumput.
Tanpa basa basi setelah sampai mereka berdua langsung mengayunkan sabit. Terkadang, sangking semangatnya jari mereka terkena sabit. Pastinya sakit. Darah segar mengalir dari jari yang terkena. Mereka berdua kalaupun terjadi seperti itu tidak menangis. Secara sigap jari yang terkena langsung dihisap menggunakan mulut.
Tindakan selanjutnya mencari tanah yang masih basah dari gundukan rumah yuyu. Tanah itu dipakai untuk menutup luka, agar tidak terus keluar. Fungsi tanah tersebut sebagai pengganti handiplast atau hansaplast. Cara sederhana yang mereka dapatkan dari orang-orang yang lebih dewasa dikampung.
Tindakan yang dipakai memang begitu dan sudah cukup begitu. Mereka tidak akan membeli hadiplast atau hansaplast. Eman-eman, terlalu mahal bagi mereka.
Terluka terkena sabit tidak membuat mereka kapok untuk mencari rumput. Mereka pun tidak langsung pulang. Malah mereka terus melanjutkan menyabit rumput kembali, walau tangan masih sakit. Mereka bukanlah anak yang cengeng dalam menjalani hidup.
Maka, tak butuh waktu lama, penuhlah keranjang Irdam dan As'ad. Terkadang penuhnya tidak serentak, jika ada yang penuh dahulu, maka yang sudah penuh akan membantu yang belum penuh.
Untuk giliran yang kedua ini, biasanya apabila sudah penuh mereka bisa bersantai-santai. Bahkan, berlama-lama bercerita sambil duduk-duduk disawah yang mereka ambil rumputnya.
"Ayo... istirahat dulu, Ad", Irdam mengajak duduk digubug yang memang ada disawah itu. As'ad pun berlari mengejar Irdam yang lebih dahulu sudah duduk digubug.
As'ad pun naik gubug dan duduk bersila didepan Irdam. Waktu itu Lek To berjalan melewati mereka. "Sedang apa Lek?", As'ad menegur Lek To. "Ini... Ad. Lagi lihat-lihat saja. Besok kesini lagi saja mengambil rumputnya", tutur Lek To dengan mata tajam melihat sawahnya yang penuh rumput. "Biar bersih", tambah Lek To, lalu menegok mereka berdua. "Siap, Lek...", jawab mereka berdua kompak. "Ya.. sudah!, aku mau pulang dulu", ucap Lek To berpamitan.
Irdam dan As'ad masih duduk digubug. Mereka kipas-kipas yang memang saat itu cuaca panas. Mereka berdua tergelak tertawa, kadang tanpa suara. Lalu, meledak lagi tawa. Namun, suasana menjadi sangat serius. Ketika As'ad bertanya, "Dam, bagaimana nanti jika fullday jadi diputuskan Pak Menteri?".
Irdam tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Seolah pandangannya dalam. Membayangkan sesuatu yang begitu berat. Irdam mengambil nafas dan mengeluarkannya. Dia menata hati, serta kata untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Entahlah?, mungkin aku tidak akan sekolah lagi", sedikit terisak. Lirih Irdam bersuara serak. Jawaban itu seakan mengisyaratkan keputusan yang sangat berat. As'ad sedikit tidak tega, namun tetap mencoba bertanya, "Lho, kenapa Dam?". Seolah tidak ada apa-apa, As'ad mengingatkan, "Kita kan sudah kelas lima. Sebentar lagi kelas enam ta?", tegas As'ad bertanya.
"Iya... aku tahu, Ad. Tapi, kamu kan tahu bagaimana aku?. Aku hanya tinggal sama nenek. Nanti, kalau seharian aku sekolah. Siapa yang membantu nenek?. Mengambil rumput untuk kambing. Memangnya Pak Menteri mau membantu nenek saya?. Apa juga mau Pak Menteri mengambil rumput untuk kambing nenek?". Irdam terus saja berkata, "Kita ini beda sama anak-anak kota. Yang setiap waktu bisa bermain dan leha-leha. Kita ini cuma orang desa yang memang harus tahu diri. Orang tua kita susah, mau tidak mau kita harus membantu. Mengambil rumput, bercocok tanam dan membantu ini itu. Apalagi, aku yang hanya tinggal sama nenek".
As'ad tidak menyanggah perkataan Irdam. As'ad justru mendengarkan saja. Irdam tetap saja nyerocos, "kalau kamu, Ad. Kamu masih ada kakak yang bisa membantu orang tuamu. Lha, aku?. Kalau tidak aku, siapa lagi?. Ah... aku berdo'a semoga tidak jadi", dengan nada sedikit kesal Irdam bergumam.
"Aamin...", sahut As'ad sembari mengusapkan kedua tangan ke wajah. Melihat itu Irdam malah tertawa. "Wong, belum ditetapkan kamu koq sudah bingung", As'ad melanjutkan perkataannya. "Tapi, kalau benar-benar ditetapkan aku pasti putus sekolah", Irdam masih khawatir. "Sudah... sudah.. kita pulang saja", kata As'ad beranjak dari gubug.
Mereka berdua pun pulang ke rumah masing-masing. Setibanya dirumah rumput diletakkan, lalu Irdam mengambil sandal, berganti baju dan melangkah menuju tempat wudhu. Hal itu dilakukan untuk menunaikan shalat ashar. Baru sehabis asharlah Irdam mengayuh sepeda ke lapangan sepakbola. Disitu biasanya berkumpul anak-anak kampung Pucung, tak terkecuali As'ad. Disitulah, waktunya bermain.
Jika, matahari mulai terbenam anak-anak kampung Pucung buyar, kembali ke rumah. Seperti halnya Irdam, sesampainya dirumah barulah bertemu neneknya yang seharian berkerja. "Cepat mandi, Le... Sudah mau Maghrib", kata-kata itu yang selalu terlontar dari nenek Irdam. Sedang, Irdam hanya menjawab, "enggeh, mbah..".
Adzan berkumandang, Irdam segera lari-lari ke masjid sambil membawa turutan -Juz 'amma-. Karena, selepas maghrib barulah Irdam belajar agama. Belajar membaca menulis Al-quran dan menghafal do'a-do'a.
Dikampung Pucung ini waktu belajar agamanya memang disesuaikan, yaitu selepas shalat maghrib. Ini dibuat agar anak-anak bisa ikut semuanya. Kalau, waktunya siang hari anak-anak kampung Pucung masih sibuk membantu keluarganya masing-masing. Pengajian-pengajian ini tidak hanya dimasjid, tapi ada disetiap surau-surau kecil. Karena memang banyak, Irdam dan As'ad tidak satu majlis pengajian. Irdam mengaji di Masjid Kulon, sedang As'ad di Surau Wetan.
Seperti itulah, kehidupan anak-anak kampung Pucung. Mereka dari kecil sudah dididik membantu orang tuanya dan dibekali agama. Bagi mereka membantu orang tua, bukanlah eksploitasi. Akan tetapi, itu merupakan pembelajaran dan bekal agar mereka tegar menjalani hidup. Tidak menjadi generasi cengeng.
0 Comments
Post a Comment