Photo merupakan ilustrasi belaka, sedangkan cerita bukan berdasarkan kisah nyata. (photo. Mrsd) 




Rintik-rintik hujan mengiringi setiap langkah kakinya yang terhuyung, bebannya terlampau berat. Kepalanya menunduk, memandang tanah yang basah. Wajahnya murung. Matanya merah. Mulutnya terkunci rapat. Sedih. Perih. Gundah. Gelisah. Berduka. Gulana. Semua kenangan terenggut dan ia tak berhasil merebut. Ia pulang... dengan kekalahan yang amat teramat menyakitkan. Menggugurkan segenap impian dan harapan.

Lama ia mengepakkan sayapnya agar terbang tinggi menembus awan. Namun... ketika akan menyentuh awan, hampir sampai, sedikit lagi. Hanya sekejap saja ia terhempas. Jatuh memeluk bumi. Alangkah tidak berdayanya ia, laksana kapas-kapas. Kapas yang mudah terhempas meski oleh angin sepoi-sepoi, walau bukan badai topan. Ia begitu ringkih. Jiwanya kalut terbalut sedih. Hatinya menanggung luka perih. Usahanya yang sedemikian gigih, berubah menjadi buih. Tersisa ampas-ampas kenangan basi, jika teringat kesedihan akan datang menggerogoti.

Ia, seorang anak muda yang terlahir dari keluarga orang yang tak punya, untuk bisa bertahan hidup keluarganya merantau kemana-mana. Tempat tinggalnya gubuk reyot beratapkan dedaunan. Ia tumbuh besar ditengah-tengah kekurangan. Bagi keluarga mereka, kemewahan adalah mimpi disiang bolong. Omong kosong. Sekeras apa pun berusaha, sebanyak apa pun keringat diperas, tetap saja tiada perubahan. Tapi, dari sini ia belajar tentang keikhlasan, ketulusan, kecintaan dan kebahagiaan yang amat teramat sederhana untuk diwujudkan.

Ia adalah Alif, putra semata wayang dari keluarga Pak Edi. Selama ini, kemiskinan tidak pernah menyayat hatinya sesakit ini. Baru kali ini saja, rasa sakit kehilangan orang yang ia sayang dalam hidupnya pergi. Membuatnya takluk. Air matanya tak terbendung. Sekarang, ia sedang sungguh-sungguh berkabung. Emak yang melahirkannya ke dunia telah berpulang, ke pelukan Sang Maha Penyayang.

Rintik hujan yang datang membuat tubuhnya kuyup. "Nak... Mari kita pulang", bujuk sang ayah dengan wajah redup. Orang-orang sudah berjalan pulang meninggalkan pemakaman. Tinggal mereka berdua yang belum beranjak. Mendengar ayahnya mengajak, Alif tetap tidak menghiraukan. Ia masih tertunduk penuh duka memandangi gundukan tanah. Dimana disitu jasad sang emak terbaring. "Nak... Emakmu, sudah mendapat tempat yang terindah dan telah di istirahatkan dari beban dunia yang segalanya serba susah dan payah", kata sang ayah.

"Tapi...ayah", kata Alif terisak. Belum sempat ia melanjutkan kata-katanya, sang ayah dengan cepat memeluk. "Tuhan... lebih merindukan dan menyayanginya, nak... ", ayahnya mencoba menenangkan. Tubuh Alif ambruk. Lemah tiada daya. Ayahnya dengan kesedihan berusaha tegar, menuntun Alif yang lemas. Setapak demi setapak kaki mereka menyusuri pematang sawah menuju rumah.

Sesampainya rumah, betapa duka kian bertambah, saat melihat adik kecilnya yang masih berumur enam tahun. Air mata Alif kembali terlinang. Lantas, ayahnya memeluk mereka berdua. Akhirnya sang ayah pun tak kuasa membendung air matanya. Adik kecil yang belum tahu apa-apa, yang belum puas bergelanyut dan lembutnya kasih sayang. Alif terbayang, alangkah suram hari-harinya tanpa hadirnya seorang emak. Warna-warni keindahan, kini menghitam. Namun, sang ayah tetap menyakinkan. "Semua akan baik-baik saja, nak..", dengan suara lirih bercampur sedih sang ayah berbisik.

Hal yang paling membuatnya sedih adalah ketika emak tidak bersedia berobat dan lebih memilih agar biaya pengobatannya digunakan sebagai biaya kuliah. Alif tak pernah tahu sebelumnya, jika emaknya jatuh sakit.  Ia sedang sibuk menyusun skripsi. Meskipun sibuk ia menyempatkan telephone ke ayah dan emaknya, kalaupun ditanya kabar, orang tua memberikan kabar semua sehat dan baik-baik saja. Alif merasa sangat bersalah, andai saja ia tahu hal sebenarnya lebih baik berhenti kuliah.

Alif baru tahu hal sebenarnya, setelah ayahnya sendiri yang bercerita. Ia ingin marah, tapi ayah segera berucap, "nak... kamu tidak boleh marah ataupun merasa bersalah, emakmu... ingin sekali anak-anaknya meraih cita-cita setinggi-tingginya. Kuliahmu tidak boleh berhenti. Kita memang orang yang tak punya, namun emakmu... kami sebagai orang tua tidak akan menyerah, meskipun kehilangan nyawa ataupun membayarnya dengan darah, asal anak-anaknya bisa meraih mimpi-mimpinya. Supaya anak-anak bisa berguna bagi sesama dan... tidak ada orang tua yang ingin anaknya terhina. Justru, pengorbanan emakmu ini... jangan membuatmu menghentikan langkahmu, namun jadikan lecutan semangatmu meraih dan menggapai... Ayah dan emak tidak bisa mewariskan harta benda, namun semoga dengan pendidikan, itu menjadi warisan ilmu yang berguna". Air mata Alif pun kembali tumpah, mendekap erat sang ayah. Begitu jua, sang ayah mencium kening Alif disertai air mata berlinang, mengenang...

Alif memang takluk pada kenyataan yang terjadi, yaitu kehilangan sang emak. Namun, ia menolak takluk pada perjuangan menempuh cita-citanya, sesuai harapan ayah dan emaknya.

Bungo, 22 Maret 2017